Perkembangan teknologi informasi telah membawa banyak perubahan bagi kehidupan kita. Kemudahan, kecepatan, ketepatan, kesangkilan dan kemangkusan adalah beberapa di antara perubahan yang paling terasa. Berbekal gawai kecil segenggaman tangan, informasi kejadian di seantero dunia bisa kita dapatkan sekehendak kita. Teknologi benar-benar telah merevolusi kehidupan kita.
Revolusi tersebut terjadi di segala bidang kehidupan. Termasuk keberagamaan kita. Agama mungkin masih dalam watak divinitasnya. Tetapi cara kita beragama tak pelak telah banyak berubah. Dulu untuk mengetahui lokasi kiblat, para pakar astronomi Islam (ilmu falak) yang kompeten melakukannya. Kini, hampir setiap pengguna gawai bisa melakukannya. Cukup dengan modal mengunduh sebuah aplikasi android penunjuk kiblat. Hasilnya konon, seperti slogan salah satu penyedia jasa survey, akurat dan presisi.
Para sepuh berkisah, dulu mereka butuh waktu berbulan-bulan menempuh perjalanan ke Makkah untuk menunaikan haji dan umrah. Tiba di Makkah adalah buah dari perjuangan bertaruh jiwa. Kini, asal punya duit, setahun bisa berkali-kali seseorang melaksanakan umrah. Karena bagi yang pernah menapaki kaki di Makkah, konon panggilan untuk datang kembali semakin menggema.
Teknologi juga telah memudahkan manusia memenuhi hasrat keingintahuannya. Berkat teknologi, hampir semua jenis pengetahuan bisa diakses dengan mudah. Termasuk pengetahuan agama. Bagi yang sungkan mendatangi ustad, kiai atau guru agama, google bisa menjadi jawaban bagi mereka. Jika ingin lebih puas mendapatkan nasihat maupun petuah keagamaan dari salah seorang tokoh agama secara audio visual, tinggal tulis saja namanya di laman berbagi video youtube.
Anda tidak perlu berdesak desakan datang ke pengajian, atau sowan menemui kiai yang umumnya tinggal di pedalaman sekedar mendapatkan nasihatnya. Teknologi telah membuat semuanya lebih mudah. Dengan tiduran, sambil menengadah membuka gawai android, anda sudah bisa melihat dan mendengarkan nasihat sang tokoh agama.
Kemudahan dalam Beragama
Berbagai fenomena keberagamaan tersebut sebetulnya menunjukkan keterbukaan agama menerima kehadiran teknologi. Alih-alih mempertentangkan, manusia jaman ini berhasil mengawinkan agama dan teknologi menjadi satu rangkaian yang saling melengkapi. Teknologi secara instrumental menyediakan kemudahan bagi manusia dalam menjalankan ajaran agama. Sementara agama memberikan legitimasi teologis bagi pengembangan teknologi.
Kemenyatuan agama dan teknologi pernah disuarakan oleh David Noble dalam The Religion of Technology. Berbicara dalam tradisi Kristen, Noble mengatakan spirit ajaran agama adalah landasan utama bagi lahir dan bekembangnya teknologi. Karena itulah, tidak mengherankan sebetulnya jika barat menjadi kiblat kemajuan Teknologi.
Dalam Islam, ada banyak postulat yang bisa kita jadikan landasan untuk terlibat aktif dalam pengembangan teknologi. Untuk sebagian kita bisa menyebut salah satu hadits nabi yang paling populer berkenaan dengan kewajiban seluruh muslim mencari ilmu. Sabda Nabi Muhammad “ Mencari ilmu diwajibkan atas seluruh muslim laki-laki dan perempuan”. Tentu masih banyak landasan argumentatif (hujjah) lainnya dalam ajaran Islam yang bisa dikontekstualisasikan dalam bingkai pengambangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Di samping itu, watak Islam yang menitikberatkan kepada kemudahan dalam beragama juga sejalan dengan spirit pengembangan teknologi. Itu artinya, kita sepakat bahwa agama tidak bertentangan dengan teknologi. Bahkan, pemanfaatkan teknologi bisa menjadi wajib ketika berkelindan dengannya kemasalahatan agama. Sayangnya, eksistensi teknologi dalam beragama tidak bertitik kulminasi pada legitimasi kemudahan semata. Kemudahan yang ditawarkan teknologi dalam beragama harus kita pungkasi dengan sebuah koma.
Ada kelanjutan yang membuat pemanfaatan teknologi dalam agama menghadirkan sisi yang tidak sederhana. Kaidah yurisprudensi Islam menyatakan “ Jika suatu urusan telah purna, maka kekuarangannya menjadi tampak”. Dalam perfeksi kemudahan beragama, muncul ancaman degradasi nilai beragama.
Degradasi tampak saat kuantitas laku beragama tidak berkorelasi positif dengan pengembangan kualitas diri seperti yang diajarkan oleh agama. Degradasi nilai beragama inilah yang patut kita khawatirkan di tengah kemudahan yang ditawarkan pemanfaatan teknologi dalam agama.
Bagi seorang pengusaha yang sekali dapat tender, miliarah rupiah mengalir ke kantongnya, mungkin berbeda dalam menghargai uang lima ribu rupiah dengan seorang tunakarya yang harus memeras keringat sekedar mendapatkan dua puluh ribu rupiah. Tidak ada yang berbeda dari nominal uang lima ribu rupiah. Perbedaan terletak pada bagaimana keduanya memersepsi kebermaknaan nominal uang yang sama. Persepsi keduanya berbeda, karena tingkat kemudahan mereka untuk mendapatkan nominal rupiah tersebut juga berbeda.
Barang yang terlalu mudah kita dapatkan, membawa implikasi kurang bernilainya barang itu di mata kita. Sebaliknya, semakin sulit suatu barang kita dapatkan, maka barang itu akan semakin bertambah nilainya. Sementara sesuatu yang terlalu sulit didapatkan sehingga berada di luar jangkauan kita untuk mendapatkannya, ia justru menjadi tidak bernilai. Mengikuti Georg Simmel dalam the Philosophy of Money, akan halnya uang, kebernilaian suatu hal ditentukan oleh tingkat kerumitan, pengorbanan, serta keterjangkauan untuk memperolehnya.
Dengan mengikuti logika Simmel ini, semakin teknologi memberikan kemudahan dalam beragama, semakin kita patut mewaspadai mulai terkikisnya nilai laku beragama itu sendiri. Kita wajib melakukan introspeksi (muhasabah), masihkan laku keberagamaan memberikan dampak yang berarti kepada diri dan lingkungan kita. Jika tidak, maka kita perlu khawatir bahwa teknologi yang secara berlebihan dilibatkan dalam aktivitas keagamaan, telah mendegradasinya menjadi rutinitas miskin makna.
Pada akhirnya, tidak ada yang baik dari segala bentuk keberlebih-lebihan dalam beragama. Akan lebih bijak jika kemudahan yang dikejar dalam beragama melalui pemanfaatan teknologi, kita tempatkan secara proporsional.
Sebab, kebermaknaan agama terletak di antara kesulitan dan kemudahan dalam menjalankan ajarannya. Dengan berada di tengah-tengah (tawassut) kesulitan dan kemudahan itulah keberagamaan kita akan tetap bermakna.