Ahmad Baso mencatat dalam Pesantren Studiesnya bahwa pesantren tidak hanya bergerak di bidang perjuangan semata, semisal untuk membebaskan Indonesia dari cengkraman tangan penjajah yang begitu geram mencekam, namun juga bergerak di bidang pendidikan, budaya, etika, ekonomi, dan politik. Bahkan para kiai dan santri terlibat aktif dalam mempertahankan NKRI dari ancaman PKI yang ingin merubah Indonesia menjadi negara Komunis dan DI/TII yang ingin merubah Indonesia menjadi negara Islam. Bagi mereka, mempertahankan NKRI bukan hanya berkaitan dengan nasionalisme semata, tetapi juga merupakan bagian dari melaksanakan ajaran agama Islam (Lihat Benturan NU-PKI: 1948-1965, 2013).
Oleh karena itu, penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN) oleh Presiden Joko Widodo, selain sebagai janji politik ketika kampanye Pemilihan Presiden 2014 dan bentuk penghargaan Pemerintah terhadap peran para ulama dan santri zaman old dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, juga sebagai “cermin” bagi santri zaman now untuk meneladani semangat jihad cinta tanah air mereka dan rela berkorban untuk bangsa dan negara. Dengan kata lain, penetapan HSN ini menjadi tantangan dan pecut kepada para santri untuk membuktikan pentingnya mereka bagi kemaslahatan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah menjaga dan mempertahankan keutuhan NKRI sebagai warisan para Pendiri Bangsa (founding fathers), yang tidak sedikit dari kalangan ulama.
Mempertahankan keutuhan NKRI menjadi prioritas utama yang harus dilakukan oleh para santri, karena hal ini menentukan nasib bangsa Indonesia kedepannya. Tidak mungkin pembangunan untuk memajukan Indonesia berjalan dengan lancar apabila virus-virus radikalisme mengobok-obok bangsa ini. Pengalaman di beberapa negara Muslim seperti di Timur Tengah dan Afrika kiranya cukup menjadi contoh betapa ngerinya radikalisme dan betapa berartinya keutuhan sebuah negara. Dalam kacamata maqâṣidî, bagi penulis, keutuhan NKRI menjadi syarat utama dalam menegakkan tujuan-tujuan primer syariat Islam (maqâṣid asy-syarî’ah) seperti menjaga agama (ḥifḍ ad-dîn), menjaga jiwa (ḥifḍ an-nafs), menjaga akal (ḥifḍ al-‘aql), menjaga keturunan (ḥifḍ an-nasl), menjaga harta (ḥifḍ al-mâl), dan menjaga kehormatan (ḥifḍ al-‘irḍ).
Inilah mengapa para ulama dan santri zaman old berjuang mati-matian mempertahankan NKRI ketika diserang oleh kalangan pemberontak PKI dan DI/TII, karena pergerakan mereka hendak merubah ideologi Pancasila yang menjamin keenam jaminan dasar tersebut sebagai inti hak asasi manusia (Lihat Benturan NU-PKI: 1948-1965, 2013). Dengan kata lain, menjaga NKRI sama saja dengan menjaga enam tujuan primer syariat Islam yang harus diwujudkan oleh segenap umat Islam.
Oleh karena itu, suara para santri zaman now menjadi penting dan berarti dalam menyuarakan Islam damai, ramah, dan moderat ala Nusantara yang sudah lama diajarkan dan dikembangkan oleh para ulama sepuh. Tidak lain dan tidak bukan karena mereka merupakan bagian dari mayoritas yang akan meneruskan perjuangan para ulama sepuh, baik dalam mempertahankan keutuhan NKRI mau pun memajukan bangsa ini. Paham-paham radikal yang terus diembuskan oleh kalangan tertentu dapat dibendung oleh suara (nalar) para santri yang memiliki keyakinan cinta tanah air sebagian dari iman (ḥubb al-waṭan min al-imân). Kalau para santri diam, maka bukan tidak mungkin para pengusung radikalisme dengan leluasa menguasai nalar publik, sehingga akan membawa negeri ini kepada peperangan dan kehancuran. Inilah pentingnya menyatukan gerakan dan suara para santri dalam wadah organisasi yang secara sistematis melakukan program-program cinta tanah air dan anti radikalisme. Mengingat pesan Sayyidinâ Ali as. ḥaqqun bi gair niẓâmin yaglibuh al-bâṭil bi niẓâmin (kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir).
Selain itu, Ikrar Santri Indonesia tidak hanya menjadi ikrar seremonial tahunan semata, tetapi bisa diwujudkan dalam prilaku sehari-sehari dan setiap pergerakan santri demi teguhnya NKRI dan terciptanya kesejahteraan rakyat Indonesia, sebagaimana termaktub indah: Kami Santri Negara Kesatuan Republik Indonesia berikrar: (1) Sebagai Santri Negara Kesatuan Republik Indonesia, berpegang teguh pada aqidah, ajaran, nilai, dan tradisi Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. (2) Sebagai Santri Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, berideologi negara satu ideologi Pancasila, berkonstitusi satu Undang Undang Dasar 1945, berkebudayaan satu kebudayaan Bhineka Tunggal Ika. (3) Sebagai Santri Negara Kesatuan Republik Indonesia, selalu bersedia dan siap siaga, menyerahkan jiwa dan raga, membela tanah air dan bangsa Indonesia, mempertahankan persatuan dan kesatuan nasional serta mewujudkan perdamaian dunia. (4) Sebagai Santri Negara Kesatuan Republik Indonesia, ikut berperan aktif dalam pembangunan nasional, mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan, lahir dan batin, untuk seluruh rakyat Indonesia. (5) Sebagai Santri Negara Kesatuan Republik Indonesia, pantang menyerah, pantang putus asa serta siap berdiri di depan melawan pihak-pihak yang akan merongrong Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal ika, serta konstitusi dasar lainnya yang bertentangan dengan semangat Proklamasi Kemerdekaan dan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama (https://www.harisantri.id/berita/ikrar-santri-indonesia.html, 28/10/2017).
Akhirnya, wa allâh a’lam wa a’lâ wa aḥkam…