Minggu, Februari 9, 2025

Terima Kasih H2O

Bayu Kharisma Putra
Bayu Kharisma Putra
Penulis lepas, tukang dekor, dan warga negara
- Advertisement -

Tahun 2015, ketika di sini tengah viral cicak vs buaya jilid 3 dan demam batu akik, penemuan air di Mars menghebohkan seluruh dunia. Sebagaimana yang khalayak umum tahu, air dianggap sebagai sumber kehidupan, dan hal itu meningkatkan kemungkinan adanya kehidupan di planet merah. Ini penemuan penting untuk banyak orang, meski dianggap tidak berguna bagi pihak yang lain.

Banyak yang menyayangkan fokus yang tersedot pada air di planet nun jauh di sana, dan melupakan keadaan air di planet yang mereka tempati sendiri. Jumlah air tawar di Bumi kurang dari lima persen, dan pencemaran air sekaligus alam yang tak kunjung menurun memang sangat mengkhawatirkan.

Ya, air memang sepenting itu. Baik yang ada di planet jauh, hingga di depan mata kita sendiri. Ada campur tangan air pada hampir setiap sendi di hidup kita. Tubuh kita sendiri dihidupi oleh air, protein pun tak bisa diserap jika tubuh kekurangan cairan. Pohon butuh air untuk berfotosintesis. Ikan juga butuh, banana boat juga. Jika pun rumah dan motor kita terendam air, itu juga semata-mata bukan salah airnya. Intinya, kita butuh air untuk segalanya. Termasuk beradaptasi ketika jadi warga negara.

Selain karena negara kita adalah negara perairan, dan pulau-pulau kita dikelilingi air, botol sampo dan kuah mi instan juga sangat butuh air. Apalagi pada saat darurat dan momen-momen semacam ini. Memang, kenaikan pajak urung dilakukan sekarang, tapi harga-harga sudah terlanjur naik di saat pendapatan mampat segitu-gitu saja. Mengingat bulan puasa dan hari raya lebaran akan tiba sebentar lagi, kenaikan bahan pokok juga merupakan ancaman yang nyata. Karena itulah, sampo dan kuah mi instan di rumah akan makin encer.

Sebagian orang menjejalkan air pada botol sampo mereka ketika ujung bulan semakin dekat. Sebagian yang lain melakukannya hampir setiap hari dengan mengkolaborasikan antara botol bekas, sampo sachet, dan air. Terberkati kalian yang bisa beli sampo botolan setiap kali habis. Tabik!

Siasat sat set lain yang bisa dilakukan adalah menaikkan volume air dalam kuah mi instan. Sup mi instan, cukup satu bungkus untuk tiga orang, dan dibantu nasi. Tentu penikmat mi instan goreng murni tak bisa masuk dalam siasat satu ini. Kami tak mengenal pembuangan air, apalagi air yang tak gratis dan sudah dimasak dengan gas yang juga dibeli dengan uang. Yang ada hanya menambahkan, bukan membuang. Tentu perbuatan mubazir macam itu tak cocok diterapkan dalam negara yang punya IKN dan program makan siang gratis.

Saya ingat kawan satu kontrakan ketika PKL yang punya daya juang dan daya bertahan hidup tinggi. Terkait mi instan goreng, ia punya ide yang terhitung jenius meski ironis. Dengan mi instan goreng dan dua centong nasi, ia tak lantas menyia nyiakan air bekas rebusannya. Satu sachet minuman sereal yang konon mampu memberikan energi, dicampurkan ke dalam air bekas itu. Dengan kekhusyukan khas putra-putra pejuang Indonesia emas, ia melakukannya hampir setiap hari. Kadang dengan kopi, tak jarang teh. Rasanya? Tak perlu ditanya.

Tak ada yang menganggapnya ide yang buruk, meski tak sesuai norma-norma dan anjuran ahli gizi, maka kami semua ikut melakukannya. Atau dengan bahasa yang lebih baik : ikut meningkatkan daya juang serta solidaritas sesama kelas menengah ke bawah banget.

