Minggu, Oktober 6, 2024

Tahun Sepakbola, Tahun Politik yang Menggembirakan

Mimpi Ujian

Ilhamdatha
Ilhamdathahttp://about.me/ilhamdatha
Wartawan. Humas. Penulis buku biografi. Asisten Peneliti DPD, Institute of International Studies, Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM. about.me/ilhamdatha

24 Desember 1995, dunia dan Afrika bergetar ketika menyaksikan George Weah menjadi pesepakbola pertama dari luar Eropa yang berhasil mengangkat trofi Ballon d’Or. 22 tahun kemudian, ia menghadirkan satu lagi suri tauladan bagi setiap pengagumnya. Ia dipilih oleh rakyat Liberia sebagai presiden, dengan total 61,5% suara.

Kemenangannya tak hanya menandai perpindahan tampuk kekuasaan negara Afrika tersebut kepada seorang pesepakbola dengan latar belakang politik praktis yang sama hebatnya dengan pengalamannya di lapangan hijau. Ia juga menjadi satu lagi perpindahan kekuasaan di Afrika yang berlangsung secara demokratis, kondusif, dan menggembirakan, menurut lembaga-lembaga pengamat pemilihan umum internasional.

Dan jika sesuai rencana, Januari 2018 akan menjadi saksi bisu pelantikan Weah ke kursi pucuk pimpinan negara tersebut. Janji-janjinya untuk mewujudkan Liberia yang ramah investasi sembari menyediakan kesehatan serta pendidikan gratis, telah menunggu untuk diwujudkan.

Sedangkan di Indonesia, 2018 justru baru akan menjadi awal perjumpaan kembali dengan janji-janji para politisi. Ditengah pilkada serentak yang akan digelar, dan mesin-mesin partai politik yang mulai berderu menjelang Pemilu 2019, gemanya kelak dapat dipastikan bersaing keras dengan gelaran Piala Dunia sekitar bulan Juni dan Juli nanti. Sehingga di tahun sepakbola ini, mampukah kita juga menghadirkan tahun politik yang menggembirakan layaknya Liberia?

“Pesta” Demokrasi

Laksana pesta yang disambut dengan gegap gempita, politik Indonesia hari ini telah menghadirkan apapun yang membuatnya layak disebut demikian di tengah semaraknya masa kampanye maupun partisipasi masyarakat di lapangan dan di sosial media.

Namun selama ini, pesta politik Indonesia lebih sering menjelma laksana pestanya anak-anak nakal. Mereka kerap saling berjerit dan membungkam satu sama lain lewat isu-isu yang memecah belah bangsa. Pestanya pun seakan dipenuhi alkohol, di tengah baku hantam secara fisik, verbal, maupun virtual yang kerap terjadi dalam pemilu. Sehingga gagal mewujudkan jalinan perkawanan ditengah keragaman pendapat, karena yang ada justru timbulnya riak permusuhan baru.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pada (11/03/2016), bahkan mengungkapkan bahwa perbedaan politik dalam keluarga menempati peringkat 13 dari penyebab perceraian yang ada dan tercetatdi Pengadilan Agama. Dan dalam waktu beberapa tahun terakhir, angka perceraian gara-gara politik diyakininya meningkat tajam. Utamanya di daerah perkotaan layaknya Makassar dan DKI Jakarta, di tengah suhu politik yang memang sempat memanas.

Problematika yang telah banyak teridentifikasi oleh banyak pengamat tersebut, dapat direfleksikan dengan belajar dari apa yang telah berlangsung di dunia persepakbolaan. Ditengah segala kekurangannya, fanatisme dalam sepakbola sebenarnya tak pernah buta. Ia senantiasa berlangsung dalam takaran yang pas. Karena para suporter kerap menghujat pelatih, pemain, hingga taktik dan manajerial suatu tim, sama seringnya dengan hujatan yang mereka lontarkan kepada tim lawan.

Kewajaran dalam fanatisme tersebut masih belum berlangsung dalam politik Indonesia. Polarisasi pendukung kerap membuat para pemilih dalam pesta demokrasi yang seharusnya berjalan dalam asas rasionalitas, menjadi condong pada satu figur dan menghujat apapun yang dilakukan oleh figur lawannya. Tak peduli bahwa apa yang dilakukan figur dukungannya juga memiliki kekurangan yang harus diberi sumbangsih masukan untuk perbaikan, sedangkan figur lawannya memiliki kelebihan yang lebih dari layak untuk memperoleh apresiasi.

