Memang sulit memisahkan Swedia dan Zlatan. Besar kemungkinan anda akan merespon Zlatan Ibrahimovic terlebih dahulu –sebelum menyebut IKEA atau ABBA- , saat saya menyebut kata Swedia.
Zlatan bahkan diadopsi sebagai kosakata pada bahasa Swedia yaitu Zlatanera yang berarti mendominasi. Sudah terbayangkan, betapa melegendanya Zlatan di lapangan sepakbola dan negara Swedia?
Menyaksikan Swedia era Zlatan, kurang lebih sama dengan Argentina saat Piala Dunia 2018, seluruh umpan akan dipusatkan ke Zlatan dan para penonton berharap akan ada aksi ajaib, entah tendangan salto dari 40 meter atau mencetak gol lewat tumit ala kalajengking. Mohon maaf, ini hanya ada saat Piala Eropa 2004 dan pertandingan persahabatan melawan Inggris tahun 2012, tidak sekalipun terjadi saat Piala Dunia bersama Swedia.
Sudah resiko memiliki bintang sekelas Zlatan, kalau menang, si bintang yang dipuji setinggi langit, jika kalah si bintang sibuk sembunyi dari hujatan dan lagi-lagi rekan se-tim dan pelatihnya yang dikambinghitamkan dengan tuduhan menyia-nyiakan bakat si bintang. Toh, saat timnya sedang susah payah berlatih, sang bintang dengan asyiknya melenggang dari satu iklan ke iklan lainnya.
Aura pemain bintang semakin kuat akibat awetnya fantasi menitisnya si bintang ke generasi baru, coba diurut, istilah Maradona Baru, Messi Baru, sampai komentator Bung Jebret dari Indonesia ikut latah menyamakan Egy Maulana dengan Messi.
Hasilnya tragedi atau harapan semu. Si pemain bintang mengklaim pencapaiannya paling unggul, sementara si penerus pusing memegangi dahinya akibat tidak bisa keluar dari bayang-bayang si bintang.
Untungnya hal ini tidak terjadi di timnas Swedia, tidak ada keributan siapa penerus Zlatan Baru atau veteran seperti Maradona yang kurang kerjaan merecoki timnasnya sendiri. Sejak menyingkirkan Belanda dan Italia di babak klasifikasi hingga melaju perempat final Piala Dunia 2018, Swedia banyak menyuguhkan kedisiplinan, kolekivitas, dan efisien. Namun sayang, tumbang oleh Inggris.
Hal yang membuat saya yakin siapapun yang berhadapan dengan Swedia harus berhati-hati. Para pencinta penguasaan bola dan sepakbola menyerang pasti akan jengkel melihat Swedia yang menumpuk pemainnya bertahan di separuh lapangan kemudian satu dua kali melakukan serangan. Sementara bagi yang matanya sudah silau dengan kebintangan Messi, Ronaldo, Neymar akan mencibir Swedia sebagai tim liliput yang tidak bisa apa-apa sepeninggal Zlatan.
Pelatih Janne Andersson dalam setiap wawancara selalu berkata, filosofi Swedia adalah bermain dengan rasa senang dan bekerja keras untuk satu sama lainnya. Entah berapa kali kalimat ini diulang-ulang dan bisa ditebak, kata kolektif, kerjasama dan rasa senang adalah negasi dari sosok megaloman dan individualis yang identik dengan Zlatan. Pelatih yang hanya punya satu trofi juara liga domestik bersama klub IFK Norrkoping ini, hanya menjawab seperlunya jika ditanyakan perihal Zlatan.
“Dia (Zlatan) tidak punya pengaruh apapun dalam persiapan tim Swedia”, tegas Janne. Saat mulai muncul isu apakah Zlatan kembali dari pensiunnya untuk bergabung ke Piala Dunia 2018, ia langsung mewanti-wanti jurnalis untuk tidak pernah membahas lagi Zlatan ke dirinya. Mitos Zlatan mau bagaimanapun harus dilucuti. Tentu bisa dibayangkan jika Zlatan yang gemerlapan prestasi datang menghampiri rekan setimnya yang hanya punya riwayat hidup liga domestik atau pemain cadangan di klub yang mengalami degradasi seperti Ola Toivonen.
“Zlatan menjadikan pemain lain sebagai pelayannya, bahkan belum tentu mau ia menginspirasi rekan-rekannya. Swedia sekarang anti-Zlatan, para pemain bebas menjadi dirinya dan santai menikmati permainan. Etos yang menjadi nyawa permainan Swedia ini ditanamkan oleh pelatih Janne Andersson”, tulis kolumnis Rory Smith di New York Times.
Andre Granqvist, kapten tim yang dijuluki pohon Natal –karena tinggi tubuhnya-, berkata bahwa pelatih Janne Andersson yang mengembalikan Swedia sebagai tim, sosoknya kebapakan dan selalu memberikan rasa percaya diri. Seorang bapak yang sangat murka, melihat anak buahnya diejek Oliver Bierhoff yang berlebihan merayakan gol kedua Jerman. “Kita harusnya saling bersalaman setelah pertandingan.
Mereka (Jerman) tidak boleh meninggalkan lawan yang sedih akibat kekalahan”, kata Janne dengan nada kesal. Saat Jimmy Durmaz, pemain keturunan Turki, akun instagramnya dibully akibat pelanggarannya berakibat gol Toni Kroos, Janne berada di sampingnya dan mengajak seluruh pemain Swedia berdiri di belakang Jimmy dan turut mengutuk ujaran kebencian bernada rasial.
Melawan Swiss di babak 16 besar, Swedia menunjukkan keindahan sepakbola yang lain yaitu mencegah pertahanannya bobol. Keindahan yang barangkali sukar dipahami oleh pemuja daya magis pemain bintang dan sepakbola menyerang. Swedia tidak lagi dibebani harus bermain menyerang hanya karena menuruti ego pemain bintang yang berposisi sebagai penyerang pula.
Saat menyerang sekalipun, pemain Swedia hanya mengandalkan satu dua sentuhan malah berharap ada hadiah penalti dari VAR (Video Asisstant Referee), dan akhirnya Emil Forsberg berhasil menghadiahkan kerja keras timnya. Pemain Swedia saling berpelukan dan menangis dalam momen surreal itu.
Swedia dinyatakan lolos ke perempat final, harian Marca langsung menyatakan, “Sekarang Zlatan harus tutup mulut dan meninggalkan timnas Swedia dengan damai”. “Kami belum puas dengan pencapaian ini, kami ingin menang di pertandingan selanjutnya dan saya tidak peduli harus melawan siapa”, kata Janne Andersson di media Guardian. Lawan mereka Inggris yang baru saja mengusir kutukan penalti.
Khalayak Swedia bergembira dan mengingat pencapaian timnya saat melaju ke semifinal Piala Dunia 1994 daripada Zlatan yang terus meracau bahwa Piala Dunia tanpa dirinya bukanlah Piala Dunia. “Swedia, menaklukan dunia seperti yang pernah saya lakukan”, ucap Zlatan saat dimintai tanggapannya atas pencapaian timnas Swedia. Sekali lagi, untung Janne Andersson tidak memanggil Zlatan.
Oh ya, Swedia pasca Zlatan ternyata malah lebih baik, jadi buat apa khawatir pendukung Argentina dan Portugal?