Sebagai salah satu negara dengan indeks keamanan tertinggi di dunia, Selandia Baru baru saja mendapat teror yang mengejutkan. Tragedi penembakan di Masjid Al Noor, Christchurch, Selandia Baru yang menewaskan 49 orang dan puluhan lainnya luka-luka, Selandia Baru langsung mendapatkan status sebagai negara dengan ancaman terorisme yang tinggi.
Aksi teror ini kemudian mengundang pertanyaan. Mengapa memilih Selandia Baru sebagai negara untuk melancarkan aksi teror? Mengapa masjid yang disasar? Adakah kebencian yang dirasakan para pelaku kepada para muslim di negara ini?
Dalam keterangan kepolisian setempat, Brenton Tarrant, pelaku penembakan, mengunggah sebuah manifesto 74 halaman yang berisi tentang pandangannya terkait aksi teror yang dia lakukan. Dalam manifestonya, Brenton menyatakan bahwa dia sangat khawatir terkait dengan angka kelahiran ras kulit putih yang semakin menurun di seluruh dunia, namun penduduk dunia yang semakin banyak.
Brenton takut jika suatu saat, ras asli Eropa atau kulit putih akan punah di Benuanya sendiri, walaupun telah mendeportasi seluruh imigran dari Eropa.
Ia mengekspresikan kekecewaannya dengan menyalahkan imigrasi ras non-kulit putih dengan mengatakan bahwa jumlah kelahiran kulit putih tidak sebanding dengan kedatangan dan bertumbuhnya ras lain. Ia juga mengatakan bahwa kejadian ini adalah invasi besar-besaran yang dilakukan oleh orang-orang non-Eropa untuk pemusnahan ras kulit putih.
Walaupun dalam manifestonya, ia menolak disebut Islamofobik, namun secara terang-terangan ia mengatakan bahwa tujuan dari penyerangan ini tepat dan memang diarahkan ke masjid untuk membunuh orang-orang muslim yang sedang melaksanakan ibadah yang dianggap sebagai penjajah bangsanya.
Dalam manifestonya, awalnya ia tidak berencana untuk menyerang Selandia Baru, namun Brenton menyatakan bahwa Selandia Baru tidak ubahnya seperti Eropa, dan memiliki banyak “penjajah”. Dan yang paling utama, ia ingin menyebarkan pesan bahwa tidak ada tempat yang aman bagi para imigran, bahkan di negara paling aman sekalipun.
Meskipun teror terhadap muslim di Selandia Baru ini bersifat non-organisasional, tetapi jangan anggap bahwa kejadian ini tidak terstruktur. Konteks kejadian teror ini jelas tentang betapa Brenton dan kaumnya menginginkan supremasi kulit putih dan menyebarkan kebencian terhadap kaum minoritas lainnya.
Tentu ia tidak sendiri, dalam manifestonya, Brenton mengklaim bahwa ia mewakili jutaan etno-nasionalis dari Eropa. Tentu, ini merupakan jaringan besar yang perlu dibongkar secepatnya. Karena apabila dia melakukan live streaming pada facebooknya, maka sudah tentu ia memiliki pasar, orang-orang yang ingin melihat aksinya.
Meskipun kita tidak mengetahui jumlah pastinya, tetapi kita tidak bisa menampikkan bahwa golongan ekstremis sayap kanan ini tentu memiliki jumlah signifikan. Jika berkaca kepada gerakan Neo Nazi, mereka memiliki afiliasi internasional yang puluhan negara anggotanya memiliki berbagai macam organisasi dengan garis politik serupa. Jika melihat sejarah teror yang dilakukan oleh kelompok ekstrimis sayap kanan, melakukan teror seperti ini bukanlah hal yang sulit bagi mereka.
Keterkaitan Histori Antara Supremasi Kulit Putih dan Islamofobik
Jika menggunakan pendekatan historis terkait persebaran agama, Deepa Kumar dalam bukunya Islamophobia and the Politics of Empire menyebutkan bahwa ketegangan antara Barat dan Islam sudah terjadi sejak abad ke-8. Ketika itu, Dinasti Ummayah di Spanyol sedang ada di masa kejayaannya. Dimana karya para teolog dan filsuf Arab menjadi primadona saat itu. Masyarakat Yahudi, Kristen dan Islam hidup dengan saling berdampingan dengan menggunakan landasan filosofis dan sains dari cendekiawan-cendekiawan muslim.
