Jumat, April 26, 2024

Tan Malaka Menjawab: Sosialisme dan Agama

Muhammad Dudi Hari Saputra
Muhammad Dudi Hari Saputra
Lecturer at Kutai Kartanegara University and Former Industrial Ministry Special Analyze

Tan Malaka Menjawab: Sosialisme dan Agama

Oleh Muhammad Dudi Hari Saputra (Penulis).

Tan Malaka atau Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka memang pernah memiliki aktifitas di Komintern (Komunis Internasional), namun bukan berarti ia menjadi komunis sebagaimana dituduhkan sebagai orang yang “anti-agama”.

Bahkan dalam banyak tulisannya ia menolak ide-ide komintern itu sendiri; yaitu Indonesia menjadi negara komunis seperti Cina/Tiongkok atau Korea Utara bahkan Uni Sovyet, yang membuatnya memisahkan diri dari gerakan PKI Sardjono-Alimin-Musso (Dari Penjara ke Penjara, Tan Malaka: 1970).

Menurut Tan Malaka, negara berpahamkan komunis tidak cocok untuk masyarakat Nusantara/Indonesia, malahan masyarakat Indonesia sudah mengenal dan bisa merasakan arti penting sosialisme itu dengan Islam nya (Madilog, Tan Malaka: 1948).

Penolakannya ini didasari bahwa masyarakat nusantara adalah masyarakat yang relijius, yang bakalan menimbulkan resistensi hebat jika menerapkan bentuk negara komunis itu, pandangan ini pula mencuat ketika ia melindungi ide Pan-Islamisme dari “apriori” kelompok komunis (Poeze: 2008).

Selain aktifitas lain yang menunjukkan keislaman nya, seperti bergabung ke dalam Sarekat Islam (bersama H.O.S. Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Darsono, dan Semaun), serta keinginannya untuk mengajak elemen masyarakat muslim dalam gerakan sosialis yang kebanyakan ditentang oleh kubu komunis, dsb.

Dan Tan Malaka pula pada akhir masa politik menjelang meninggalnya, telah mendirikan partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak) bersama Chaerul Saleh, Adam Malik dan Sukarni, yang tentu telah menegaskan sikapnya yang berseberangan dan keluar dari ide komintern dan PKI.

Sebagaimana sudah dipaparkan diatas:

Maka sebenarnya Tan Malaka sendiri bukanlah seorang komunis sebagaimana dituduhkan “anti-agama” atau “anti-Islam”, melainkan memiliki kemiripan pemikiran dengan Soekarno dan Hatta yaitu berpahamkan Sosialisme namun berdasarkan karakteristik Nusantara/Nasionalis (Feith: 1958), sehingga ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, karena jiwa Nasionalisme dan perjuangan nya didalam kemerdekaan Indonesia.

Untuk membantah tuduhan bahwa Tan Malaka seorang “komunis” yang “anti-agama” atau “anti-Islam”, maka ada baiknya kita mencermati tulisan karya Tan Malaka sendiri di Madilog, halaman 89:

Allah itu Maha Kuasa, Maha Suci, Maha Mulia, Maha Tahu, hadir pada semua Tempoh dan pada semua tempat. Jadi pada tiap-tiap detik dan tempat bisa betulkan hati dan laku mahluk-Nya dan terutama Dia Maha-Pengasih.

Jadi Tuhan Allah, sarwa sekalian Alam, yang Maha Pengasih itu akan sampai hati berabad-abad melihatkan ribu-jutaan hambanya yang lemah dan fana itu diazab dibakar api neraka, berkali-kali sesudah dijadikan sebesar gunung ! Allahu Akbar ! 

Adapun sikap Tan Malaka terkait agama Islam, sama halnya dengan sikap Nasionalis-Relijius muslim yang memisahkan agama dari politik/negara, namun tetap menjadikan Islam sebagai sumber nilai kehidupan (Madilog, Tan Malaka: 1948)

berikut salah satu kutipan dari Madilog, Hal. 187:

Berhubungan dengan ini maka Yang Maha Kuasa jiwa terpisah dari jasmani, surga atau neraka yang diluar Alam Raya ini tiadalah dikenal oleh ilmu bukti, semuanya ini adalah diluar daerahnya Madilog. Semuanya itu jatuh kearah kepercayaan semata-mata.

Ada atau tidaknya itu pada tingkat terakhir ditentukan oleh kecondongan persamaan masing-masing orang. Tiap-tiap manusia itu adalah merdeka menentukannya dalam kalbu sanubarinya sendiri.

Dalam hal ini saya mengetahui kebebasan pikiran orang lain sebagai pengesahan kebebasan yang saya tuntut buat diri saya sendiri buat menentukan paham yang saya junjung.

Wallahu a’lam.

Sekedar tambahan, di dalam tulisan nya, Tan Malaka pun menulis kalimat wallahu a’lam, yang menunjukkan pengakuan ketidaktahuan nya dari segi ilmu selain Allah sebagai yang maha mengetahui.

Orang yang menggunakan akal nya adalah yang berfikir sebelum menilai sesuatu, bukan yang menilai sesuatu tanpa berfikir (Al-Hadis).

Muhammad Dudi Hari Saputra
Muhammad Dudi Hari Saputra
Lecturer at Kutai Kartanegara University and Former Industrial Ministry Special Analyze
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.