Oleh Muhammad Dudi Hari Saputra, MA.
Tenaga Ahli Kementerian Perindustrian Republik Indonesia dan Direktur Eksekutif Moderate Institute.
A. Ide Global Village dan Tantangannya
Sekitar 50 tahun yang lalu McLuhan (1962) memprediksi bahwa sedang terjadi pembentukan global village atau “desa dunia”, dimana dunia ditandai dengan fanatisme identitas yang semakin menurun, bertambah pesatnya perkembangan teknologi dan informatika yang mendukung percepatan dunia tanpa batas. Pemikiran ini didukung lagi dengan tulisan Francis Fukuyama didalam buku The End Of History and The Last Man (1992), yang menjelaskan bahwa perdebatan dialektis filosofis dan dialektis historis (sejarah) telah berakhir dan dimenangkan oleh pemikiran demokrasi liberal, kemenangan ini tidak saja didalam ranah pemikiran tetapi juga di peristiwa nyata global.
Secara pemikiran kemenangan ini menurut Francis Fukuyama ditandai dengan berhasilnya paradigma ini dalam menemukan sintesis dan menjembatani kontradiksi yang selama ini menjadi perdebatan di barat, pandangan marxisme matrealisme dialektika yang mengatakan bahwa permasalahan pokok didunia disebabkan adanya pertentangan ekonomi antara kelas borjuis (pemilik modal) dan kelas proletar (buruh/pekerja) telah berakhir dengan berhasilnya demokrasi liberal terutama yang diterapkan oleh Eropa Barat dan Amerika Serikat, demokrasi liberal telah menjadi paham universal yang bisa diterapkan oleh siapa saja dan negara mana saja, karena prinsip-prinsip universalnya yang mampu memberikan kehidupan yang egaliter-adil dan makmur.
Tapi apakah pendapat itu aksiomatik, setidaknya kolumnis terkenal Thomas Friedman mencoba mengevaluasi pandangan tersebut dengan bukunya The World is Flat yang mengangkat diskusi tentang isu-isu kosmopolitan, singkatnya menjelaskan bahwa era globalisasi memiliki efek keberhasilan sekaligus kegagalan. Keberhasilan ini ditandai dengan penurunan hambatan negara-negara selatan untuk meraih kesejahteraan, yang dulu hanya dimiliki negara-negara di belahan utara bumi (Amerika Serikat dan Uni Eropa) dan sekarang mulai menyebar ke negara-negara di belahan bumi selatan seperti Indonesia, India, Brazil dan Afrika Selatan.
B. Tren Tatanan Dunia Baru ke Arah Neoproteksionisme
Namun disisi lain juga terjadi kegagalan dan jika kita menyebut desa global itu sukses seperti Uni Eropa, tetapi beberapa saat yang lalu kita dikejutkan dengan “Brexit”, yang merupakan tindakan dari Inggris Raya yang memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa. Bahwa sebagian besar pertimbangan di dasarkan atas permasalahan identitas: bahwa masuknya imigran asing dengan jumlah besar telah mengambil pekerjaan dari penduduk lokal (baca: asli) Inggris.
Atau bagaimana dengan popularitas Donald Trump di AS, negara yang tingkat melek membacanya tertinggi di dunia, tempatnya kampus-kampus terbaik di dunia, tapi mengapa seorang seperti Trump dengan isu “chauvinis” dan “rasis” nya malah bisa membuatnya terpilih sebagai presiden negara adidaya tersebut. Setidaknya Trump menarik suara pemilih AS dengan 3 program utama: Pertama adalah penghapusan Trans Pacific Partnership (Kerjasama Lintas Pasifik), Trump berargumen bahwa perjanjian itu akan merusak kemandirian ekonomi AS.
Trump memperkenalkan strategi ekonomi menempatkan Amerika sebagai yang pertama atau dikenal sebagai “Putting America First” dan menyatakan akan membawa kembali pekerjaan dan industri ke Amerika. Kedua adalah memberikan tarif masuk 35% bagi industri mobil yang melakukan proses manufaktur di Meksiko, yang akan membuat perusahaan mobil untuk memilih membangun industri manufakturnya didalam negeri AS. Ketiga adalah memerintahkan pembuatan produk elektronik-komunikasi perusahaan Apple tidak lagi di Cina, melainkan kembali ke AS (Moore: 2016).
C. Kesimpulan
Hasil dari trend neoproteksionisme di tahun 2017 ini kita langsung menghadapi kondisi perekonomian global yang semakin tidak pasti, trend neoproteksionisme semakin menguat seiring dengan perubahan drastis yang terjadi pada negara-negara ekonomi maju, antara lain seperti kemenangan Donald Trump sebagai Presiden AS terpilih, yang lebih menggunakan pendekatan ekonomi proteksi dan semangat nasionalisme AS, dengan adagium terkenalnya yaitu “America First”, dan dalam bentuk konkrit kebijakannya berupa kenaikan suku bunga The Fed (Bank Federal AS), yang membuat pelaku pasar kembali menarik dananya dari Indonesia dan menanamkannya ke AS.
Sedangkan dari benua biru Eropa, kita juga dikejutkan keputusan Inggris yang keluar dari Uni Eropa (Brexit), yang akan membuat sentimen negatif bagi perdagangan bebas yang dianggap gagal dan membawa keresahan geopolitik serta keamanan kawasan, selain itu di Asia Timur sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru, juga mengalamai kontraksi perekonomian, yang ditandai dengan tidak stabilnya pertumbuhan ekonomi Cina, dan berdampak pada turunnya harga komoditas dipasaran dunia, padahal Indonesia sebagai emerging country masih memiliki ketergantungan yang besar kepada pasar komoditas (bahan mentah) sebagai pionir pertumbuhan ekonomi (Sri Mulyani: 2017).
Konsekuensi perekonomian global yang tidak stabil ini, memberikan dampak langsung bagi pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia yang turun 0,6% atau menyentuh angka 5% di tahun 2014, walau kemudian mulai menanjak naik 0,1% di tahun 2017 dan rata-rata dari tahun 2007-2016 tetap memiliki trend positif sebagai negara dengan pertumbuhan tertinggi ketiga di G-20 setelah Cina dan India, tapi hasil ini belum begitu memuaskan karena masih rendahnya tax ratio terhadap PDB diangka 10%, yang membuat postur APBN sedikit melemah, walau semakin terarah dan kredibel karena berfokus pada pembangunan infrastruktur dan pendidikan (ISEAS: 2016).
Tren neoproteksionsme (hambatan baru) yang menimpa di Indonesia bisa dipilah kedalam dua bentuk, pertama adalah hambatan alami yang terjadi karena ketidakmampuan produk di dalam negeri untuk merebut pasar global, daya saing Indonesia yang lemah diakibatkan masih tingginya tingkat ketergantungan dengan produksi ekstraktif, yang membuat kita terjebak pada kutukan sumber daya alam (Kojima: 2000).
Kedua adalah hambatan institusional negara, problem ini terjadi karena kebijakan pemerintah negara-negara maju yang semakin memproteksi pasar di dalam negerinya, sehingga produk Indonesia sulit untuk masuk ke pasar di negara-negara belahan utara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Untuk menjawab solusi ini Indonesia harus menggunakan pendekatan yang sinergis dan holistik, pertama adalah diversivikasi produk dan pasar, kedua adalah meningkatkan kemampuan diplomasi perdagangan agar mampu menegosiasikan ulang hambatan-hambatan yang di buat oleh pemerintahan negara lain agar bisa dibatalkan atau dikurangi persyaratan hambatannya.