Rabu, April 24, 2024

Terma “Kafir” dalam Negara Hukum

Ispan Diar Fauzi
Ispan Diar Fauzi
Dosen, Generasi Muda NU, Penulis Buku Problematika Hukum Terkini

Sesaat setelah diumumkannya rekomendasi Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Kota Banjar tentang status atau kedudukan non muslim dalam negara bangsa (nation state), banyak kalangan yang menolak rekomendasi tersebut.

Setelah saya diskusi dan menyelami landasan argumentasi kelompok yang menolak rekomendasi tersebut ada beberapa rasionalisasi yang didasarkan pada tindakan a priori tanpa terlebih dahulu mempelajari lautan hujjah dan dalil yang telah dinarasikan dalam rekomendasi tersebut. Akibatnya simpulan yang dihasilkan berujung pada misleading atau tidaklah menyebutnya sebagai suatu kesalahan.

Saya menilai penerimaan informasi yang parsial dan distorsif merupakan salah satu penyebab tidak dipahaminya secara utuh substansi dari rekomendasi tersebut. Perlu ditegaskan bahwa rekomendasi komisi bahstul masail diniyyah al-maudhuiyyah (permasalahan kontemporer) itu sama sekali tidak ada intensi apalagi menegasikan otoritas Al-Quran yang telah jelas mengunakan terma “kafir” sebagai penyebutan bagi yang tidak beragama islam.

Forum ini menyepakati bahwa status non muslim dalam negara bangsa adalah warga negara (muwathin) yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan warga negara yang lain. Mereka tidak masuk dalam kriteria “kafir” sebagaimana disebutkan dalam fiqih siyasah (kafir muahad, kafir musta’man, kafir dzimmi, dan kafir harbi).

Rekontekstualisasi terma “kafir” dalam kehidupan bernegara (muamalah) ini diperlukan agar tidak ada lagi sekat primordialisme atas nama agama yang akhir-akhir ini muncul sebagai akibat dari menguatnya patron politik populisme dan mulai mengkarnya fundamentalisme keberagamaan di kalangan masyarakat.

Negara Hukum

Ada dua jenis negara hukum yang berkembang dalam ilmu hukum, pertama : negara hukum rechsstaat yang dipopulerkan oleh Julius Stahl. Kedua : negara hukum rule of law yang digagas oleh Albert Van Dicey pada tahun 1885 dalam buku berjudul Introduction to the Study of the Law of Constitution. Antara kedua jenis negara hukum tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Julis Stahl mengkonsepsikan empat elemen  teori negara hukum rechsstaat : (1) Perlindungan Hak Asasi Manusia. (2) Pembagian Kekuasaan. (3) Pemerintah berdasarkan undang-undang. (4) Peradilan tata usaha negara (Jimly Asshiddiqie, 2008).

Sementara itu Albert Van Dicey menjelaskan karakteristik negara hukum rule of law, yaitu adanya : supremasi hukum (supremacy of law), Persamaan dihadapan hukum (equality before the law), dan Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on Human rights).

Kedua jenis negara hukum tersebut kemudian menyebar ke negara-negara didunia termasuk ke Indonesia dengan berbagai derivasinya yang khas. Kekhasan konsep negara hukum Indonesia adalah diinternalisasinya nilai-nilai pancasila, sehingga para ahli hukum mengistilahkan negara hukum indonesia sebagai negara hukum pancasila.

Egalitarian 

Dimanakah relevansi negara hukum pancasila dengan rekomendasi Munas NU tentang status non muslim dalam negara bangsa ? maka jawabannya terletak ada pada irisan egalitarian. Dalam dimensi kebangsaan egalitarian dapat disimplikasikan sebagai persamaan derajat manusia.

Jean Jacques Rouseau dalam bukunya du contract Social mengusulkan tentang perlunya perjanjian masyarakat, kesamaan, dan kemerdekaan dalam sebuah pemerintahan. Kesamaan derajat manusia inilah yang kemudian dalam negara hukum pancasila ditasbihkan sebagai mahkotanya (kemanusiaan yang adil dan beradab; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).

Bahkan Jimmly Asshiddiqie (2006) dalam bukunya yang berjudul “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia” menyebutkan salah satu karakteristik negara hukum pancasila adalah persamaan dalam hukum (equality before the law) dan dilindunginya hak asasi manusia.

Lebih spesifikasi lagi konstitusi (baca : UUD 1945) sebagai pengejawantahan dari konsep negara hukum pancasila telah mengatur persamaan derajat manusia dihadapan hukum dan pemerintahan, hal itu dapat dilihat dalam Pasal 27 ayat (1) yaitu :  “Segala warga negara bersama kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Ala kulli hal. Penyebutan warga negara (muwathinun) bagi yang tidak beragama islam sesuai rekomendasi Munas NU ini adalah bentuk ikhtiar untuk mengangkat derajat manusia dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa melihat suku, agama, ras maupun golongan. Rekmonedasi ini kembali mempertegas komitmen NU sebagai organisasi Islam terbesar di dunia untuk tetap memperjuangkan nilai-nilai persamaan dan kemanusiaan yang sebelumnya telah diperjuangkan oleh almarhum Gus Dur.

Ispan Diar Fauzi
Ispan Diar Fauzi
Dosen, Generasi Muda NU, Penulis Buku Problematika Hukum Terkini
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.