Sabtu, April 20, 2024

Teokrasi di Mata Demokrasi

Rohmatul Izad
Rohmatul Izad
Alumni Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Dalam pengertian yang paling umum, teokrasi adalah cara memerintah negara berdasarkan kepercayaan bahwa Tuhan langsung memerintah agama, di mana hukum negara yang berlaku adalah hukum Tuhan, dan pemerintahan dipegang oleh ulama atau organisasi keagamaan.

Dalam berbagai bentuknya, sistem teokrasi mengandaikan peran agama dalam politik dan masyarakat, dan sesuatu yang tidak mungkin apabila agama dan negara dipisahkan.

Meski begitu, isu hubungan agama dan negara telah menjadi perdebatan secara global. John Esposito (2010) mengungkapkan, hal itu tercermin dalam debat konsitusional di Amerika terkait shalat di sekolah, dukungan pemerintah untuk sekolah keagamaan, dan aborsi. Di Eropa, keprihatinannya adalah soal Islam dan integrasi nasional, dukungan untuk insitusi keagamaan Muslim, kebijakan imigrasi, dan terorisme dalam negeri.

Pertanyaannya, apakah pemisahan agama dan negara dimungkinkan dalam Islam? Sebagian umat Islam berpendapat  bahwa negara sekuler adalah suatu kekeliruan dan ada kewajiban dari agamanya untuk menerapkan suatu negara Islam. Di Indonesia misalnya, kita bisa menyebut kelompok HTI. Di dunia internasional, kelompok militan seperti HT, al-Qaeda dan ISIS telah berjuang untuk mengembalikan kekhalifahan dan pemerintahan Islam transnasional.

Kita bisa melihat misalnya, seperti negara Pakistan, Iran, Arab Saudi, dan Sudan telah menerapkan suatu tatanan teokrasi atau republik Islam. Hukum Islam yang diterapkan dalam negara-negara ini, juga sangat berbeda dengan apa yang dibayangkan oleh Hizbut Tahrir, yakni ada yang menggunakan model monarki seperti di Arab Saudi sampai pemerintahan parlemen yang dipimpin oleh ulama di Iran.

Lantas, apakah Islam bertentangan dengan demokrasi ketika banyak negara-negara Muslim tidak menerapkan sistem demokrasi itu. Sebagian umat Islam yang menganggap bahwa demokrasi tidak sejalan dengan Islam umumnya mengacu pada negara-negara Muslim yang disebutkan di atas. Padahal, pandangan semacam ini bukan hanya terlalu sempit, tetapi juga sama sekali tidak benar.

Di banyak negara-negara Muslim yang lain, sistem demokrasi ternyata dijalankan secara dinamis. Sebut saja misalnya Turki, Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia. Negara-negara ini telah mewakili sebuah sistem demokrasi, yakni demokrasi terbatas dan terpimpin. Fakta ini dapat menjadi dasar dalam menjelaskan tentang posisi Islam dan demokrasi itu sendiri.

Memang, sistem teokrasi yang dijalankan di dunia Islam sangat beragam, ada yang lunak dan cukup demokratis seperti di Iran, tetapi ada pula yang sangat militan dengan cita-cita ideal ingin menerapkan suatu kekuatan politik berada di tangan Islam. Jika kita melihat sistem teokrasi dalam perspektif demokrasi sebagaimana yang diterapkan di banyak negara-negara Muslim, maka konsep teokrasi itu bukanlah sebuah penyimpangan dari sistem politik modern.

Namun demikian, berbeda dengan sebuah sistem teokrasi yang dicita-citakan oleh beberapa kelompok militan yang ingin membangun negara Islam transnasional seperti Hizbut Tahrir. Hal ini lebih merupakan sebuah penyimpangan, sebab tidak ada satu model pun negara Islam, sebagaimana yang mereka maksud, tidak pula ada pijakan apapun untuk teokrasi dalam kitab suci Alquran.

Dengan kata lain, organisasi semacam Hizbut Tahrir itu terlalu memaksakan kehendak dan bahkan tidak ada satu negara Muslim pun yang berminat menerapkan sistem teokrasi yang mereka maksud. Artinya, teokrasi dalam pengertian umum, yang saat ini banyak diterapkan di berbagai negara Muslim, sama sekali tidak bertentangan dengan demokrasi modern, yang dalam beberapa hal mereka juga condong pada pemerintahan yang demokratis, seperti di Iran misalnya.

Jadi sistem teokrasi itu memiliki banyak macam. Negara-negara Muslim yang menerapkan sistem ini, khususnya dalam implementasi kebijakan pemerintahannya, juga berbeda-beda satu sama lain. Ada yang lebih condong pada monarki seperti di Arab Saudi, ulama sebagaimana di Iran, dan militer seperti di Pakistan. Meski beberapa negara ini ada yang dianggap otoriter, tetapi banyak negara-negara Barat menganggap hal itu bukan sesuatu yang sepenuhnya menyalahi gaya demokrasi ala mereka.

Pada prinsipnya, Islam sendiri memperhatian semua jalan hidup termasuk aspek politik, ekonomi, sosial, intelektual dan lainnya. Politik dalam pengertian ini adalah adanya keterlibatan dalam urusan kemasyarakatan dan mengatasi berbagai kepentingan semuanya.

Tetapi, pada pengertian politik inilah banyak umat Islam mengalami perbecahan. Ada yang menganggap sistem kenegaraan harus benar-benar Islami, ada pula yang menolak pemanfaatan agama dalam politik, tetapi agama harus memiliki peran yang signifikan. Umumnya, anggapan yang pertama inilah yang paling bertentangan dengan demokrasi. Sementara yang kedua, lebih ingin menfungsikan agama di ranah politik, tetapi tanpa membebani agama dalam mengurus semua hal kenegaraan.

Di sisi yang lain, sistem demokrasi sendiri juga bukan merupakan jalan terakhir bagi tatanan politik yang paling maju. Hanya, sejauh ini, demokrasilah yang paling cocok memenuhi kebutuhan masyarakat dalam membangun sebuah negara yang maju dan berperadaban. Demokrasi yang mencita-citakan kebebasan, ternyata sangat sesuai dengan semangat manusia modern dan telah menjawab sejumlah kebuntuan dari sistem lama yang disebut teokrasi.

Betapapun teokrasi bukan suatu sistem yang buruk, tapi tampaknya demokrasilah yang paling sesuai dalam konteks negara modern. Negara-negara Muslim sah-sah saja ingin menerapkan sistem teokrasi, karena mungkin ini sesuai dengan kondisi kultural dan keagamaan mereka. Tetapi paling tidak, sistem demokrasi dapat menjadi gambaran, betapa suatu pemerintahan yang teokratis mudah terjebak pada otoritarianisme. Sebagaimana ide gila yang dicita-citakan Hizbut Tahrir dan beberapa kelompok teroris seperti ISIS dan al-Qaeda.

Di Indonesia sendiri misalnya, pembubaran ormas HTI menjadi bukti konkrit bahwa gaya sistem teokrasi ekstrem yang mereka gaungkan sangat berbahaya bagi tatanan demorkasi pancasila yang selama ini telah menjadi kesepakatan bersama. Bahkan, di banyak negara-negara Muslim, Hizbut Tahrir sendiri ditolak mentah-mentah. Sebab, jika misi mereka terlaksana, bukan hanya akan meruntuhkan sebuah sistem kenegaraan yang saat ini telah kokoh, tetapi juga mengancam konflik dan peperangan besar, khususnya antara Islam dan Barat.

Rohmatul Izad
Rohmatul Izad
Alumni Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.