Disini, Kumar mengatakan bahwa secara tidak langsung, peradaban Islam merupakan peradaban yang lebih maju dari Barat yang masih berkubang dengan keterbelakangan dan stagnansi. Namun, pada abad ke-8 sampai dengan 11, Barat kemudian memandang Islam sebagai musuh yang menginvasi tanah Eropa, sama halnya seperti kelompok pagan lainnya yang berkembang di tanah Eropa. Tetapi, permusuhan tidak langsung ini ternyata belum dipandang sebagai musuh “relijius” sampai pada abad 11 ketika Perang Salib dikumandangkan.
Dengan perkembangan budaya yang tinggi, Eropa membutuhkaan aturan-aturan hukum yang pasti dan mengikat. Termasuk peraturan tentang keyakinan. Disini, terjadi banyak konflik antar keyakinan. Termasuk konflik antara Kristen dengan Pagan. Namun, Pagan berhasil ditaklukkan dan dikonversi menjadi penganut Kristen, sehingga musuh utama dari Kristen Romawi tinggalah Islam.
Pertahanan Islam di bawah Dinasti Umayyah kemudian tidak bertahan lama. Kekuasaan Islam di Spanyol menemui akhirnya pada abad 13 dan memilih untuk tunduk dibawah Kerajaan Katolik Kastila. Dan diikuti oleh Portugal di abad yang sama yang tunduk pada Kerajaan Portugal.
Memasuki Abad ke-15, kekuatan Islam kembali menguat dengan bangkitnya Dinasti Ottoman Turki dibawah pimpinan Sultan Mehmed II. Barat mulai menemui alasan untuk kembali memusuhi Islam.
Terutama sejak kebijakan politik tangan besi yang dijalankan oleh Gereja Roma. Saat itu, agama-agama minoritas seperti Kristen Ortodoks memilih untuk berlindung di bawah kekuasaan Turki yang mau mengakomodir otonomi bagi rumah-rumah ibadah kaum minoritas, sehingga Ottoman dicintai oleh kebanyakan rakyat Eropa.
Dalam perkembangannya, tetap saja Romawi sebagai penguasa yang unggul. Walaupun citra Islam yang melekat pada Dinasti Ottoman adalah citra yang dicintai rakyat Eropa, bukan berarti Roma bisa berdamai dengan hal tersebut. Tujuan mereka jelas adalah kekuasaan tunggal di bawah satu agama, dengan paket kebijakan politik dan hukum yang komplit dengan corak keagamaan khas Romawi.
Namun, perselisihan yang terjadi antara Ottoman Turki dengan Kerajaan Romawi bukanlah sebagai musuh dalam makna relijius, namun sebagai musuh politik dan militer dalam upaya merebut pengaruh dan kekuasaan di dalam tanah Eropa sendiri.
Di abad ke-16, kekuasaan Turki mulai melemah di hadapan penguasa-penguasa Eropa, sehingga pada permulaan abad ke-18, mulailah muncul polarisasi Barat dan Timur. Studi ini sebagai konsekuensi atas kalahnya Timur –khususnya Islam- dalam mengambil tempat strategis dalam sejarah peradaban manusia.
Namun, Barat juga mulai melihat Islam dari lensa ‘keilmuan/scientific’ yang membagi manusia berdasarkan kategori ras atau spesies: misalnya ras kulit putih Eropa menyimpulkan bahwa mereka adalah superior sehingga pantas untuk menaklukkan orang kulit hitam dan coklat yang ‘buruk’ dan ‘semi-beradab’. Berkat kapitalisme Barat, Stereotip ini semakin hidup. Kemajuan teknologi militer, ilmu pengetahuan dan komunikasi, membuat Barat semakin menguatkan klaim superioritas itu.
Dari sini, mulailah invasi-invasi oleh negara Barat ke Timur untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam dan manusia serta kolonialisasi dan persebaran agama. Konflik Israel-Palestina, Inggris, Portugis, Belanda menginvasi Asia Tenggara, bahkan Australia dan Oseania, hingga Amerika yang campur tangan dalam konflik Irak-Iran, adalah bukti betapa superioritas kulit putih benar-benar menemui realisasinya.