Pada 21 Juli 2018 lalu, berkumpul anak-anak muda yang datang dari berbagai pelosok negeri, dari Aceh, Jawa, Sulawesi, hingga kawasan timur Indonesia. Kaum milineal ini (generasi yang lahir tahun 80 an–90 an) akan berdialog dengan Buya Syafii Maarif tentang masalah-masalah keindonesiaan dan kemanusiaan yang tengah berkembang.
Dalam kegelisahannya yang kian memuncak, memang Buya Syafii terus berikhtiar merangkul dan bergandengan tangan dengan berbagai pihak, termasuk generasi milineal untuk merawat, menjaga, dan memajukan bangsa yang sangat pluralistik ini sebagai rumah bersama agar tidak remuk dan berkeping-keping karena egoisme atas nama apapun juga, termasuk atas nama agama.
Untuk itu, cukup menarik, Lembaga MAARIF Institute melaksanakan Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif. Kegiatan yang menghadirkan kaum milineal dari berbagai daerah di Indonesia ini dilaksanakan di Sentul Bogor pada 21-31 Juli 2018 dengan menghadirkan tokoh-tokoh bangsa yang mumpuni di bidangnya.
Peserta yang lolos mengikuti kegiatan ini datang dari berbagai latar belakang, seperti aktivis sosial, dosen, mahasiswa s2 dan s3, ada yang dari Muhammadiyah, NU, dan ada yang Kristen. Selama sepuluh hari mereka berdiskusi tentang persoalan keagamaan, keindonesiaan dan kemanusiaan bersama para tokoh bangsa yang hadir.
Dalam kesempatan tersebut, Buya Syafii menegaskan perlunya generasi yang teguh membela keindonesiaan dengan memperjuangkan keadilan dan egaliterianisme. Sebab, menurut Buya, “Pokok tauhid di muka bumi ini pertama adalah keadilan dan kedua adalah egaliterianisme.” Buya Syafii di berbagai kesempatan memang sering menegaskan bahwa Islam diturunkan bukan untuk Tuhan tetapi untuk manusia. Dan keadilan merupakan inti dari ajaran Islam itu sendiri.
Menurut Buya Syafii, pembicaraan tentang sosial, hukum, ekonomi, politik, esensinya adalah keadilan. Bahkan Buya melihat, hancurnya Negara-negara Arab saat ini karena keadilan yang dipermainkan. Kata Buya, “Allah akan berpihak kepada penguasa yang adil meskipun kafir.” Kutipnya dari ungkapan ibnu Taimiyyah.
Dalam kasus Ahok misalnya, pembelaan Buya terhadapnya semata-mata ditempatkan dalam kerangka keadilan dan egaliterianisme dalam konteks Indonesia sebagai rumah bersama. “saya membela Ahok bukan apa, tapi karena dia berbuat, hanya karena lidah dia aja yang gak dijaga ya…. gejala Ahok adalah gejala kegagalan politisi muslim.” Ungkap Buya dengan nada agak kecewa saat berdialog dengan kaum milineal dari berbagai daerah itu. Menurut Buya, melawan atau menjatuhkan Ahok memakai surat al Maidah 51 adalah hal yang kurang tepat dan tak benar.
Selain Buya Syafii Maarif, hadir pula beberapa tokoh lainnya, diantaranya Prof. Amin Abdullah, Prof. Mahfud MD, Prof. Komarudin Hidayat, Prof. Musdah Mulia, Dr. Yudi Latif, Ahmad Najib Burhani, Ph.D, Sudhamek AWS., Prof. Sumanto al-Qurtuby, Ph.D, dan beberapa tokoh intelektual lainnya. Masing-masing mereka berbicara tentang pentingnya merawat keindonesiaan.
Menurut Amin Abdullah, Tantangan global yang juga dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah intoleransi dan proxy war. Oleh karenanya, ia menawarkan Syariah sebagai fundamental virtues (kebaikan-kebaikan fundamental) yang sesungguhnya substansinya telah terakomodir dalam pancasila dan UUD 45. Meskipun Indonesia bukan Negara Agama, tetapi kata Yudi Latif, “Agama dan Negara tidak bisa dipisahkan, tetapi harus dibedakan”. Agama harus menjadi spirit pembangunan Indonesia tanpa harus menjadi Negara agama.
