Selasa, Oktober 8, 2024

Tasyabuh Bil Kuffar, Pemilu, dan Tahun Baru

Achmad Room Fitrianto
Achmad Room Fitrianto
Achmad Room adalah pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, reformasi pemerintahan, tatakota dan pengembangan usaha kecil menengah yang mengabdikan diri sebagai akademisi di UIN Sunan Ampel Surabaya sejak 2003. Alumni Study Pembangunan Universitas Airlangga, Master Ekonomi Islam dari IAIN Sunan Ampel dan Master of Arts bidang Public Policy dari Murdoch University

Tasyabbuh bil kuffar kayaknya menjadi isu kekinian khususnya bila menyangkut atribut natal ataupun perayaan tahun baru. Lebih lebih beberapa waktu lalu Ustadz Abdul Shomad juga mengunakan judgment Tasyabul bil kuffar untuk peringatan hari ibu 22 Desember yang sempat viral.

Dari kontelasi di atas menjadikan keingingan untuk mengetahui the reason behind the hadith ” Man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum (HR Abu Dawud, Ahmad dan Tirmidzi) mengebu ngebu.

Sekilas hadis itu cocok untuk pengarusutamaan kebinekaan, misalnya yang menyerupai pakaian orang Jawa maka dia dianggap orang Jawa, yang menyerupai orang Bugis maka dia dianggap orang Bugis dan seterusnya sehingga proses asimilasi dan pembauran bisa berjalan. Namun demikian hadis itu bisa digunakan untuk segregasi, pengkamplingan atau kepentingan untuk “persaingan” antar golongan maka yang muncul adalah konflik antar golongan.

Bila ditarik ke kata “tasyabbuh” berasal dari wazan “tafa’ul” dalam bahasa Arab ini menjadi menarik di mana kata ini akan bermakna muthawa’ah (menurut), takalluf (memaksa), tadarruj (bertahap atau parsial) dalam melakukan suatu perbuatan. Kata kerja dengan wazan ini mengandung faidah : Yaitu perbuatan tasyabbuh dilakukan sedikit demi sedikit, awalnya seseorang merasa terpaksa dengan perbuatan ini hingga lama-lama ia menurut dan terbiasa mengerjakannya.

Lah, dari sini bila pemaknaan ditelan mentah-mentah, maka apa pun, baik sistem atau nilai yang berasal dari golongan “sebelah” atau tidak segolongan akan selalu di asumsikan negatif, jelek ataupun perbuatan dosa. Sehingga meniru suatu golongan akan dianggap bentuk “penyerahan” diri terhadap nilai atau akidah. Pada akhirnya peniruan itu dianggap sebagai bentuk ketundukan kepada golongan yang ditiru.

Hal hal apa saja yang termasuk “tasyabbuh bil kuffar”?

Main facebook? klik email? Pamer foto via instagram? Mengucapkan selamat hari raya kepada umat lain? Cara berpakaian? Ikut merayakan tahun baru? Ulang tahun? Bagaimana bila meniru sistem pendidikannya? Atau malah terlibat dengan sistem pendidikan (bersekolah atau menjadi pengajarnya) atau sistem perkantoran dan manajemen (bekerja untuk sistem yang dianggap kufar, asing dan tidak menganut syariat) apakah juga kena pasal itu?

Namun demikian terdapat pula pendapat yang mentafsirkan hadis itu sebagai upaya untuk meniru perilaku golongan golongan yang berakhlak dan berperilaku baik “Barangsiapa yang menyerupai orang-orang shalih dan mengikuti mereka, ia akan dimuliakan sebagaimana orang-orang shalih dimuliakan” dan tentu saja penafsiran ini juga berperilaku, barang siapa yang menyerupai orang-orang fasiq (mungkin diantaranya suka korupsi, senang menyalahi hukum, menghalalkan segala cara, suka adu domba, hoby menyebarkan hoax dan lain sebagainya) sehingga, ia akan dihinakan sebagaimana orang-orang fasiq itu juga dihinakan.

Terus muncul pertanyaan, apakah hadis di atas bisa digunakan dalam proses persaingan? Entah itu dalam konteks perang bersenjata ataupun persaingan dalam kampanye pilkada? Wah, kalau menjawab ini kayaknya butuh waktu lama untuk buka buka referensi nih. Namun demikian logika bisa kita gunakan untuk melihat konteks penggunaan hadis dtersebut.

Misalkan, dengan asumsi kondisi negara dalam kondisi berperang secara fisik, spionase atau mata mata adalah menjadi kunci dalam peperangan untuk mengumpulkan informasi pihak musuh.

Kalau para spionase atau mata-mata yang pro kita dikenakan hads ini secara saklek? Artinya kita memvonis mati mereka dong? Atau bila terjadi pertempuran terbuka di medan laga, seragam, cara ngomong atau sandi bisa membuktikan itu teman atau lawan dan ini bisa berlaku kayaknya guna mengantisipasi “penghianatan” orang yang meniru atau mirip dengan “musuh”.

Bila dilihat dari konteks pemilu yang melibatkan beberapa atau sekumpulan partai dengan berbagai atributnya yang khas, menjadikan hadis di atas, pas. Barang siapa yang mengenakan atribut partai Golkar maka dia akan diidentikkan sebagai anggota Golkar. Begitu bila dia lebih sering menggunakan atribut PDIP maka orang akan melihat dia sebagai kader partai mocong putih itu.

Namun, dibalik semua ulasan singkat di atas, saya ingin sedikit memberi penutup atas tulisan ini “barang siapa yang terdapat padanya ciri-ciri orang mulia (meniru perbuatan orang mulia), ia akan ikut dimuliakan walaupun belum tentu ia memang orang yang mulia”.

Wallahu a’lam Bishowab

Achmad Room Fitrianto
Achmad Room Fitrianto
Achmad Room adalah pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, reformasi pemerintahan, tatakota dan pengembangan usaha kecil menengah yang mengabdikan diri sebagai akademisi di UIN Sunan Ampel Surabaya sejak 2003. Alumni Study Pembangunan Universitas Airlangga, Master Ekonomi Islam dari IAIN Sunan Ampel dan Master of Arts bidang Public Policy dari Murdoch University
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.