Kamis, Oktober 3, 2024

Tak Ada Indonesia Tanpa Karya Persatuan

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Salah satu—dan bahkan boleh jadi satu-satunya—kekuatan “magis” teramat penting dan berharga ialah gagasan persatuan dan kesatuan. Berangkat dari gagasan inilah The Founding Fathers kita mengelaborasi dan mengukuhkan Indonesia sebagai satu negara-bangsa (nation-state).

Gagasan ini menjadi “mantra” sejarah tegaknya kebangsaan. Tak ada Indonesia tanpa karya persatuan dan kesatuan. Angin politik abad ke-20 mengembuskan gagasan ini dengan sebutan: nasionalisme (nationalism).

Robert Edward Elson—Profesor Sejarah Asia Tenggara pada School of History, Philosophy, Religion, and Classics di University of Queensland, Brisbane, Australia—mengawali bukunya, The Idea of Indonesia: A History—edisi Indonesia diterbitkan Serambi, 2009—dengan kalimat: “Sebelum abad kedua puluh, Indonesia belum ada, dan karena itu orang Indonesia pun belum ada.”

Tentu saja tidak berarti kepulauan negeri ini baru dihuni manusia sejak abad kedua puluh. Para ahli antropologi menyebutkan telah ada jejak kehidupan manusia di sini sejak puluhan ribu tahun sebelumnya, dengan ditemukannya fosil-fosil Homo Erectus (Manusia Jawa) tertua di lembah sungai Bengawan Solo, yang kemudian disebut Homo Soloensis.

Tak ada yang menyangkal kalau sejarah negeri ini berakar amat panjang, jauh hingga ke masa-masa awal abad Masehi. Namun Indonesia sebagai proyek “nasionalisme politik” (political nationalism) baru tumbuh dan berkembang pada masa-masa peralihan abad ke-19 ke abad ke-20. Dalam konteks inilah R.E. Elson mengemukakan pernyataannya mengawali buku yang memaparkan sejarah gagasan mengenai Indonesia itu.

Secara sederhana, dinamika sejarah kebangsaan Indonesia bisa diklasifikasi ke dalam tiga fase: era nusantara, era kolonial, dan era Indonesia. Era Nusantara merujuk pada sejarah klasik suku-suku bangsa yang hidup di kepulauan negeri ini. Era Kolonial ditandai oleh kedatangan bangsa-bangsa Barat (Eropa) di bumi Nusantara dengan menjalankan proyek kolonialisme. Kemudian era Indonesia sebagai satu negara-bangsa (nation-state) setelah pernyataan kemerdekaan. Di setiap era terdapat dinamika sejarah kebangsaan dengan geliat serta corak dan warna seturut zamannya.

Jebakan Era Kolonial

Indonesia berakar kuat dalam sejarah kebangsaan nusantara. Salah satu buku yang memaparkan cukup komprehensif perihal ini bisa dirujuk karya Bernard H.M. Vlekke dengan judul, Nusantara: A History of Indonesia—edisi pertamanya diterbitkan pada 1943, edisi Indonesia diterbitkan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2008 dan 2016.

Vlekke dengan ringkas namun padat menggambarkan sejarah dinamika bangsa-bangsa yang hidup di kepulauan nusantara, dan kelak berintegrasi menjadi satu kesatuan: Bangsa Indonesia. Era Nusantara ini bisa diawali secara kronologis mulai dari abad pertama hingga kira-kira abad kelima belas Masehi.

Representasi era Nusantara bisa digambarkan melalui kerajaan-kerajaan Kutai, Sailendra, Sriwijaya, Singasari, Majapahit, dan Mataram. Di era inilah sejatinya sejarah bangsa Indonesia menjalani masa-masa penyemaian.

Kemudian pada awal-awal abad ke-16, mulailah berdatangan orang-orang Eropa merambah Nusantara. Diawali bangsa Portugis menjejak Malaka, bagian barat Nusantara, pada 1511, dan dengan cepat merambah ke bagian timur, Kepulauan Maluku. Lalu pada 1596, orang-orang Belanda mendarat di Banten.

