Kamis, April 25, 2024

Tentang Makan, Dulu, Kini, dan Nanti

suryani amin
suryani amin
sosiolog, penulis paruh waktu

Di periode awal peradaban manusia, makan dimaknai sederhana, sekadar pemenuhan kebutuhan bertahan hidup. Sumber makanan diperoleh dari apapun yang bisa diperoleh dari alam. Lalu dikonsumsi segera tanpa pengolahan berarti. Bisa makan untuk melanjutkan hidup, selesai perkara.

Sejalan dengan perkembangan kemampuan berpikir manusia, masa berubah. Demikian pula cara kita mempersepsikan makan dan makanan.

Tulisan ini menilik cara pandang arus besar terhadap makan dan makanan dari masa ke masa. Meskipun faktanya tidak selalu berlangsung linear dan memungkinkan untuk sirkular. Sebab setiap masa bisa terjadi perulangan bahkan saling tumpang tindih.

Pengenalan rasa oleh indera manusia menjadi penanda awal babak evolusi makan manusia modern. Kita kemudian begitu peduli mengenai kenikmatan makanan. Makanan musti diolah dengan campuran beraneka bumbu dan rempah. Kita percaya satu jenis makanan tertentu hanya pas diolah dengan cara dan bumbu tertentu.

Muncul pula standar selera mengenai rasa manis, asin, gurih, pedas atau kombinasi diantaranya yang pas. Tidak melulu rasa, tapi juga aroma dan suhu makanan yang pas untuk penyajian. Meski pada akhirnya semua berkorelasi dengan rasa. Masing-masing individu mengembangkan ukuran kenikmatan makannya sendiri.

Dalam kurun masa yang sama, penetrasi makanan olahan dan cepat saji melaju. Manusia belajar mengenal rasa dengan cepat. Ragam pilihan makanan berbagai langgam dengan mudah diterima. Lidah mulai bertoleransi dengan rasa baru yang asing. Perlahan tapi pasti,  perbendaharaan rasa makanan bertumbuh.

Saat kesadaran mengenai nutrisi dan pengaruhnya terhadap kesehatan tubuh tertanam, manusia memulai episode  baru. Kita lantas peduli tentang kandungan nutrisi dari apa yang kita makan.

Jenis pangan sumber makanan ditilik muatan nutrisi dibaliknya, risikonya terhadap kesehatan. Orang-orang menjadi begitu peduli dengan metode pengolahan yang dianggap tepat untuk mempertahankan kandungan gizi ditiap makanan. Berkembang pula pengetahuan yang semakin komplek mengenai asupan dan diet yang pas untuk kebutuhan unik tiap individu.

Makan masa kini

Di masa ini, kita paham mengenai lemak sumber kolestrol jahat, kuatir dengan kandungan Mono Sodium Glutamat  berlebih, atau was-was dengan glukosa yang dihasilkan oleh nasi. Karenanya orang-orang berusaha menyeimbangkan kebutuhan serat bersumber  dari sayur dan buah, menghindari manis berlebih. Juga menjadikannya selektif atas apa yang dikonsumsi.

Sampai berusaha sangat disiplin dengan konsumsi air mineral dalam jumlah yang memadai dan mengatur waktu makan yang tepat. Dalam proses pengolahan, higenitas diatas segalanya. Frase “you are what you eat” mewakili persepsi makan masa tersebut.

Di masa yang sama, pola konsumsi demikian memancing produsen bereaksi. Dengan iming-iming sehat, berat badan ideal dan terhindar dari penyakit tertentu, konsumen tergiur dengan tawaran makanan sehat, diet dengan metode khusus, bahan makanan organik  bebas  pengawet. Konsumen makanan sehat rela membayar lebih demi tawaran tersebut.

Disela-selanya, sebagai jembatan menuju era digital, adalah masa di mana identitas berbasis keagamaan begitu dalam dihayati. Sampai berpengaruh terhadap cara pandang terhadap makanan.

