Saya masih cukup ingat ketika itu, Bapak Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjadi Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta karena Bapak Joko Widodo diharuskan mengambil cuti panjang untuk keperluan kampanye pemilihan presiden tahun 2014. Meski pada akhirnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi mengumumkan bahwa pemilihan presiden tahun 2014 dimenangkan oleh Jokowi-JK, bukan Prabowo-Hatta.
Setelah pengumuman dari KPU kala itu, berarti akan secara resmi juga Ahok tidak akan jadi Plt Gubernur lagi. Melainkan ia akan diangkat menjadi Gubernur DKI Jakarta untuk menggantikan Joko Widodo yang telah dahulu menjadi Presiden.
Pada awalnya memang saya pesimis, apakah Ahok akan bisa memimpin Jakarta—pasca ditinggal Jokowi? Terlebih lagi Ahok seorang minoritas yang tentunya akan mendapat tekanan begitu keras dari musuhnya?
Saya tidak berniat berpikiran buruk ke depan. Karena memang sejarah pernah mencatat, jika Jakarta pernah dipimpin dari minoritas juga. Namanya ialah Henk Ngantung, Gubernur Jakarta tahun 1964-1965. Semoga Ahok tidak akan mengalami masalah, pikir saya saat itu—beberapa jam setelah KPU merilis hasil pemilihan presiden 2014.
Tapi toh nyatanya, hal yang saya takutkan terjadi. Beberapa minggu setelah Joko Widodo dinyatakan menang oleh KPU dan beberapa bulan lagi Ahok akan dilantik menjadi Gubernur dan menjadi orang nomor satu di Jakarta, penolakan itu sudah mulai terasa.
Mereka adalah FPI. Entah itu oknum atau mewakili seluruh anggotanya, merekalah yang secara terang-terangan menyatakan kalau umat Islam menolak kepemimpinan Ahok yang akan menggantikan Joko Widodo. Percayalah, saya umat Islam, tapi tidak merasa diwakilkan oleh FPI.
Puncak penolakannya terjadi pada 3 Oktober 2014. Bahkan saat itu Ahok belum dilantik. Massa yang berjumlah sekitar 200 anggota dari FPI bentrok dengan kepolisian di depan gedung Dewan Perwakilan Daerah DKI Jakarta, Jakarta Pusat. Massa FPI melempari batu yang menyebabkan beberapa anggota polisi dan pegawai DKI terluka.
Penolakan yang berlarut-larut tersebut tidak bisa berdampak serius pada keputusan hukum. Tepatnya tanggal 19 November 2014, Ahok telah dilantik sebagai Gubernur Jakarta di Istana Negara oleh Presiden Joko Widodo. Dan kepemimpinan Gubernur baru telah dimulai.
Berbagai kebijakan dan pembangunan langsung dimulai dengan cepat dan berani. Mulai dari E-Budgeting, Normalisasi Sungai, Normalisasi Waduk Rawa, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), Pasukan Oranye/Biru/Hijau, Pembangunan RPTRA, Penertiban Kalijodo, Pembangunan Masjid, dan masih banyak lagi jika kalian mau mencari informasinya. Meski tak sedikit menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan, tapi saya merasa Ahok bersama Djarot telah “cukup berhasil” merubah Jakarta. Nyatanya, apa yang saya takutkan beberapa tahun lalu, terbayar sudah dengan prestasi beliau. Saya kagum. Saya berharap Ahok-Djarot akan diberi kesempatan lebih lama untuk melanjutkan kerjanya.
Tapi, ternyata Tuhan telah berkehendak lain.
Masa-masa menjelang kampanye untuk pemilihan gubernur 2017. Ada seseorang bernama Buni Yani mengunggah “potongan” video pidato Ahok saat di Kepulauan Seribu (27/9/2016). Postingan tersebut akhirnya menjadi viral karena Ahok dianggap menyinggung ayat suci agama Islam dan dianggap telah menista agama. Berbagai pihak akhirnya melaporkan Ahok ke Bareskim Mabes Polri dan Polda Metro Jaya. Saya sangat yakin, mereka tidak melihat video itu secara utuh dan mereka tidak melihat secara langsung bagaimana Ahok pidato di Kepulauan Seribu (27/9/2016).
Lalu pada tanggal 10 Oktober 2016, Ahok meminta maaf kepada umat Islam bahwa dia tidak berniat menghina ayat atau agama lain. Tapi permintaan maaf tersebut tidak dihiraukan. Berbagai kalangan menuntut Ahok agar dipenjara. Ada pula yang ingin menggantung Ahok. Keji memang. Tapi itu kenyataan yang bisa kita temui di salah satu spanduk peserta aksi mendemo Ahok. Beberapa teriakan begitu nyata: penista agama, kafir, ganyang Cina, komunis, bunuh Ahok.
