Manusia tak bisa lepas dari sifat alaminya, yaitu gemar untuk memisahkan dan mengelompokkan sesuatu. Mereka meyakini sebuah kata ajaib bernama identitas, hal yang melekat secara ekslusif di setiap individu sejak kelahirannya di dunia.
Realitas
Jika dilihat dari disiplin ilmu semiotika, identitas adalah simbol untuk merepresentasikan sesuatu. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa identitas bukanlah entitas. Manusia ditampilkan dengan apapun yang melekat pada dirinya—suku bangsa dan agama misalnya. Namun, apakah manusia adalah suku bangsa dan agama itu sendiri? Tentu saja bukan, manusia tetaplah manusia itu sendiri.
Celakanya, banyak yang terlena dengan tampilan luar tersebut. Identitas yang pada dasarnya hanya berfungsi sebagai simbol telah menyembunyikan fakta dan realita jati diri manusia. Ia berdiri terlalu kokoh menggantikan esensi kemanusiaan yang hadir di setiap individu.
Dalam keseharian, kita tak lagi berbicara sebagai manusia, namun saling meneriaki sebagai entitas dengan citra-citra palsunya. Kita asik berpakaian hingga lupa menelanjangi diri. Kemudian kita menilai yang lain dari apa yang telah dikenakan, padahal pakaian yang mereka kenakan telah bau dan kumal lantaran ternodai keangkuhan. Krisis pengakuan, jati diri dilupa.
Dalam lingkup sosial, identitas dijadikan sebagai alat untuk menonjolkan keanggotaan suatu individu kepada yang lain. Dengan kata lain, manusia memang memiliki kecenderungan untuk menunjukkan bahwa golongannya itu berbeda—atau parahnya, lebih baik. Pola pikir seperti ini secara tak langsung mendidik kita menjadi primordialis, seorang yang fanatis akan ras dan asalnya.
Memang semuanya berawal dari hal-hal manis agar mencintai tanah kelahiran dan siapa saja yang segolongan, namun hal manis-pun jika berlebihan dapat berubah menjadi getir, berawal dari mencintai kelompok sendiri, berakhir dengan meliankan mereka yang lain.
Intoleransi
Dari rahim identitas lahirlah anak kandung yang bernama “mereka”. Kita bukan mereka dan mereka bukan kita. Bentuk fragmentasi ini lantas diabadikan Yuval Noah Harari dalam magnum opus Sapiens-nya, “Kita adalah orang-orang seperti anda dan saya, yang memiliki kesamaan bahasa, agama dan istiadat.
Kita semua bertanggung jawab atas satu sama lain, namun tidak bertanggung jawab atas mereka”. Padahal, apabila kita menarik mundur beribu tahun silam, manusia sesungguhnya berasal dari satu keturunan yang hidup jauh nun di Afrika Timur. Mereka kemudian bermigrasi dan melewati pelbagai zaman yang melahirkan diversifikasi ras hingga saat ini.
Nenek moyang kita sama, itulah yang perlu diamini. Alih-alih menyepakati hal itu, kita justru terbuai dengan arogansi sebuah identitas. Peristiwa tersebut tercermin dari para tokoh bangsa saat intoleransi dibiarkan oleh negara.
Bagaimana kita bisa memupuk toleransi apabila mereka yang di istana sibuk mempertontonkan politik identitas? Sebagaimana yang terjadi dalam pertarungan politik paling ambisius di tanah air, yaitu Pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang sukses membuat warga Indonesia bersorak-sorai hingga dapat menjebloskan seorang negarawan ke penjara.
Tak hanya itu, gejala persaingan antar calon yang sarat dengan sentimen agama dan ras tersebut juga tampak jelas di tengah hiruk pikuk Pemilihan Umum Presiden 2019 mendatang. Metodenya sama, yang diperdebatkan itu-itu saja. Perwujudan politik yang tak sehat ini melulu berputar di ranah deskripsi, bukan substansi. Dengan menggunakan isu identitas untuk kampanye dan menjatuhkan lawan politik, tertanamlah bibit intoleransi di masyarakat. Tak bisakah sejenak kita mengesampingkan identitas dan menjadikan integritas sebagai tolak ukur?
