Kamis, April 25, 2024

Teknologi, Pendidikan, dan Etika Pelayanan Publik

Ernesto Teredi
Ernesto Teredi
Peneliti di Lembaga Terranusa Indonesia

Tentu kita tidak terlalu ketinggalan informasi, bahwa beberapa tahun lalu kita menyaksikan setiap melewati jalan toll, selalu ada petugas yang bekerja dengan serius. Bergulat selama dua puluh empat jam dengan jadwal yang berbeda bagi masing-masing pekerja.

Kerjanya mengontrol plang pembayaran. Ada interaksi sesama manusia, baik bagi pengguna jalan dan penjaga plang pintu toll. Mereka bekerja sangat profesional. Seleksinya untuk masuk kerja, harus memenuhi standarisasi etika pelayanan.

Namun, saat ini para pekerja yang baik itu telah digantikan oleh yang ‘katanya’ super baik yaitu e-toll. Tentu kita bisa menerima perubahan seperti itu. Namun ketika bahasanya bahwa pelayanan manusia  kurang canggih dari pada mesin. Maka itu sungguh aneh. Karya sang Ilahi akhirnya dikalahkan oleh karya manusia sendiri.

Di Jepang, sekitar dua dekade lalu, petani masih bekerja dengan serius membajak sawah, terdapat kolektifitas di sana–mungkin itulah politik berlangsung dalam kebersamaan. Karena ruang perjumpaan dengan the other selalu terjadi setiap hari. Persaudaraan muncul dalam menikmati kekotoran itu–kehidupan bagi petani adalah penderitaan namun selalu menikmatinya karena disitulah cita kasih bertumbuh.

Akan tetapi dalam sekejap, mesin menggantikan pekerjaan petani. Kebersamaan sekejap mata hilang, saling memahami antara yang satu dengan yang lain juga dengan sendiri berkurang.

Memang, dalam setiap kemajuan selalu ada yang harus ditinggalkan, bahkan kehidupan itu sendiri. Dan tentu kita tak dapat menolak kemajuan teknologi yang canggih itu. Tetapi kita juga tak harus terjebak dalam nalar dasar neoliberal, ”mau bersaing atau ketinggalan”. Kita harus mencari format yang paling dan agak lebih etis serta lebih manusiawi. Supaya kecanggihan teknologi tak mengabaikan dimensi kemanusiaan itu sendiri.

Dari fenomena di atas, kita bergeser sedikit pada ranah yang agak penting yaitu institusi pendidikan. Ketika proyektor belum masuk dalam kehidupan dunia pendidikan, dosen membagikan pengetahuan pada muridnya dengan menggunakan papan tulis.

Tentu dalam papan tulis, tak ada copy paste. Untuk itu, dosen harus memiliki bacaan banyak, mencari refrensi yang tajam agar muridnya memiliki kemajuan secara pengetahuan. Namun ketika proyektor datang, dosen hanya membuat power point, lalu menjelaskan di kelas.

Mahasiswa tak tahu, apakah materi itu hasil bacaan dosen sendiri–lalu direfleksi dan dijadikan materi, atau hasil comot pdf dan copi paste di internet? Hanya mahasiswa yang cerdas melalui perjumpaan dengan banyak orang dan membaca buku kristis yang tahu.

Mendikbud

Saat ini kita menyaksikan juga Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang ditunjuk oleh Presiden Jokowi merupakan pemilik aplikasi go-jek. Tentu banyak harapan dalam sosok sang Mentri. Namun sambil berharap banyak,  kita harus memikirkan, akankah pendidikan kita nanti dipenuhi dengan teknologi seperti gojek yang dipunyainya? Entalah biarkan waktu yang menjawabnya.

Namun, sebelum kita mengira-ngira apa yang terjadi pada institusi ke depannya, hal yang harus diperiksa adalah, teknologi dan institusi pendidikan. Karena memeriksa hal ini sangat penting untuk menjadi pendasaran dalam mengira-ngira perjalanan institusi pendidikan kita di bawah tangan sang Mentri yang sangat menguasai teknologi.

Selama jatuhnya Soeharto ada satu harapan dari masyarakat adalah lembaga penyedia layanan harus menjadi ‘pelayan’ bagi masyarakat umum. Tuntutan ini dari masyarakat – supaya setiap ada urusan administrasi dari publik, maka akan ada tata krama, sopan santun, yang menjadi dasar dari kebudyaan kita Indonesia atau menjadi inheren dalam diri manusia. Lembaga pelayanan ini, ada yang institusi negara dan swasta.