Umat muslim dengan kritis mempertanyakan kehalalan sumber makanan dan mencurigai sejumlah makanan impor yang terindikasi tak halal. Tidak cuma bahan pangan, cara makan tidak luput dari perhatian. Namun bukan soal higenitas, tapi kepatutan makan. Semisal dengan tangan kanan atau harus dalam posisi duduk, tidak berdiri.

Setelahnya, adalah era di mana makan bukan hanya rasa dan kandungan, tapi juga filosofi, cerita, proses pembuatan dan sejarah dibaliknya. Era ini ditandai dengan popularitas para chef selebritas, pemburu makan dan tayangan program wisata kuliner di media elektronik. Makanan adalah gaya hidup. Jenis makanan yang populer akan sangat diburu.

Gastronomi

Lekat dengan masa tersebut, adalah era Gastronomi. Makanan tidak sesederhana sekedar konsumsi. Namun juga the art of good eating. Gastronomi melibatkan unsur yang lebih luas ketimbang makan, namun juga  memahami  kultur.

Gastronomi adalah seni tentang makan dan makanan yang menyertakan kgiatan yang luas dari menemukan, mencicipi, meneliti, mendalami dan mendokumentasikan dan menyebarluaskannya.

Gastronomi merebak cepat sebagai pengetahuan yang memadukan  berbagai disiplin ilmu. Bahkan hingga menelaah proses kimiawi dan fisika yang menghasilkan asosiasi terhadap berbagai rasa.

Di era digital, makan mewakili citra yang hendak  ditampilkan. Apa yang saya makan, di mana saya makan, dengan siapa saya makan dan bagaimana makanan disajikan itulah diri saya, seperti yang hendak saya tampilkan.

Makan sepadan dengan tren fashion. Era ini bersamaan dengan meningkatnya kebiasaan berkumpul, hang–out, ngafe bersama komunitas pertemanan atau kekerabatan. Terdapat ruang sosial yang melimpah dalam jagad maya yang membantu membangun citra tersebut. Kita tengah hanyut dalam era ini.

Diantara semua masa, terdapat arus kecil yang melintas. Arus kesadaran mengenai makan dan makan yang terlepas dari semua perhatian masa yang disebutkan. Bukan hanya soal rasa, estetika, pengetahuan atau citra. Tapi perihal muasal bahan pangan.

Dalam arus ini, kelompok orang mempertanyakan sumber makanan yang akan dikonsumsi. Mereka peduli apakah  sayur dan buah berasal dari petani lokal, bukan impor dibeli dengan harga layak. Atau apakah bibitnya  berasal dari rekaya genetik oleh  industri yang dalam jangka panjang mematikan varietas lokal dan membuat petani tergantung sepenuhnya dengan pupuk kimia yang mereka jual.

Di lain pihak, mengkritik penggunaan minyak sawit dari industri skala massif yang mentransfomasi  hutan tropis menjadi monokultur yang mengakibatkan gangguhan habitat bagi spesies dan ekoistem tertentu. Sementara, pekerjanya adalah petani gurem yang tidak punya pilihan, dan dibayar dengan upah yang tidak layak.  Mereka adalah konsumen pangan yang kritis dan belajar untuk selektif.

Kelompok ini  adalah konsumen yang berusaha bijak dan menjadi cerdas dengan mengaitkan apa yang mereka makan dengan dampaknya terhadap keberlanjutan lingkungan atau penghargaan terhadap hak azasi manusia. Mereka, akan memiliih berbelanja ke pasar tradisional atu mbok sayur ketimbang pasar moderen dalam mal.

Di masa depan, persepsi makan nampaknya masih akan didominasi oleh kelompok  pemuja citra. Namun seiring dengan itu, ada indikasi cerah akan  bertumbuhnya persepsi makan yang memedulikan nilai-nilai keberlanjutan lingkungan, apresiasi atas pangan lokal dan nilai kemanusiaan. Akses informasi yang terbuka memungkinkan kesadaran kritis semacam ini menyubur. Mari berharap dan menjadi bagian di dalamnya.

suryani amin
suryani amin
sosiolog, penulis paruh waktu
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.