Masalah iklim menjadi perhatian dunia belakangan ini. Perubahan iklim menjadi istilah yang menggambarkan betapa iklim di dunia sekarang ini tidak sedang baik-baik saja atau dapat dibilang perubahan itu bukan alur yang wajar.
Kian berjalannya waktu, istilah yang mengekspresikan hal tersebut kini berkembang, dari awalnya ‘perubahan iklim’, lalu menggunakan istilah ‘krisis iklim’, bahkan sekarang mulai menggunakan istilah ‘darurat iklim’ yang mana dapat kita lihat di berbagai media massa. Perubahan penggunaan istilah ini dirasa dapat menunjukan seberapa pentingnya masalah iklim ini untuk diatasi.
Temperatur suhu di bumi yang kian naik membuat lapisan es Greenland dan Antartika kian mencair seiring berjalannya waktu. Ditambah dengan peristiwa ekspansi termal, di mana air laut yang memanas akan mengembang dan menempati lebih banyak ruang. Kemudian temperatur yang kian naik juga membuat gletser di pegunungan mencair. Peristiwa ini tentunya berimbas pada peningkatan permukaan laut yang ekstrim seiring majunya waktu.
Indonesia tercatat memiliki beberapa wilayah pesisir dengan tingkat kerentanan tenggelam sangat tinggi, diantaranya utara Jawa dari Banten ke Pekalongan, beberapa lokasi di pesisir Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Ditambah, mundurnya wilayah pesisir ditambah parah oleh beberapa faktor pendukung seperti siklon tropis yang ekstrim dan penurunan daratan.
Masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut tentu terkena dampak krisis iklim, tidak hanya dari segi ekonomi yang dirugikan, namun juga pada kesehatan masyarakat. Bangunan yang tergenang misalnya, membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk menaikan tinggi bangunan dan memperbaiki yang rusak.
Kemudian air laut yang meluap dan menarik mundur wilayah daratan pesisir tiap tahunnya juga membuat masyarakat sulit mendapatkan akses air bersih. Maka dengan ini tidak salah apabila krisis iklim dapat dikategorikan sebagai ancaman non-tradisional dalam studi keamanan.
Jakarta adalah salah satu kota yang diprediksi akan tenggelam pada tahun 2050 mendatang. Masyarakat di utara Jakarta, kini, terancam pada masalah ini. Dampak dari permukaan air laut tentu mengganggu aktivitas sosial-ekonomi masyarakat di sana. Lebih lagi, warga di kawasan tersebut berasal dari kalangan ekonomi menengah kebawah dan sebagian besar bermata pencaharian sebagai buruh kasar dan pedagang kecil.
Terdapat kurang lebih tujuh kebijakan yang diambil oleh pemerintah DKI Jakarta dalam merespon masalah ini, yaitu pembangunan tanggul, pembangunan sistem polder (mempomam air ke laut), sistem monitoring land subsidence (pemantauan penurunan permukaan tanah), pelayanan air bersih dengan sistem perpipaan, pengendalian pemakaian air tanah dan pembuatan kolam resapan air tanah, pembuatan waduk di hulu sungai, dan pembangunan sistem pengelolaan limbah.
Tujuh kebijakan tersebut dirasa belum cukup dalam menangani masalah tersebut, bahkan kebijakan nasional yang diambil Indonesia sendiri juga dirasa belum cukup untuk menghentikan kenaikan permukaan air laut. Krisis iklim tidak hanya terjadi pada satu atau dua negara, tetapi secara menyeluruh.
Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2021, kerentanan kawasan Asia Tenggara terhadap naiknya permukaan air laut lebih cepat dibanding daerah lain, dan diperburuk oleh pergeseran tektonik dan efek surut air tanah.
Pada tanggal 13-14 Oktober lalu, telah diselenggarakan forum Workshop on Managing Potential Conflicts in the South China Sea ke-30 yang diantaranya diikuti oleh Myanmar, Thailand, China,Indonesia, Kamboja, Brunei Darussalam, Filipina, Laos, Malaysia, Taiwan, dan Viet Nam. Di forum ini setiap negara saling membagi ilmu dan pengalaman, dan membahas mengenai dampak, adaptasi dan kebijakan dalam perubahan iklim, serta dampak kenaikan permukaan laut.
Kerja sama antarnegara seperti di atas sangat penting untuk kelangsungan negara-negara terhadap dampak krisis iklim. Kerja sama tersebut telah tercatat dilakukan cukup lama, namun, dampak krisis iklim yang memperkecil garis pesisir tiap tahunnya tetap terus terjadi. Lalu apakah dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kerjasama yang dilakukan dalam masalah ini percuma atau tidak dibutuhkan lagi? jawaban sederhananya adalah tentu masih sangat perlu.
Dampak dari krisis iklim yang terjadi sekarang sangat besar dan merugikan. Sulit dibayangkan jika kerja sama antar negara tidak dilakukan dalam menghadapi ancaman ini, seberapa kali lipat lagi dampak yang ditimbulkan, terutama kepada masyarakat yang rentan? Mungkin saja apabila hal itu terjadi, salah satu dari segala kemungkinan adalah sebagian besar masyarakat pesisir yang terdampak sekarang ini telah melakukan migrasi ke tempat lain.
ASEAN sebagai organisasi kawasan di Asia Tenggara cukup memiliki peran penting dalam mendorong aksi negara-negara anggotanya dalam merespon krisis iklim di kawasan ini. ASEAN sendiri telah memprioritaskan isu perubahan iklim sejak ASEAN Summit pada tahun 2007. Berbagai kerja sama telah dilakukan antarnegara ASEAN dalam menghadapi krisis iklim yang mengarah juga pada kenaikan permukaan air laut di kawasan.
Batu bara, sumber energi kotor, diprediksi sebagai sumber energi yang paling besar pada tahun 2050 di negara-negara ASEAN. Prediksi ini menunjukan perlunya keterlibatan ASEAN dalam menghindari penggunaan energi kotor di masa mendatang dan juga untuk mencapai pemenuhan target Perjanjian Paris. Mengingat telah dibuatnya program ASEAN Power Grid yang dimandatkan untuk menciptakan integrasi ekonomi termasuk integrasi kelistrikan, maka dengan ini peran ASEAN dirasa penting dan diperlukan dalam pengembangan kerjasama penanganan krisis iklim.
Di samping urusan-urusan yang sedang menjadi fokus ASEAN sekarang ini, seperti stabilitas geopolitik, hubungan bisnis dan ekonomi, dan dampak pandemi Covid-19, masalah krisis iklim masih dan selalu harus menjadi prioritas dalam setiap pertemuan regional dan pengimplementasian kebijakan iklim secara ambisius. Sebab dampak krisis iklim tidak mengenal batas geopolitik.
Samudra pernah menutupi seluruh bumi, lalu apakah itu akan terjadi kembali? Saat wilayah pesisir mulai terancam tenggelam, maka itu mungkin saja menjadi pertanda samudra akan melakukannya lagi. Jika penanganan krisis iklim tidak menjadi komitmen negara-negara, maka wilayah negara-negara pun akan terancam pada masa depan. Alam akan selalu dapat berevolusi, namun, manusia belum tentu.