Sabtu, April 20, 2024

Terburu-buru Menuduh Profesor Nurdin Abdullah Tidak Komitmen

nugrohoali
nugrohoali
Penyuka Albert Camus

Dalam politik, setiap langkah pengambilan keputusan ibarat bergerak di air bening tapi berlumpur. Setiap geraknya mudah meninggalkan jejak keruh. Terlepas itu sebuah tindakan dari keputusan yang tepat atau salah secara politik, selalu ada komentar-komentar yang tidak menyenangkan. 

Hal ini dialami oleh Profesor Nurdin Abdulllah. Isu yang belakangan ini berkembang dan merendahkan dirinya (tentu saja Nurdin Abdullah bukan tipologi manusia yang mudah tumbang oleh cacian atau melayang karena pujian): sang profesor dianggap tidak memiliki ‘komitmen’ karena memilih berpasangan dengan Andi Sudirman Sulaiman sebagai bakal calon wakil gubernur Sulawesi Selatan.

Sebelumnya, Nurdin Abdullah diberitakan berpasangan dengan Andi Tanri Bali Lamo (TBL) sebagai bakal calon wakil gubernur Sulawesi Selatan (Makasar Terkini). Dia merupakan wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Golkar. Tetapi keputusan akhir harus dialami oleh TBL: dia harus bersabar sebab NA akhirnya dipasangkan dengan dengan adik menteri pertanian. Persoalan ini kemudian menyulut komentar-komentar negatif beberapa oknum terutama ditujukan kepada Nurdin Abdullah sebagai orang yang dianggap tidak punya komitmen dengan meninggalkan dan membuang TBL.

Komentar negatif ini sebenarnya bisa ditempatkan sebagai suatu sikap ‘tidak dewasa’ di dalam politik. Juga ini bisa dibaca sebagai upaya penggiringan opini untuk menjatuhkan integritas seseorang, sebutlah NA, dengan label-label sebagai manusia yang tidak punya komitmen, plin-plan dalam menentukan pilihan dan keburukan lainnya. Dimana isu ini menggelinding? Tentu saja di sosial media. Mengapa ini menggelinding? Tentu saja ini persoalan taktik strategis di dalam politik. Tulisan ini berusaha mempertanyakan tuduhan ‘tidak komitmen’ yang diberikan kepada sang profesor.

Mempertanyakan Label ‘Tidak Komitmen’

Benarkah Profesor NA ‘tidak komitmen’ dengan keputusan meninggalkan TBL dan berpasangan dengan Andi Sudirman Sulaiman (ASS)? Tuduhan ‘tidak komitmen’ adalah suatu reaksi yang berlebihan dan terburu-buru atas keputusan akhir NA memilih ASS. Pertama, bila dicermati dengan pikiran yang objektif, persoalan ini sesungguhnya perihal ‘biasa’ di dalam keputusan politik. Dianggap ‘biasa’, sebab persoalan ini menyangkut persoalan strategi atau taktik politik. Pertimbangan-pertimbangan memilih ASS dan meninggalkan TBL adalah persoalan strategi politik. Perihal keputusan politik adalah menyangkut keputusan bersama di dalam tim. Persoalan ini bisa terjadi kepada siapapun di dalam mengambil keputusan akhir pasangan calon.

Kedua, keputusan kolektif bersama untuk menunjuk ASS juga tentu saja mempertimbangkan kapasitas figur. Apakah TBL tidak lebih baik dari ASS tidak selalu soal itu? Tetapi memilih ASS jelas mempertimbangkan beberapa hal penting yang dimiliki oleh ASS untuk menjadi pasangan NA. ASS adalah sosok muda. Dia berumur 34 tahun. ASS, yang berpengalaman sebagai eksekutor di banyak perusahaan asing dan dengan gairah mudanya, dapat melengkapi NA yang dikenal sebagai konseptor (detikcom). Perpaduan NA sebagai konseptor yang ulung dan ASS sebagai eksekutor yang sarat pengalaman merupakan pilihan strategis untuk membawa kemajuan bagi Sulawesi Selatan.

Dengan demikian persoalan ‘tidak komitmen’ tidak tepat dialamatkan kepada secara personal seorang Profesor Nurdin Abdullah dalam keputusan politik memilih pasangan Andi Sudirman Sulaiman. Keputusan tersebut tidak ambil secara personal oleh keputusan semata-mata profesor. Dan keputusan tersebut mencerminkan kesepakatan-kesepakatan politik bersama.

Label ‘Tidak Komitmen’ Sekedar Penggiringan Opini

Bila persoalan label ‘tidak komitmen’ dimunculkan terus-menerus atas personal profesor, ini bisa dibaca sebagai sebuah kesengajaan oleh oknum-oknum tertentu menggiring opini. Label ‘tidak komitmen’ adalah cara ‘receh’ yang dilakukan oleh orang-orang yang tak suka kepada profesor untuk mendiskreditkan dia dalam kancah politik. Kita tahu suhu politik di Sulawesi Selatan tengah memanas. Figur Nurdin Abdullah sebagai seorang profesor yang mampu menyulap daerah tertinggal Bantaeng menjadi daerah maju adalah suatu prestasi tersendiri yang membuatnya dikenal di Sulawesi Selatan.

Melalui keberhasilannya membangun Bantaeng, dia menjadi sosok yang diperhitungkan di Sulawesi Selatan. Terus-menerus ia menjadi perbincangan. Dia menjadi sorotan media atas capaian-capaian yang telah ia torehkan di Bantaeng. Dia menjadi perbincangan para akademisi. Capaian-capaiannya menjadi objek penelitian, misalnya para peneliti dari UI tentang kepemimpinan Nurdin Abdullah dan lainnya. Prestasi ini tak terbendung dan kian memuncakkan namanya.

Bagi Nurdin Abdullah tentu saja ini bagian dari komitmen kepemimpinannya. Dia melakukannya semata-mata sebagai upaya penegakan keadilan dan kesejahteraan sosial di Bantaeng. Dan bila kini ia menjadi yang kuat sebagai calon gubernur Sulawesi Selatan itu adalah buah dari kegigihan dan kepemimpinannya yang berpihak kepada rakyat. Dan bila kini ia tak terbendung (dan susah terbendung namanya) di pentas politik Sulawesi Selatan, memang adalah kesulitan tersendiri bagi oknum-oknum yang tidak suka. Satu-satunya cara untuk melemahkannya adalah dengan isu receh tentang NA yang (dituduh) ‘tidak komitmen’. Dan sekali lagi, tolak ukurnya hanyalah persoalan keputusan politik meminang Andi Sudirman Sulaiman bukan TBL.

nugrohoali
nugrohoali
Penyuka Albert Camus
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.