Hingga hari ini, terutama saya (mungkin kebanyakan dari kita juga), akan mengencerkan hampir sebagian besar zat yang bisa jadi lebih encer. Nasi yang lembek, gagal jadi bubur pun tak tega disebut nasi, pernah menemani masa-masa ngekos itu. Dan itu sering dilakukan. Atau seperti saat dulu saya ngekos di Bantul depan kampus ISI Jogja yang ramai, yang malah hanya bertahan dengan air galon ketika sahur dan buka puasa (berdesir hati saya saat ada yang mandi pakai air galon). Atau di masa kini, ketika bikin sup sayur yang persentase sayurnya agak menyedihkan. Seledri dan wortel-wortel itu seperti penyu dan ubur-ubur di samudra nan luas terbentang.

Kecap, saus sambal, detergen, sabun cuci piring, parfum, semua bisa ditambah air. Jangan sampai ada yang tersisa dalam botolnya, harus tandas hingga tetes terakhir. Meski paham bahwa rasa dan efektivitas produk-produk tersebut menurun jauh saat air berpartisipasi, hal ini tetap harus dilakukan. Apalagi sejumput kopi dalam satu cangkir air panas, yang mungkin kafeinnya hanya mampu mendegubkan jantung sebanyak satu kali saja. Bahkan tak mampu untuk sekedar menggelitik lambung seorang penderita maag akut.

- Advertisement -

Sayang, tak semua hal bisa ditambah air. Gas LPG contohnya. Meski ada kata “liquid”, tak serta merta air bisa dimasukkan sembarangan. Begitu juga listrik, yang dikhawatirkan bisa terjadi korsleting jika air ikut serta bekerja. Motor yang belum lunas cicilannya pun begitu, tak bisa jalan tanpa bensin. Lagi pula, sejak zaman nenek moyang kita, air tak pernah cocok dengan minyak. Dan voucher gesek kuota internet, ia tak akan bisa digunakan lagi meski telah direndam air setiap hari.

Tapi, walau air tak bisa membuat isi rekening membengkak selepas buku tabungan direndam dalam toren, ucapan terima kasih tetap harus dihaturkan. Tak terkecuali pada air dari PDAM (perusahaan daerah air minum) yang sesungguhnya tak bisa diminum itu. Air, alias tirta dengan senyawa kimia H2O, adalah sebesar-besarnya rahmat yang ada di Bumi. Air selalu membantu kita dalam keadaan yang sulit seperti sekarang, atau keadaan yang sesungguhnya memang tak lebih baik dari sebelumnya.

Memang menjengkelkan keadaan ngalor ngidul semacam ini. Jangankan memikirkan air di Mars, atau pencemaran air di Bumi. Memikirkan cara membayar tagihan air beberapa kubik pun bukan perkara mudah. Sebagai warga negara ini, saya tahu air sangat amat berjasa untuk menambah masa pemakaian suatu produk. Sayang, kenaikan barang pokok yang terjadi, berbanding lurus dengan penggunaan air. Bahkan, di negara kita ini, masih  banyak warga yang belum bisa menikmati layanan air bersih yang layak dan murah.

Pada kenyataannya, mayoritas kita terlalu sibuk memikirkan cara bertahan hidup. Saat urusan mendasar masih harus diperjuangkan dengan kesulitan yang amat sangat, segala kebijakan yang tak bijak bisa dengan leluasa dijalankan. Tak jarang banyak yang tak sadar sudah menjadi korban dari sistem yang awur-awuran ini.

Saat kita terlalu sibuk mencari apalagi yang harus diencerkan, barang apa saja yang bisa dicampur air, beberapa atau sedikit saja golongan menikmati hidup enak dari jerih payah kita. Mereka yang ke mana-mana hobi pakai patwal, mana pernah merasakan tak boleh masuk kelas karena nunggak SPP, atau makan nasi dengan lauk kecap yang encer. Lagi pula, tak semua orang bisa, atau punya kemampuan untuk keluar dari lubang biawak ini. Kebanyakan hanya bisa bertahan karena itu satu-satunya pilihan yang tersisa.

Bahkan, mau menangis pun rasanya sayang, air mata tak bisa untuk menyeduh kopi, lebih baik disimpan saja daripada terbuang. Selagi hidup masih begini-begini saja, gunakan energi untuk terus merawat ingatan, jangan sampai jadi bagian dari bangsa yang mudah lupa.

Bayu Kharisma Putra
Bayu Kharisma Putra
Penulis lepas, tukang dekor, dan warga negara
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.