Masih tentang mereka yang berada di istana. Intoleransi masih mendapat tempat di megahnya panggung demokrasi. Ketimbang menyediakan koridor-koridor untuk bersuara, rezim justru rajin sekali melakukan persekusi dengan dalil-dalil radikalisme, komunisme, sekularisme, dan isme-isme lainnya.
Kebebasan untuk berserikat yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 3 kini cuma fantasi. Mungkin bukan perkara mudah, terlebih karena Indonesia baru mengenal riuhnya liberasi pasca reformasi dua dekade silam. Masih dua puluh tahun! Jika disandingkan dengan umur manusia, ia masih butuh banyak belajar. Reformasi berhasil membuka mulut-mulut terbungkam yang tak lelah menyuarakan kebebasan. Semenjak saat itu, identitas kerap ditempurkan di ruang publik dan rezim seringkali merasa takut atas suara-suara mereka yang “berbeda”.
Penguasa terancam dengan anak-anak kemarin sore. Yaitu mereka yang baru datang pasca runtuhnya Orde Baru. Merasa kalah, penguasa mencari akal, simbol negara dijadikan senjata. Baik sesama rakyat atau pemerintah sama saja suka keren-kerenan simbol. Ajaibnya hal ini tak hanya terjadi sekali-dua kali. Pancasila diadu dengan palu arit, panji seorang rasul, warna-warni pelangi, hingga kerajaan ubur-ubur. Perbedaan simbol tersebut lantas dijadikan pijakan untuk saling lawan.
Apabila berpikir jernih, maka kita dapat melihat bahwa yang menjadi masalah sesungguhnya bukan tentang simbol siapa yang paling gagah, melainkan tentang blundernya negara ini dalam menerima perbedaan dengan tangan terbuka. Kita tak perlu rumus-rumus seperti mosaic pot atau melting pot yang diterapkan di negara barat, cukuplah memegang apa yang dikata oleh Mpu Tantular, “Bhinneka Tunggal Ika”.
Sebuah frasa istimewa yang ia wariskan pada abad ke-14 melalui Kitab Sutasoma yang lantas dijadikan bahan ajar toleransi antar umat Hindu Siwa dengan umat Buddha. Betapa eloknya bagaimana leluhur tanah ini dalam merawat kesatuan, semuanya diberi ruang, bukan malah diberikan perlawanan. Saat demokrasi diuji dan persekusi menjadi jalan akhir, tak khayal apabila intoleransi semakin menjadi.
Identitas
Sebelum manusia mengenal identitas, semuanya adalah satu kesatuan. Tidak terstruktur dan tidak terkategorikan. Identitas yang berupa suku bangsa maupun ras bukanlah sesuatu yang benar-benar nyata, melainkan sebatas simbol untuk merepresentasikan siapa kita. Indonesia yang diberkahi beragam suku dan budaya membuat perbedaan menjadi suatu kemutlakan. Sehingga keberagaman dan keberagamaan bukan lagi barang asing yang perlu diperdebatkan.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, kemanusiaan dilumat oleh arogansi identitas. Seringkali kita lupa bahwa entitas manusia telah hadir jauh sebelum dilekati sebuah identitas. Kita tak lagi bersandar pada moralitas lantaran sibuk mengerdilkan sesama. Asian Games telah digelar, berbagai bencana telah menimpa, di tiap bulan selalu ada berkah hari libur saat tanggal merah. Hal-hal itu mengingatkan bahwa kita bagian dari satu nama. Akan tetapi semuanya seperti angin lalu. Setelah berjuang dan merayakan keberagaman bersama-sama, tak lama kemudian kita kembali terpecah belah.
Mungkin ilmuwan perlu menciptakan virus aneh yang membuat manusia segera menelanjangi dirinya. Sebab apabila kita semua telanjang, maka hilanglah kecurigaan yang berdasar atas prasangka. Virus itu bernama inklusivitas. Ia dapat membuat manusia sepakat bahwa mereka seutuhnya sama dan mampu menjadi pengingat bahwa entitas mereka tak terlalu istimewa.