Beberapa waktu lalu kita merayakan kemerdekaan Indonesia: sebuah imagined state yang dikukuhkan melalui sejarah panjang, sejumlah kejadian penting, serta nilai-nilai dan falsafah (UUD dan Pancasila), dan dirawat oleh kerja cerdas para negarawan dan intelektual, kerja keras pemangku jabatan, dan pembumian jargon-jargon yang sayangnya tidak dibarengi dengan telaah mendalam. Sepanjang bisa membunyikan pancasila, kita sudah Indonesia.
Mungkin karena jargonisme itulah, negara kita juga dihiasi dengan tak terhitungnya kerja malas dan korup para elit politik dan birokrasi. Mereka yang memasuki gelanggang politik dan birokrasi (yang seharusnya dimaknai sebagai gelanggang pengabdian, bukan pekerjaan) hanya mengejar status sosial dan ekonomi belaka. Yang dibawa adalah kuantitas (jargon-jargon, sedikit hapalan tentang ini-itu), bukan kualitas (pemahaman, penghayatan, etos, kritisisme).
Tentu kita tidak bisa berharap terlalu ideal (kejahatan akan musnah, dan manusia tenteram selamanya), tapi sisi busuk negara kita itu telah menjadi ayat, telah menjadi ujian, yang meluluskan manusia-manusia cemerlang berbudi luhur. Selalu ada mutiara yang membuncah di tengah nestapa. Selalu ada kabar baik di antara kabar buruk.
Maka, merayakan 17 Agustus, selain dengan bergembira ria ikut lomba makan kerupuk bersama masyarakat tersayang, bolehlah kita mengenang beberapa nama bersejarah, membaca kisah mereka yang idealis itu. Polisi Sugeng, Advokat Yap Thiam Hien, Intelektual Soedjatmoko, Aktivis Soe Hok Gie, atau pejuang HAM Munir Talib.
Atau, bila bosan (baca: tidak biasa) baca buku, merayakan 17 Agustus bisa juga dengan menonton beberapa film. Tidak mesti film kemerdekaan dari Arsip Nasional Republik Indonesia. Film apapun yang bisa membuat kita lebih menghayati makna kemerdekaan (individu atau komunal), bisa ditonton bersama.
Namun, saya kurang menyarankan film-film superhero Barat untuk ditonton.
Mereka mengajarkan heroisme, mungkin iya, tapi lihatlah tabiat mereka. Atas nama penyelamatan semesta, mereka bebas merusak properti publik dan pribadi. Atas nama penyelamatan semesta, mereka bebas menghancurkan tanpa menunjukkan itikad baik untuk meminta maaf. Kita digiring pada kesadaran bahwa upaya merebut kemerdekaan (keselamatan dan kebahagiaan) membolehkan sekelompok elit melakukan pengrusakan, dan publik pasti rela hati dengan pengrusakan itu.
Untuk penyelamatan dari bahaya besar yang mengancam, setiap kerusakan yang ditimbulkan masih termasuk murah.
Tapi itu film. Di dunia nyata, kita bisa mengajukan pertanyaan kepada mereka yang muncul (dan mendaku) sebagai superhero: (a) benarkah kamu sedang melakukan penyelamatan? (b) Musuh yang kamu bualkan, sungguhkah ia ada? (c) Kerusakan yang kamu timbulkan, bagaimana kamu menggantinya? (d) Tujuan penyelamatanmu ini, demi kami atau demi siapa?
Hahaha, kalau kita ajukan pertanyaan itu pada pihak-pihak yang ‘bermain’ hari-hari ini, kemungkinan kita akan dihabisi. Pertanyaan semacam itu, bagi pihak berkepentingan, sangat berbahaya.
Tapi kita perlu menghayati kemerdekaan bangsa dan negara kita secara kritis. Meskipun sejarah panjang kita sangat heroik, tapi kita tidak bisa berlepas tangan dan mengklaim sejarah kita berlangsung kompak dan satu tujuan. Di dalamnya ada kepentingan bertentangan (cobalah menilik debat-debat dalam sidang BPUPKI dan sidang perumusan dasar negara). Di dalamnya ada ketidakjujuran (cobalah mengamati perdebatan para saksi sejarah tentang suatu peristiwa).
Kritisisme membantu kita tidak terjebak romantisme sejarah (yang menganggap sejarah serba ideal). Kita perlu pahami sejarah itu tak selamanya indah, dan cita-cita kemerdekaan tidak lepas dari kemungkinan kooptasi-manipulasi demi kepentingan kelompok tertentu—yang ujungnya, rakyat kembali jadi korban. Demi mengenali dan menghindari bentuk-bentuk kemungkinan buruk itulah, kita mempelajari sejarah.
Agar kita tidak membiarkan superhero-superhero palsu berkuasa, yang merekayasa berita bohong tentang musuh bersama, dan merusak (baca: merampok kekayaan) bangsa dengan dalih penyelamatan semesta. Seperti superhero Barat itu.
Perayaan kemerdekaan seharusnya menyadarkan kita bahwa proses pemerdekaan belum selesai. Meminjam kalimat Anies Baswedan yang manis, “segenap kita harus berusaha mengisi kemerdekaan.” Kemerdekaan salah satunya diisi dengan perlawanan terhadap setiap yang mau merusak kemerdekaan itu. Selain, tentu saja, dengan bersenang-senang ikut lomba makan kerupuk, atau bergoyang dangdut. Sumpah, itu asik. []