Kepada Pramoedya Ananta Toer
“Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Kau sudah lupa kiranya, nak, yang kolonial selalu iblis. Tak ada yang kolonial pernah menindahkan kepentingan bangsamu” – Pramodya Ananta Toer
Begitulah kiranya salah satu kutipan yang kau tuangkan dalam bukumu yang berjudul Anak Semua Bangsa. Bangsa besar itu tak ubahnya berhati iblis, katamu. Lantas ucapku dalam hati “Kenapa harus sebenci itu, Pram? Mereka memang jauh di atas bangsamu.”
Hampir semua ilmu pengetahuan, kalau kau tahu, semua datang dari bangsa besar itu. Coba, mana ada teknologi yang digunakan dari dulu hingga sekarang datang dari bangsamu sendiri? Ilmu pengetahuan yang generasimu pelajari saat ini? Semua dari sana.
Pram, belajar banyaklah dari sana. Standar sukses kita mengacu kesana. Segala macam hal yang ada di dunia ini katakanlah, semua berporos kesana. Dari sana dan kembali kesana. Sang Occident. Betapa hebatnya tarikan bangsa itu ya? Aku tidak pernah berhenti memuja-mujanya. Membayangkan kapan bangsaku akan seperti mereka keadaannya.
Tapi Pram, tepat saat aku mencapai klimaks mengagungkan Sang Barat, seketika aku merasa merendahkan diriku sendiri dalam keadaan serendah-rendahnya. Bagaimana bisa aku mengagungkan mereka yang menganggap bangsaku, bangsa kita, sebagai subordinasi? Yang lebih rendah dari mereka? Yang bar-bar? Yang tidak rasional?
Apalagi saat aku mencoba menelisik lebih jauh, pada awal abad 19 lalu para ilmuwan Sosiologi dan Antropologi dari bangsa besar itu mengkategorisasi dunia ini dalam oposisi biner. Mereka, bangsa barat dianggap civilized (re: beradab), dan kita dianggap uncivilized. Arogan sekali. Leluhurku dianggap tidak beradab, Pram.
Mencoba untuk menyelesaikan itu, Sang Barat dengan kemurahan dan kerasionalannya datang untuk membentuk “per-adab-an” di bangsa kita ini. Mengajak berdagang, mengajarkan banyak ilmu pengetahuan, membentuk nilai dan aturan baru yang menurut mereka benar dan berakhir dengan menggerogoti segala macam yang kita miliki. Yang paling menyebalkan adalah mereka tidak mau pergi. Ah, kau pasti sudah paham benar soal ini.
Oh iya, aku teringat kakek buyutku pernah bercerita padaku bahwa ia tidak berani berjalan berpapasan dengan “pendatang” itu. Dia lebih memilih untuk menempuh jalan yang 3x lebih jauh daripada harus bertemu dengan orang-orang besar itu. Miris sekali aku mendengarnya. Jangankan mendongakkan dagunya, bertatap saja tak berani, Pram. Apa itu juga pernah kau lihat dan rasakan?
Jika iya, aku akan menjadi orang pertama yang ikut terbakar kemarahan bersamamu. Menjadi yang terinjak dan memilih untuk mengalah saja bukan tipikal aku banget, lho. Sama sepertimu kan?
Pramoedya yang aku kagumi,
Akan kuberikan sedikit kabar gembira untukmu. Kita hidup dizaman yang berbeda Pram kau tahu. Aku hidup dimasa Sang Barat sudah tak bertingkah banyak di tanahku, tanah kita. Orang-orang kita sudah berani untuk mendongak saat bertemu mereka. Bahkan bangsamu ini sudah bekerjasama dalam berbagai hal. Kerja sama ekonomi, politik, budaya maupun militer sudah dilahap semua.
Ingat Pram, bekerja sama, bukan memberikan bantuan. Kita sudah dianggap memiliki derajat yang sama. Bukankah ide itu yang kau perjuangkan waktu itu? Selamat.
Tapi, Pram. Maaf jika kabar baik itu harus ku kubur lagi dengan kabar buruk ini. Aku tidak tahan menyimpannya sendiri. Aku ingin menumpahkan semuanya, dan yang kuanggap pantas mendengarnya hanyalah kau. Hari ini, bangsamu memang tidak dijajah oleh bangsa ke-barat itu. Hari ini, tepat saat aku menulis surat ini bangsamu tengah dijajah oleh bangsamu sendiri. Kau paham maksudku, Pram?
Ya, bangsamu yang sudah merdeka dan berdiri dengan kakinya sendiri ini sedang melolong merasakan sakit. Bangsamu sedang salah paham. Ia menganggap bahwa kaki adalah organ tubuh yang paling berarti. Tidak peduli dengan perut buncit tanda sejahtera atau rambut yang beruban tanda sudah bertahan hidup sampai tua.
Pram, kau tahu, kedua kaki bangsamu saling menendang satu dengan yang lain hingga berdarah-darah dan lumpuh. Kau tahu alasannya? Hanya karena satu kaki merasa kuat untuk berdiri sendiri tanpa bantuan kaki yang lain. Lucunya fikiran setidakrasional ini dimiliki oleh kedua kaki. Alih-alih membujuk agar tidak lelah sendiri, mereka bertarung, mempengaruhi telapak tangan dan sikut untuk memenangkan pertarungan tidak masuk akal ini. Ku ulangi lagi, bangsamu sedang salah paham, Pram.
Pramoedya yang aku kagumi..
Seandainya kau belum meninggalkan bangsa ini, tentu aku akan berlari mencarimu dan berusaha keras meluruskan ini. Meluruskan semuanya. Membuka mata mereka sampai pedih. Bahwasannya bangsa yang mapan dan dilukai diri sendiri adalah hal yang paling memalukan dimuka bumi. Segala macam yang mereka rebutkan saat ini hanya akan berakhir pada ketersia-siaan tanpa dukungan satu diantaranya. Pertarungkan dua kaki ini hanya akan menghancurkan tubuh mereka sendiri hingga runyam. Membusuk. Lalu pantas dikubur didekat bak sampah.
Terakhir..
Maafkan jika aku belum bisa banyak memberikan inspirasi dan mengisi penuh otak-otak kosong dengan karya seperti dirimu. Memahamkan mereka yang gagal paham mengenai bangsa ini. Yang memenjarakan diri sendiri dalam keadaan yang sudah merdeka kini. Akan aku balas pertarungan ini saat aku sudah matang nanti, Pram. Tunggulah suratku untuk menyampaikan kabar itu.
Salam,
Yang selalu mengagumimu
Nuzulia.