Hari semakin mengerikan. Di masa kampanye, fitnah bertebaran di mana-mana yang selalu menyerang dirinya. Ada juga beberapa spanduk tertempel di sudut-sudut jalan dekat dengan rumah ibadah. Kurang lebih berisikan tentang larangan mensholatkan jenazah bagi pendukung pemimpin kafir atau penista agama. Sangat jelas secara rasional, spanduk tersebut ditunjukkan kepada pendukung Ahok. Tidak mungkin tidak.
Tanggal 13 Desember 2016 adalah sidang perdana Ahok sebagai tersangka dugaan penodaan agama digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Lalu beberapa minggu kemudian, sidang dipindah di Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan. Di luar gedung, para massa dari kedua kubu bereaksi. Kasus yang bahkan menyita perhatian hingga ke luar negeri.
Yang akan selalu ingat sepanjang masa adalah ketika Ahok membacakan pledoi di persidangan pada 25 April 2017. Ahok menulis pembelaan tersebut berjudul “Tetap Melayani Walau Difitnah”. Dan yang tak luput apa yang dibacakan Ahok adalah kalimat ini: seperti kata ahli propaganda Nazi Jerman, dusta yang terus menerus diulang akan menjadi kebenaran. Kalimat yang membuat hati saya tersentuh. Ya, karena memang ada keganjilan dalam kasus ini. Ada “tangan” yang bekerja di sini.
Akhir bulan April 2017. Ahok dinyatakan kalah dalam pemilihan gubernur. Saya terima dengan lapang dada. Dia mendapatkan 42,04% suara dengan menyandang status tersangka. Posisi selalu didemo. Pendukung Ahok mendapatkan tekanan karena takut jenazahnya tidak disholatkan. Fitnah bertebaran di mana-mana. Meski pada akhirnya saya tahu, ternyata ada kelompok penyebar fitnah bernama saracen yang mendapat transfer uang dari kelompok yang mendukung pasangan calon gubernur lain. Saya jadi ingat kata yang sering diucapkan Ahok: Gusti ora sare.
Tanggal 9 Mei 2017, pagi menuju siang. Saya sedang sibuk melihat berita di TV. Saya dengan rasa gemetar memberanikan diri melihat Hakim Ketua membacakan putusan. Dan terjadilah. Ahok resmi divonis 2 tahun penjara. Bukan maling, bukan korupsi, bukan membunuh, bukan memperkosa. Ia hanya menjadi “korban” kepentingan kelompok lain.
Ahok menerima semuanya. Tidak lagi melawan. Membatalkan permohonan banding. Di situ, saya mulai percaya. Ahok tidak akan sendiri. Tuhan bersama dia, dan selalu melindungi dia.
Acara aksi nyala lilin untuk Ahok bertebaran di mana-mana. Dari Jakarta, Kalimantan, Bali, Sulawesi, hingga Papua. Bahkan para WNI yang di luar negeri juga turut bersimpati. Dari Austalia hingga Eropa dan Amerika. Ada juga yang bereaksi karena kasus ini, mereka adalah Amnesty Internasional, Dewan HAM PBB, dan juga Parlemen Belanda. Karena banyak orang yang percaya, ada yang “salah” di kasus ini.
Minggu-minggu yang saya benci sepanjang umur hidup saya. Dan saya butuh berbulan-bulan melupakan kebencian ini semua. Saya harus terima. Saya harus lapang dada.
***
Beberapa bulan setelah itu, saya lagi-lagi menemukan nama Ahok dalam bursa wakil presiden pendamping Jokowi. Saya menemukan nama Ahok untuk menjabat sebagai Menteri di kabinet Jokowi nanti. Saya menemukan nama Ahok menjadi bursa calon gubernur di provinsi selain Jakarta. Dan, saya mulai “membenci” nama itu.
Oke, saya memang mendukung Ahok. Saya mecintai cara beliau bekerja. Saya mencintai apa yang sudah beliau berikan. Saya akan senang jika dipimpin oleh beliau dengan waktu yang panjang.
Tapi memori saya masih bisa mengingat bagaimana Ahok didemo ketika menjadi Plt, ketika kampanye, ketika ingin menjadi wakil kita di pemerintahan. Tapi toh, hanya karena hasrat kita ingin dipimpin beliau. Itu akan membuka peluang beliau akan “diserang” lagi. Membuat beliau akan “terpuruk” lagi. Jauh dari keluarganya sendiri. Bisa jadi, segala kemungkinan terjadi. Lagi.
Saya hanya ingin mengatakan kepada beliau: terima kasih banyak atas jasamu selama ini, Pak Ahok maupun Pak Djarot. Dalam hati saya terdalam, saya juga ingin mengatakan: pulanglah dan istirahatlah.