Mengisi tuntutan tersebut, maka dalam proses pendidikan selama ini, terkenal dengan namanya mata kuliah etika publik, etika pelayanan publik, atau sejenisnya dan hampir ini berlaku di semua jurusan pendidikan. Tujuannya sederhana, bahwa anak-anak yang kuliah menjadi birokrat di pemerintahan, dan tenaga kerja profesional lainnya di lembaga swasta, harus memahami dasar-dasar etika pelayanan publik bagi masyarakat.

Akan tetapi, pada prosesnya ada limitasi dari etika pelayanan publik, baik di lembaga pemerintahan maupun di lembaga swasta. Terdapat kekecewaan dan ketidakterimaan dari publik, karena masih ada prilaku oknum-oknum yang tidak etis, bahkan cendrung memperlakukan pengguna layanan berdasarkan status dan kelas sosialnya.

Mengatasi keboborokan persoalan etika pelayanan ini, maka kemajuan teknologi pun masuk. Dalam konteks institusi pemerintahan (lembaga negara) dikeluarkanlah yang namanya kartu teknologi atau nama lain saat ini adalah e-government. E-government merupakan cara negara mengedepankan teknologi dalam pelayanan, tujuannya untuk menghilangkan korupsi, etc. Pada akhirnya etika pelayanan termanifestasi dalam bentuk e-government.

Sejauh ini terdapat tiga poin penting dari kerja e-government yaitu: Publish berfungsi supaya publik mengetahui informasi, sekaligus bisa mengakses secara langsung informasi yang sudah disahkan oleh lembaga negara. Interact fungsi dasarnya ada komunikasi dua arah melalui teknologi, web, telepon, dll. Transact berfungsi mempermudahkan masyarakat untuk mengurus pembayaran secara online.

Dari ketiga hal ini, tentu tak dapat ditolak mentah-mentah, karena bagi logika negara, hal yang diambil ini sangat berguna dalam etika pelayanan. Sehingga mentrasnformasikan etika pelayanan dalam bentuk teknologi sebagai jalan menurut negara.

Namun melihat hal ini tentu kita berefleksi dan berpikir kembali ke belakang, apakah pembelajaran mengenai etika pelayanan publik, yang telah termanifestasi dalam e-government, dan apa gunannya kita (manusia) mempelajarinya kalau akhirnya teknologi yang menguasainya? Di sisi lain, apakah etika pelayanan publik hanya dipahami dalam konteks e-government?

Menjawab persoalan di atas, rupanya kita harus masuk pada diskursus pengetahuan. Dengan segala keterbatasan dan tanpa refrensi, penulis ingin menjelaskan etika pelayanan publik dalam kaca mata politik.

Pertama, etika pelayanan publik tak dapat diterjemahkan secara dangkal seperti yang dilakukan negara saat ini sebagai mempermudahkan bagi pengguna layanan sehingga dengan mudah memanifestasikan etika pelayanan itu dalam bentuk e-government. Seharusnya etika pelayanan publik adalah, ruang perjumpaan bagi manusia. Dalam perjumpaan terdapat dimensi politik melalui percakapan.

Kedua, etika pelayanan publik akan berguna bagi manusia yang hidup dalam sebuah bangsa, karena ada saling keterbentukan. Hasil dari relasi sesama antara penyedia dan pengguna layanan. Sehingga secara tidak langsung membentuk manusia yang etis, dan berpengetahuan luas, karena ada tukar informasi dan pengetahuan.

Dengan memanifestasikan etika pelayanan publik pada mesin, maka manusia Indonesia sebenarnya digiring menjadi manusia teknologi yang individualistik. Tak ada dimensi politik. Singkat kata dalam konsep teknologi yang didengungkan oleh negara secara tidak langsung membunuh politik – praktik kehidupan sehari-hari manusia.

Akankah, sang menteri bisa mengatasi persoalan kematian politik ini, dan direvolusikan dari lembaga pendidikan nantinya? Entahlah, biarkan waktu yang menjawab.

Ernesto Teredi
Ernesto Teredi
Peneliti di Lembaga Terranusa Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.