Jumat, April 26, 2024

Tentang Papua, 02, dan Anti Asing

Fathan Rosyid
Fathan Rosyid
pembaca buku

Beberapa pekan pasca tragedi pengepungan asrama Papua karena diduga membuang bendera merah putih ke selokan (belakangan tidak terdapat bukti mahasiswa Papua pelakunya) dan aksi rasisme sejumlah oknum terhadap mahasiswa Papua belum sepenuhnya reda.

Kisruh di Surabaya di respon dengan aksi besar-besaran yang terjadi di beberapa kota di Papua dan Papua Barat, awalnya tuntuntan massa meminta pemerintah mengusut tuntas oknum pelaku rasis, namun belakangan tuntutan aksi mengarah pada referendum.

Pemerintah merespon dengan menerjunkan lebih banyak aparat keamanan untuk mengamankan aksi massa, saluran internetpun sampai harus diputus untuk menghindari berita hoaks menyebar sehingga menggangggu stabilitas Negara. Meskipun demikian media–media alternatif berusaha dengan keras memberikan informasi tentang update aksi massa.

Aksi massa berhari-hari dengan massa yang tidak sedikit jumlahnya mau tidak mau memancing perbincangan menjurus perdebatan di masyarakat. Di beberapa WhatsApp Grup (WAG) penulis misalnya, perdebatannya meruncing menjadi “sebatas” kepentingan elit 01 dan 02, narasinya kurang lebih aksi massa hingga kerusuhan “diatur” sedemikian rupa oleh elit 02 sebagai daya tawar agar mendapat jatah kursi atau bagian dari rekonsiliasi.

Dikesempatan lain penulis mencoba memancing diskusi di lingkarang kawan mahasiswa se-kontrakan, diskusi penulis pantik dengan beberapa pertanyaan sederhana tapi fundamental “ketika sumpah pemuda tahun 1928 apakah ada perwakilan dari Papua?

Ketika Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 apakah ada perwakilan dari Papua? ketika rundingan perjanjian New York seberapa besar keterlibatan orang Papua? Apakah proses pengintegrasian Papua ke Indonesia (baca: Pepera) sudah berjalan demokratis dan sesuai konstitusi?”

Tidak ada jawaban! Sialnya narasi diskusi menjadi tidak jauh berbeda seperti di WAG, kali ini ditambahi bumbu-bumbu konspirasi “anti asing” dan jatuhnya adalah slogan NKRI harga mati!

Suka atau tidak pembacaan dengan pendekatan konspiratif di atas tidak akan membawa kita kemana-mana, alih-alih menginsafi kebebalan kita dalam memperlakukan saudara kita bangsa Papua, tidak ada pembelajaran barang sedikitpun yang bisa dipetik, yang ada hanya akan mengkerdilkan kita dan semakin membuktikan bahwa segregasi akibat pilihan presiden tempo kemarin belum sepenuhnya hilang dibawah alam sadar kita.

Bayangan masyarakat terhadap konsep sejarah yang seakan –akan bim salabim langsung “jadi” dan hagemoni glorifikasi NKRI harga mati menempatkan NKRI menjadi sesuatu yang ilahiyah-imateril, sesuatu yang seakan tiada awal dan akhir alih –alih dibaca secara kritis utamanya dalam konteks sosio historis dan ekonomi –politik terkait hubungan Papua dan Indonesia.

Terjadi kecacatan dalam aspek sejarah proses masuknya Papua ke Indonesia. Frans Pekey dalam “Papua Mencari Jalan Perdamaian” menjelaskan dengan sangat detail detik –detik pemungutan suara hasil Perjanjian New York yang ditandatangani 15 Agustus 1962. Pemungutan yang sedianya dilakukan dengan mekanisme one man one vote diubah menjadi act of free choice (baca: diwakilkan 28 perwakilan dewan adat) perubahan itu merupakan tindakan menyimpang dari integrasi politik dan konsensus normatif perjanjian New York. Apalagi dari 28 dewan perwakilan adat 14 diantaranya walk out.

Dari sisa 14 tersebut 12 menyatakan mendukung 2 sisanya menolak. 12 perwakilan tersebut menyetujui karena terdapat pasal XVIII perjanjian New York yang menjelaskan bahwa dikemudian hari rakyat Papua diberikan kesempatan menentukan nasibnya sendiri apakah ingin tetap bersama Indonesia atau memutuskan hubungan dengan Indonesia.Saking rumitnya baru 18 tahun pasca merdeka tepatnya 1 Mei 1963 Papua resmi ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Pekey bahkan berani menyimpulkan perjanjian New York berisikan [1] Kepentingan politik Amerika Serikat dan Indonesia.[2] kepentingan ekonomi Amerika Serikat dan Indonesia.[3] Pengabaian atas komitmen Kemerdekaan Papua Barat. [4] Pandangan rasisme Amerika Serikat dan Indonesia.

Belum lagi bagaimana megaproyek tambang emas Freeport membumihanguskan tanah ulayat serta gunung yang amat disakralkan masyarakat suku Amungme dan Kamoro, sampai –sampai Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dalam salah satu pengantar laporannya mengandaikan gunung Nemangkawi ibarat Makkah yang dibawahnya dieksploitasi habis-habisan. Serta puluhan bahkan ratusan laporan pelanggaran HAM yang tak diusut tuntas oleh Pemerintah.

Menganggap penyebab aksi massa di papua adalah tragedi rasialisme an-sich adalah pembacaan parsial semata. Mengapa dalam diskusi di atas penulis memancing dengan pertanyaan sejarah? Karena aksi massa di Papua bukan semata persoalan rasialisme di Surabaya, Tragedi di asrama Papua Surabaya ibarat api pemantik yang sumbernya adalah konflik di Papua itu sendiri.

Lebih jauh aksi massa di Papua adalah puncak dari polemik sejarah pengintegrasian Papua ke Indonesia, berbagai pelanggaran HAM akibat militerisme yang “dibiarkan” ditimbun bertahun-tahun hingga menimbulkan trauma sampai eksploitasi sumber daya alam yang mengabaikan dampak ekologis hingga terusirnya masyarakat adat dari ruang hidupnya. Semua itu terakumulasi menjadi tuntutan yang bernama referendum.

Referensi:

Pekey, Frans. 2018. Papua Mencari Jalan Perdamaian. Penerbit: PT Kompas Media Nusantara

Amiruddin, Dkk 2003. Perjuangan Amungme: Antara Freeport dan Militer. Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

Fathan Rosyid
Fathan Rosyid
pembaca buku
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.