Faktor polarisasi politik tersebut beragam. Kesenjangan ekonomi, rendahnya literasi politik dan komunikasi ditengah kurang pahamnya masyarakat atas banjir informasi, dan kurang konstruktifnya kelembagaan politik walaupun jumlah mereka yang berminat atas politik tumbuh secara kuantitas, membuatnya berada dalam posisi Paradox of Plenty.

Terlebih lagi, politik Indonesia telah terlalu lama menyoroti perbaikan proses politik dengan sekedar menganggap pertambahan jumlah calon peserta pemilu sebagai keberagaman pilihan. Kesuksesan pemilu pun hingga kini kerap dikuantifikasi dengan angka pemilih dan angka golput. Padahal pengembangan kualitas setiap insan yang terlibat sebagai peserta maupun pemilih, selayaknya juga menjadi sentral dalam mewujudkan proses demokrasi yang menyejahterakan.

Sportifitas Berpolitik

Dari situ, dapat direfleksikan bahwa politik Indonesia masih butuh pendewasaan dengan cara mengembangkan budaya sportifitas diri. Budaya ini tak boleh sekedar dimaknai sebagai mengakui kekalahan dan menghormati pemenang dalam pemilu, layaknya selama ini didengungkan oleh banyak pihak. Itupun belum benar-benar berlangsung, karena nyatanya piihak yang kalah kerap enggan mendukung program pihak yang menang, dan terus mencari-cari kesalahannya. Bukan sebagai oposisi, tapi lebih sebagai musuh.

Pembangunan partisipasi inklusif, dapat menjadi jawaban bagaimana sportifitas dibangun sejak awal guna menghindari konflik dan perseturuan. Penerapan budaya berbasis teori politik partisipan dimana pengembangan budaya pengambilan keputusan yang terbuka sejak dari dalam partai, menjadi kunci untuk melakukan hal ini.

Mengutilisasi komando internal partai dari DPP hingga DPD bahkan ranting partai secara konsisten sesuai dengan prosedur yang termaktub dalam AD/ART masing-masing, dapat menjadi salah satu cara. Karena dalam kerangka two-level game theory, kondusifitas urusan “domestik” dapat menjadi kunci kesuksesan urusan di tingkatan lain yang lebih luas.

Sportifitas juga selayaknya dilakukan selepas pesta demokrasi berlangsung, dengan cara mengundurkan diri layaknya seorang kesatria jika ada tuntutan masyarakat maupun kasus yang menerpa. Seorang pejabat publik yang gagal mengemban ekspektasi masyarakat, harus sama beraninya dengan Djajang Nurjaman ketika mundur dari jabatan nakhoda Maung Bandung pada Juli lalu karena terseok-seok di Liga 1.

Dan yang tak kalah penting, adalah mewujudkan sportifitas lewat pemberian kesempatan yang sama dan setara pada setiap insan. Meminimalisir sentimen SARA dan mengedepankan kembali semangat membangun negeri, selayaknya menjadi fondasi penting untuk membangun sportifitas berbasis keadilan dalam berpolitik sejak dalam pikiran. Agar proses demokrasi berlangsung dalam benak setiap yang terlibat didalamnya, dengan penuh kebahagiaan.

Weah telah mencontohkan bagaimana Ballon d’Or yang diterimanya dapat menjadi bukti bahwa orang kulit hitam yang kala itu menerima diskriminasi berbasis rasisme, tetap mampu berkompetisi dan muncul sebagai pemenang. Menghadirkan mimpi dan harapan bagi generasi selanjutnya, bahwa mereka juga setara. Baik di lapangan hijau, dan di kehidupan sosialnya.

Sehingga di tengah hiruk pikuk politik, Liberia dan Weah telah meneladankan. Kini tugas kita melanjutkannya, guna menggembirakan Indonesia di tahun politik ini.

Ilhamdatha
Ilhamdathahttp://about.me/ilhamdatha
Wartawan. Humas. Penulis buku biografi. Asisten Peneliti DPD, Institute of International Studies, Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM. about.me/ilhamdatha
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.