Jumat, Oktober 11, 2024

TBC Mencari Perhatian di Tengah Pandemi

Nuranisa Nuranisar26@gmail.com
Nuranisa Nuranisar26@gmail.com
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pada awal Maret, Indonesia melaporkan kasus Coronavirus Disease-2019 yang dikenal sebagai COVID-19, terkonfirmasi muncul setelah kejadian luar biasa di Wuhan, Cina. Penyakit ini disebabkan oleh Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-COV2) yang lebih dikenal dengan nama virus Corona. Virus ini menular dan menyebar dengan sangat cepat. Sehingga upaya pemerintah gencar dilakukan untuk memutus rantai penyebaran dan penularan virus. Ditambah lagi, WHO resmi mengumumkan bahwa virus corona atau COVID-19 sebagai pandemi.

Keadaan ini menyebabkan COVID-19 menjadi fokus utama pemerintah untuk upaya pencegahan penyebaran dan penularan. Semuanya hanya tertuju pada satu kasus kesehatan ini, padahal masih banyak kasus kesehatan lain yang memang harus mendapatkan perhatian khusus.

Salah satunya adalah TBC atau tuberculosis yang merupakan penyakit menular, sama halnya dengan COVID-19. Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI mengenai infodatin-tuberculosis , TBC disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang pertama kali ditemukan oleh Robert Koch. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium bovis, Mycobacterium Leprae, dan sebagainya.

Perhatian TBC teralihkan oleh adanya kasus COVID-19 ini, padahal TBC juga harus mendapatkan penanganan dan perhatian yang sama seperti COVID-19. Apalagi menurut WHO, Indonesia masuk dalam daftar 30 negara dengan kasus tuberculosis tertinggi di dunia. Jumlah kasus TBC Indonesia berada di urutan ketiga terbesar dunia setelah India yang mencapai 2,4 juta kasus dan Tiongkok 889 ribu kasus. Fakta tersebut menguatkan bahwa TBC harus menjadi perhatian pemerintah juga dalam penanganan dan pencegahan penyebarannya.

Pasalnya berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2018, menunjukkan bahwa tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus TB Paru didunia, 56% kasus TB Paru berada di India, Indonesia, Cina, Filipina, dan Pakistan. Tahun 2016, sekitar 1,3 juta orang didunia meninggal karena TB Paru Sedangkan di Indonesia tahun 2016 terdapat 298 ribu penemuan kasus TB Paru dan sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (WHO, 2018).

Dalam sebuah jurnal yang berjudul Sosialisasi Pencegahan Penyakit TBC Untuk Masyarakat Flamboyant Bawah di Kota Palangka Raya yang ditulis oleh Rita Rahmaniati, Nani Apriyani, dosen Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, dijelaskan bahwa bakteri penyebab TBC ini mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Sehingga disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA) (kemenkes RI,2011). Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan,sinar matahari dan sinar ultraviolet (Nurarif dan Kusuma, 2013), tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.

Berdasarkan jurnal tersebut, dikatakan bahwa sumber penularan TBC adalah penderita TBC BTA(+), yaitu  yang ditularkan dari orang ke orang oleh transmisi melalui udara. Pada waktu berbicara, batuk, bersin, tertawa atau bernyanyi, penderita menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak) besar (>100µ) dan kecil (1-5µ). Droplet yang besar menetap, sementara  droplet yang kecil tertahan diudara dan terhirup oleh individu yang rentan (Smeltzer & Bare, 2002). Droplet yang mengandung bakteri dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan orang dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan.

Dari penjelasan tersebut, jelas bahwa penderita TBC tidak boleh menularkan droplet (percikan dahak), sehingga sama halnya seperti COVID-19, penderita TBC harus menggunakan masker ketika bebicara, batuk, bersin, ataupun aktivitas yang berpotensi mengeluarkan percikan dahak yang menyebabkan orang lain terinfeksi. Penderita TBC juga harus memerhatikan etika ketika batuk ataupun bersin, seperti menggunakan siku.

Namun, tidak sedikit dari masyarakat mengetahui akan penyakit TBC ini. Sehingga masyarakat sangat perlu diberikan edukasi melalui kegiatan sosialisasi promotif kesehatan yang dapat menambah wawasan dan kesadaran masyarakat terkait bahaya TBC. Masyarakat juga perlu mengetahui gejala yang terjadi pada penderita TBC, sehingga dapat mencegah penularan dan penyebaran penyakit ini.

Gejala utama yang terjadi pada penderita TBC adalah batuk secara terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih. Gejala tambahannya yaitu batuk darah atau dahak bercampur darah, sesak nafas, nyeri dada, badan lemas, keletihan, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa aktifitas fisik, dan demam meriang lebih dari sebulan.

Melihat dari angka penyebaran TBC yang terus meningkat, sangat diperlukannya upaya yang dilakukan dalam pencegahan dan pengendalian faktor risiko TBC. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat; membudayakan perilaku etika berbatuk; menggunakan masker; jaga jarak; melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan lingkungannya sesuai dengan standar rumah sehat; peningkatan daya tahan tubuh; penanganan penyakit penyerta TBC; penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TBC di Fasilitas Pelayanan kesehatan, dan di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Jadi, cara pencegahan dan penularan penyakit TBC sama seperti keadaan yang sedang dialami saat ini, yaitu COVID-19. Sehingga, upaya-upaya yang dilakukan dapat bersamaan untuk mengatasi kedua kasus kesehatan ini. Karena pencegahan lebih baik dari pada mengobati. Maka, tidak salahnya kita menerapkan perilaku sehat dan menerapkan protokol-protokol kesehatan yang tidak hanya dilakukan agar tidak tertular COVID-19 saja, namun juga diterapkan untuk menghindari potensi penularan penyakit-penyakit lainnya, seperti TBC. Karena pada dasarnya, protokol kesehatan dilakukan untuk menjaga kesehatan seseorang, tidak hanya ketika sedang terjadi wabah, namun dalam kehidupan biasa pun harus dilakukan.

Sumber:

Rahmaniati, Rita, Nani Apriyani. 2018. Sosialisasi Pencegahan Penyakit TBC Untuk Masyarakat Flamboyant Bawah di Kota Palangka Raya. Diakses pada tanggal 27 Oktober 2020 pukul 21.00 WIB. http://jurnal.umpalangkaraya.ac.id/ejurnal/pgbmu

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, infodatin-tuberculosis. https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-tuberkulosis-2018.pdf

Nuranisa Nuranisar26@gmail.com
Nuranisa Nuranisar26@gmail.com
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.