Pada 1602 berdiri VOC (Vereenig-de Oost-Indische Compagnie)—perusahaan kongsi dagang Hindia Timur Belanda—dan segera beroperasi di wilayah-wilayah Asia Tenggara. Tak seperti perusahaan kongsi dagang biasa, VOC istimewa karena didukung penuh oleh negara Belanda. Dalam praktiknya, perusahaan ini banyak melakukan penindasan dan pemerasan terhadap rakyat Nusantara. Mereka pun sering disebut sebagai Kompeni, sebutan yang sering juga dialamatkan terhadap tentara Belanda.

Kalangan awam menganggap VOC dan Belanda sama saja. Faktanya, meskipun perusahaan ini bangkrut dan tutup pada 1799, tak membuat Belanda hengkang dari wilayah Nusantara. Mereka bercokol mempraktikkan kolonialisme di atas tanah negeri ini hingga abad ke-20.

Praktik kolonialisme Eropa, terutama Belanda, di wilayah Nusantara ini ditandai dengan politik pecah belah, politik adu domba—dikenal dengan istilah devide et impera, merupakan kombinasi strategi politik-militer-ekonomi dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil sehingga lebih mudah ditaklukkan. Alhasil, kekuatan-kekuatan politik lokal pribumi yang telah sempat tersemai sebelumnya menjadi ambyar.

Meski demikian, betapapun kerasnya dan lamanya tekanan kolonialisme ini tak membuat manusia-manusia Nusantara kehilangan jati diri. Pelan namun pasti, kesadaran dan keinginan untuk menjadi bangsa berdaulat atas tanah-negerinya tumbuh dan terus berkembang.

Mahakarya Persatuan

Memasuki abad ke-20, kesadaran berserikat terus tumbuh di kalangan pribumi, mengiringi pertumbuhan kaum terpelajar. Sejarawan M.C. Ricklefs mencatat—dalam Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004, Serambi, 2005—bahwa masalah-masalah dalam masyarakat Indonesia mengalami perubahan begitu besar pada tiga dasawarsa pertama abad ke-20. Periode ini pun menjadi saksi penentuan akan nasib bangsa ini ke depannya.

Di masa-masa itu, lahir berbagai organisasi berspirit pergerakan baik dilatari oleh unsur keagamaan maupun kebangsaan dan/atau oleh keduanya. Mulai dari Jam‘îyat al-Khair (1905); Budi Utomo (1908), yang dijadikan sebagai tonggak Kebangkitan Nasional; Sarekat Dagang Islam (1909), yang kemudian menjadi Sarekat Islam pada 1912; Muhammadiyah (1912); Nahdlatul Ulama (1926); dan banyak lagi organisasi-organisasi lainnya.

Dinamika pergerakan itu kemudian mengkristal dan melahirkan sumpah mantra persatuan; satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. Gagasan tentang Indonesia, yang telah mulai digunakan oleh beberapa ilmuwan sejak pertengahan abad ke-19—baik untuk identifikasi etnologis, geografis maupun budaya—kini menjadi cita-cita yang diperjuangkan eksistensinya untuk menjadi bangsa merdeka.

Setelah kurang-lebih satu abad lamanya, sejak kata “Indonesia” muncul sebagai gagasan bagi indentitas negeri ini, baru pada pertengahan abad ke-20, gagasan itu benar-benar menyata. Indonesia merdeka. Bangsa ini lahir sebagai buah dari Mahakarya Persatuan.

Tak ada Indonesia tanpa karya persatuan. Dengan persatuan, bangsa ini mampu menghentikan dan mengatasi kolonialisme yang telah berurat dan berakar di negeri ini. Persatuan membuat kita yang bhinneka menjadi tunggal ika. Demi mewujudkan persatuan, kita sampingkan aneka kepentingan baik menyangkut kesukuan, ras, etnik, warna kulit, golongan, ideologi maupun kepercayaan dan keagamaan.

Maka jika ada pihak yang merasa paling berjasa terhadap eksistensi negeri ini, dan mengaku “Paling Indonesia” hingga mendiskreditkan pihak lain, sebaiknya membaca lagi torehan-torehan sejarah bangsa ini sampai mengerti betul makna akan Persatuan Indonesia.

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.