Pertama-tama, izinkan saya mengenalkan diri terlebih dahulu. Ibu Khofifah mungkin tidak kenal saya. Ibu juga mungkin tidak akan menggubris surat cinta dari saya ini. Tapi tak apalah. Saya tak pernah patah hati dengan yang seperti itu, sudah pengalaman soalnya!
Ibu Khofifah yang berbahagia, saya penduduk asli Jawa Timur, tepatnya tinggal di Kabupaten Probolinggo, Desa Gondosuli. Saat ini saya tinggal di Denpasar, Bali, dalam rangka ‘nyepi ilmiah’ dengan tetap aktif di LSM dan aktifitas-aktifitas pemuda Ansor wilayah Bali.
Keaktifan saya dalam LSM dan Ansor di Bali ini secara langsung telah membangun jiwa politik kebangsaan pribadi saya setiap melihat kader-kader NU yang berpolitik praktis nun jauh di sana.
Saya salah satu penggemar sepak terjang Ibu. Bahkan, saya menyimpan banyak video tentang Ibu. Saya akui tata bahasa Ibu dalam berpidato dan berdialog memang ‘elegan’. Dengan diksi yang tinggi ibu seolah-olah ingin mengatakan bahwa ‘akulah yang paling berhak menjadi Jatim 1’. Kira-kira begitu interpretasi saya tentang Ibu.
Ibu yang berbahagia. Lawan Ibu nanti di Pilgub Jatim juga merupakan kader NU yang militan. Pengalamannya juga tak dapat diragukan lagi khususnya di Jawa Timur itu sendiri.
Pilkada Jatim tahun ini akan terasa lebih seru dibanding tahun-tahun sebelumnnya. Saya bisa mengatakan begitu karena kontestasi Pilgub kali ini adalah pertarungan ‘head to head’ antara Ibu dan beliau, Gus Ipul, dan juga pertarungan ‘head to head’ antara kubu kiai Tebuireng dan kubu kiai non-Tebuireng, serta cobaan integritas pengurus Muslimat NU Jatim.
Mengapa demikian? Pertama, dua kali pemilu Ibu selalu kalah dari Gus Ipul. Sekarang Ibu telah menjadi menteri sosial yang notabeni statusnya lebih tinggi ketimbang seorang gubernur. Mengapa Ibu harus turun gunung? Bagaimana kalau Ibu kembali kalah untuk yang ketiga kalinya? Apakah tujuan Ibu turun gunung karena penasaran selalu kalah atau ada hal urgen lain di Jatim yang hanya Ibu bisa memimpinnya?
Kedua, dua kali pemilu kemaren Ibu memang secara moril dan politik didukung oleh KH. Hasyim Muzadi yang merupakan ‘penguasa’ NU di Jatim dari lapisan paling bawah hingga elit-elitnya. Namun, setelah beliau wafat, nampaknya posisi itu digantikan oleh kubu Tebuireng yang dipimpin KH. Solahuddin Wahid dan KH. Asep Saefuddin Chalim.
Sedangkan lawan Ibu, Gus Ipul, didukung kubu kiai-kiai non-Tebuireng, diantaranya ada KH. Agoes Ali Masyhuri, KH. Anwar Mansur, KH. Hasan Mutawakkil Alallah, dll.
Perlu Ibu ketahui bahwa secara tidak langsung, majunya Ibu sebagai kandidat calon gubernur untuk yang ketiga kalinya ini cukup membuat para kiai pusing. Pasalnya, harus Ibu ketahui juga, para kiai sebetulnya bukan tidak paham makna demokrasi, namun yang beliau-beliau inginkan adalah kader-kader terbaik NU saat ini dapat berbagi peran dalam pemerintahan. Ibu yang menjadi menteri sosial dan Gus Ipul yang tetap di Jawa Timur, kira-kira seperti itu pemahaman saya.
Ibu Khofifah yang saya hormati, karuan saja beberapa kader terbaik NU lainnya kemaren dipinang partai-partai besar untuk juga maju dalam kontestasi Pilgub di Jatim, sebut saja diantaranya Yenny Wahid, Mahfud MD, dan Halim Iskandar. Coba bayangkan, jika beliau-beliau ini menuruti ego-sentris politiknya pasti kiai-kiai pesantren akan semakin kebingungan.
Selanjutnya, Ibu Khofifah, dalam Muslimat NU sendiri saat ini sudah banyak kader-kadernya yang menjadi anggota dewan dan berasal dari PKB, partai yang mengusung Gus Ipul untuk maju dalam Pilkada nanti. Apakah Ibu yakin mereka masih akan mendukung Ibu mengingat mereka adalah kader partai dan tentunya dalam pemilu kali ini harus mendukung Gus Ipul?
Ibu Khofifah yang bersahaja. Saya pribadi sebetulnya menyesalkan apa yang menjadi keputusan Ibu saat ini, sekalipun ini adalah hal yang demokratis. Menurut pribadi saya, Ibu adalah menteri sosial yang cukup berprestasi saat ini dan mampu membantu masyarakat miskin dari Sabang sampai Merauke.
Kalau saja Ibu tetap istiqomah dengan peran ini, maka tidak menutup kemungkinan Ibu akan lebih maksimal dalam membantu masyarakat luas. Kalau sekarang saja Ibu sudah turun gunung, maka bagaimana nasib masyarakat yang lebih luas itu setelah baru sebentar merasakan kebijakan-kebijakan yang Ibu canangkan untuk mereka. Bukankah berperan lebih luas adalah tujuan politik kekuasaan itu sendiri, Ibu?
Mengakhiri surat ini, saya sangat menghormati keputusan Ibu maju dalam pemilu Pilgub Jatim nanti. Namun, kiranya Ibu juga perlu mempertimbangkan keluh-kesah saya di atas. Sebagai sesama orang nahdliyin, saya terus terang lebih senang mengikuti apa yang para kiai inginkan, yaitu agar kader-kader terbaik NU berbagi peran, bukan rebutan jabatan.
Ini hanya surat biasa Ibu, yang ditulis oleh orang biasa. Jika dirasa tidak penting, hiraukan saja surat saya ini. Jika penting, silahkan dibaca. Terima kasih.