Karya seni sedang populer di Indonesia, sayangnya popularitas itu disertai cerita tentang rusaknya berbagai karya seni dan para pengunjung yang hanya sibuk melakukan swafoto di depan karya tanpa mengindahkan makna karya tersebut. Melalui tulisan ini saya ingin mengajak orang-orang untuk mengunjungi galeri dan museum bersama orang-orang yang dekat dengan mereka.
Tujuannya bukan hanya untuk memperlihatkan karya-karya seniman yang mungkin penting, tetapi juga untuk mengajarkan etika di tempat tersebut. Mungkin anda berpikir siapa saya kok mau mengajari orang lain perihal etika? Sebelum menghakimi, ada baiknya anda baca tulisan ini terlebih dahulu. Karena saya percaya akal budi manusia seharusnya dapat mengerti pentingnya kedua hal tersebut.
Ketika saya mendatangi pameran paling anyar di Museum Macan yang berjudul “Yayoi Kusama: Life is The Heart of The Rainbow“, saya tidak bisa berhenti berpikir tentang dua hal:
Pertama: Apa motivasi Museum Macan untuk membawa pameran karya seni ini ke Indonesia? Sebelumnya, pameran ini memang sudah dipamerkan di Singapura dan salah satu bagiannya ditiru oleh wahana swafoto yang bernama Rabbit Town di Bandung. Saya mengira ini dilakukan untuk mendorong lebih banyak pengunjung ke museum tersebut.
Pada wawancara di Kompas, Ketua Yayasan Museum Macan Fenessa Adikoesoemo menyatakan bahwa “Yang jauh lebih penting adalah bagaimana menyajikan program museum menarik dan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi publik.” Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Museum Macan telah menyediakan dua hal ini?
Kedua: Pengalaman macam apa yang diharapkan akan didapat oleh para pengunjung Museum Macan? Karena jika mereka hanya ingin mencari pengalaman swafoto (dan hasil foto itu sendiri), kenapa mereka tidak pergi ke Rabbit Town saja? Apakah keaslian suatu karya atau status sebuah institusi juga dianggap penting bagi mereka?
Melalui pengamatan singkat, karya-karya Yayoi Kusama memang menarik perhatian dengan mudah. Maka dari itu sangat mudah bagi para pengunjung untuk menempatkan berbagai pola (infinity nets) dan menempatkannya sebagai latar belakang yang berwarna-warni.
Museum Macan mungkin telah mengerti tentang hal ini. Selain pameran di Singapura, sebelumnya pameran di Washington, Amerika Serikat, juga berhasil mengundang 8.000 orang selama empat hari setelah pembukaan untuk masuk ke dalam salah satu “Infinity Room”.
Insiden pun tak terelakkan, salah satu labu yang dipamerkan dalam karya tersebut rusak, walaupun penggantinya dikirimkan kembali dalam waktu singkat namun itu cukup membuat pameran tersebut tutup selama tiga hari.
Kejadian-kejadian seperti ini mungkin yang membuat Museum Macan secara terus menerus mengkomunikasikan aturan mereka baik di situs maupun media sosial.
Dengan melakukan hal ini, Museum Macan juga secara tidak langsung melakukan pendidikan seni rupa, atau paling tidak etika dalam melihat seni. Ini juga mungkin yang dimaksud oleh Direktur Museum Macan Aaron Seeto dalam wawancaranya yang dimuat situs The Artling dan ditekankan oleh Fennesa sebagai memberi manfaat sebesar-besarnya bagi publik.
Selain itu, Museum Macan memang melakukan berbagai kegiatan seperti diskusi dan mencoba memberi pendidikan seni sedari dini kepada siswa sekolah dasar.
Shinta, salah satu Museum Assistant yang saya temui, menyatakan bahwa jumlah orang yang datang ke Museum Macan pada akhir pekan dapat mencapai 1.300 orang. Jika demikian, seharusnya pesan yang disampaikan mengenai karya-karya dari Yayoi Kusama dan sesuatu yang lebih sederhana seperti etika berkunjung di Museum Macan dapat diterima dengan mudah.
Namun, seperti dilaporkan oleh The Jakarta Post dan beredar di linimasa, Museum Macan sepertinya memiliki jalan yang panjang untuk mendidik publik kita.
Haviz Maulana, salah satu jurnalis Tirto.id yang diundang ke pembukaan pameran di Museum Macan, menyatakan bahwa proses edukasi yang dilakukan tidak cukup, karena itu perlu dilakukan secara terus menerus dan secara luas.
Pandangan yang sama juga diutarakan oleh Ellena Ekarahendy, Ketua Serikat Sindikasi, di akun Twitter pribadinya dia menyatakan bahwa tanggung jawab untuk meningkatkan pengertian publik atas seni tidak seharusnya berada di tangan satu institusi, tetapi harus dilakukan secara bersama-sama.
Yha inisiatif edukasi publik soal aktivitas seni budaya engga bisa dikerjain satu lembaga sih. Format sama skalanya juga perlu beragam. Suka salut sama inisiatif macem Podluck-nya @r_hakim, proyek SKS-nya Erudio, atau dulu ada lokakarya kritik budaya visual ruangrupa
— Ellena ? (@yellohelle) May 18, 2018
Di sisi lain, kegiatan mengedukasi publik tentang apresiasi seni memang dianggap tidak begitu penting atau menarik ketimbang menciptakan karya, foto bersama atau berkunjung ke galeri. Tentu saya sepakat dengan pendapat Ellena.
Aktivitas macem gini ga cuma di Jakarta sih. Festival macem FFD di Jogja juga buka kelas kritik film. Ya cuma kan gitu: aktivitas literasi macem gini dianggap kebutuhan sekunder atau tersier. Gak "seksi" buat mendatangkan massa. Susyeh emang kalo tourists-gaze doang yang dipake.
— Ellena ? (@yellohelle) May 18, 2018
Lalu apa sebenarnya yang dicari oleh para pengunjung Museum Macan? Jika hanya foto mereka di depan berbagai titik bukankah ini seharusnya bisa dilakukan di tempat lain, Rabbit Town misalnya?
Ayomi Amindoni, salah satu jurnalis BBC Indonesia yang melakukan liputan tentang Rabbit Town, menyatakan bahwa otentisitas atau keaslian karya yang tersedia di Museum Macan adalah salah satu alasan kenapa orang berbondong-bondong ke sana.
Jika begitu, apakah kita dapat menyimpulkan bahwa dalam proses mengambil swafoto dan menempatkan diri mereka dalam citra tertentu malah menjauhkan mereka dari pesan yang ingin disampaikan oleh Museum Macan?
Atau apakah kita bisa menyimpulkan bahwa sebagian besar orang yang datang memang tidak memiliki penghargaan atas karya seni. Ini bisa disebabkan karena mereka tidak memiliki pengetahuan tersebut atau memang tidak peduli dengan pandangan orang lain, termasuk dari senimannya itu sendiri?
Apapun alasannya, yang paling penting sekarang adalah edukasi publik tentang karya seni. Kita bisa melihat apakah siasat dan upaya Museum Macan dapat berhasil, namun saya pikir kira bisa memainkan peran dalam edukasi ini.
Caranya dengan mengajak orang-orang untuk datang ke pameran seni dan mulai mengajarkan mereka soal etika di pameran, walaupun kalau mereka nanti menjawab dengan mengutip Yayoi Kusama yang menyatakan dia merasa senang jika karyanya dibagikan dalam berbagai bentuk.
Karena bukankah kita makhluk yang memiliki akal budi?