Dalam konteks Indonesia, Sumanto al-Qurtubi (seorang antropolog di King Fahd Petroleum University, Arab Saudi) agak sedikit lebih berani melihat hubungan agama dan Negara. Ia katakan, “lebih penting memperjuangkan Negara daripada agama. Karena memperjuangkan Negara otomatis memperjuangkan agama (Islam), memperjuangkan agama, belum tentu memperjuangkan Negara.” Pernyataan ini sebagai ekspresi kesadaran Qurtubi melihat masalah keindonesiaan dan perkembangan dunia Arab belakangan ini.
Sebagai seorang antropolog yang lebih dekat melihat persoalan Timur Tengah, menurut Qurtubi, Indonesia jauh lebih baik dan maju daripada dunia Arab. Dalam soal relasi agama dan Negara, dalam pengamatan Qurtubi, Di Arab, hukum Islam di atas kertas memang diberlakukan secara formal, tetapi dalam prakteknya di lapangan justru banyak berlaku hukum suku-suku yang ada. Kesukuan masih sangat kental di Arab, misalnya pernikahan di Arab masih dominan berdasarkan Kasta (suku), suku yang tinggi sulit kawin dengan suku yang rendah. Belum lagi persoalan korupsi di lingkungan kerajaan.
Hal lain yang tidak banyak diketahui oleh publik Indonesia, misalnya dalam soal hubungan Syiah dan Sunni, di Arab menurut Qurtubi, banyak yang nikah silang antara Syiah dan Sunni. Mereka di Arab hidup berdampingan, tidak hanya Syiah-Sunni, tetapi juga dengan agama Kristen dan Yahudi. Kemudian hal lain, ternyata komunitas Syiah di Arab tidak mendukung Syiah Persia (Iran), mereka lebih mendukung Arab Saudi. Misalnya dalam konflik Yaman.
Hal-hal ini banyak yang belum diketahui publik Indonesia. Untuk itu, ke depan umat Islam Indonesia seharusnya tidak mudah melakukan penghakiman atau pengkafiran terhadap kelompok yang berbeda, katakanlah seperti kelompok Syiah. Polemik Syiah-Sunni memiliki sejarah panjang yang cukup melelahkan, tak hanya perdebatan teologis, tetapi juga konflik politik yang telah banyak menumpahkan darah sesama Muslim dalam bilangan abad sampai hari ini.
Patut kita renungkan pertanyaan kritikal dari Buya Syafii, Ia katakan, “ jika kita memang mau membuang Alquran ke dalam limbo sejarah dan digantikan oleh “Islam” dalam jubbah sunisme, syi’isme, dan isme apa lagi, seperti yang berlaku berabad-abad. Bukankah semua ini adalah berhala politik yang tidak layak diteruskan, jika memang kita mengaku setia kepada Alquran?”
Oleh karenanya, Amin Abdullah menawarkan ke depan, pengajaran agama dan kita beragama harus diubah dari penghakiman ke simpati dan empati. Sehingga agama, khususnya Islam, seperti dikatakan Gus Dur menjadi Islam yang ramah, bukan Islam marah. Memang problem dalam hidup kita sebagaimana dikatakan Musdah Mulia adalah selalu phobia dengan kelompok tertentu yang berbeda. Bahkan selama ini kita beragama seolah tidak ada hubungannya dengan masalah-masalah kemanusiaan.
Ada fajar harapan, generasi milineal Indonesia saat ini dan di masa mendatang akan lebih terbuka dengan perbedaan. Mereka akan lebih aktif merayakan perbedaan dan mencintai pluralisme. Kesadaran keindonesiaan dan kemanusiaan seperti ini setidaknya cukup dijiwai oleh peserta kegiatan SPM MAARIF Institute di Bogor beberapa hari yang lalu.
Dalam pluralisme sendiri tidak hanya saling menghargai keberagaman saja, tetapi ada upaya aktif dalam komunitas yang berbeda tersebut untuk melakukan taaruf (interaksi), ada usaha untuk mendorong orang atau komunitas yang berbeda untuk saling tahu satu sama lain dengan membangun dialog. Disini perlu ditegaskan bahwa pluralisme bukanlah relativisme atau menganggap semua agama itu sama. Ini seringkali disalahpahami oleh kebanyakan orang. Wallahu’alam