Kamis, Mei 9, 2024

Sumbu Pendek Sastra dan Historiografi Zaman Now

Harun Averroes
Harun Averroes
Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Zaman sudah demikian maju. Manusia berpikir bahwa zaman modern ini adalah puncak dari kemajuan yang telah dicapai selama berabad perjalanan sejarah manusia. Sejak Adam hingga kini, era modern yang paling dianggap maju.

Era modern sudah melahirkan makhluk yang sangat dihormati, dijunjung-junjung setinggi langit, bahkan makhluk maksum sehingga anti-kritik: ialah makhluk yang bernama demokrasi (ada beda demokrasi yang mbagusi yang didalamnya terdapat manipulasi, dengan sikap demokratis yang universal, maksud saya dalam tulisan ini adalah demokrasi yang mbagusi).

Tidak ada yang pernah menggugat makhluk yang satu ini. Kita bahkan sampai berpikir bahwa tak ada lagi yang lebih maju dari demokrasi. Makhluk yang bernama Kerajaan alias Monarki adalah angin lalu yang penuh dengan derita primitif. Kerajaan-kerajaan masa lalu seperti Kerajaan Daud dan Sulaiman adalah kerajaan yang penuh mitos, khayal yang mengada-ada, mana mungkin ada kaum jin yang menjadi staf Raja Sulaiman.

Era modern menghasilkan teknologi yang sangat maju dibidang transportasi, informasi, bahkan bioteknologi. Manusia bisa berkeliling dunia hanya dalam hitungan jam dengan pesawat jet. Mengalahkan piring terbang yang tercipta zaman Sulaiman. Distribusi barang kian cepat. Mengalahkan pemindahan istana Ratu Balqis yang jaraknya ratusan kilometer hanya dalam sekejapan mata oleh Ashif bin Barkhiya, salah satu staf Raja Sulaiman. Lagipula hal itu sudah kita anggap mitos. Kalau tidak bisa dibuktikan secara empiris, itu berarti mitos. Tak nyata.

Segalanya harus ada bukti materilnya yang nampak di mata, baru dianggap ada dan nyata. Berbicara tentang sejarah misalnya. Harus ada bukti peninggalan berupa artefaknya, baru dianggap nyata. Ada beberapa kelompok dalam masyarakat kita sekarang yang mengatakan bahwa Walisongo adalah mitos. Karena Walisongo tidak pernah meninggalkan bukti arkeologis. Maka dianggap tidak ada. Padahal Walisongo meninggalkan banyak bukti antropologis. Sisi antropologis ini dianggap tak nyata. Karena tak kasat mata. Untungnya Nabi Muhammad meninggalkan bukti arkeologis dan antropologis. Kalau tidak, bahaya sekali jika menganggap Nabi Muhammad sebagai mitos.

https://news.okezone.com/read/2016/06/09/510/1410634/mengungkap-fakta-lain-tentang-wali-songo

Cara berpikir sejarah kita sekarang ini memang aneh. Segala sesuatu yang (dianggap) mitos dan legenda harus dijauhi. Tidak bisa dipakai sebagai sumber sejarah. Misalnya ada kalimat dalam salah satu historiografi tradisional yang berbunyi “…. yang bisa menjadi pemimpin adalah kuda yang terbang”. Kalimat seperti ini tidak bisa dipakai sebagai rujukan. Karena ini penuh mitos. Mana mungkin kuda bisa terbang, jadi pemimpin lagi.

Padahal karya historiografi masa lalu kita (seperti babad, hikayat, wawacan, lontara, tambo, pustaha, dan lain-lain) menggunakan sastra sebagai bentuk atau jenis tulisannya. Berbeda dengan historiografi dimasa sekarang. Kita terlanjur menganggap segala yang sastra adalah fiksi, rekayasa pengarangnya. Tentu saja ini bisa divonis oleh cara berpikir sejarah kita sekarang bahwa historiografi yang satu ini tidak bisa dipakai sebagai sumber sejarah. Mungkin ini salah satu sebab mengapa masa lalu kita masih banyak yang belum terungkap. Padahal sastra tidak semuanya fiksi.

Historiografi yang memakai tulisan sastra mempunyai logika dan sifatnya sendiri. Karena sastra adalah hamparan analogi, hamparan majas, hamparan perumpamaan. Historiografi yang memakai tulisan sastra pun demikian. Ia harus dicari makna sebenarnya dari analogi dan majas. Seperti contoh kalimat “yang bisa menjadi pemimpin adalah kuda yang terbang” diatas. Itu merupakan kalimat majas. Mari kita cari makna sebenarnya.

“Kuda” dalam kalimat diatas bisa kita pahami adalah hewan yang kuat, yang bisa juga berlari sangat kencang. Kuda juga biasa dipakai sebagai hewan peliharaan hero tertentu yang sangat iconic. Coba kita bayangkan patung Pangeran Diponegoro tanpa ada kudanya. Ia bisa kehilangan kekuatan dan kharismanya. Nah, “kuda” ini bisa diartikan sebagai kekuatan dan kharisma.

Kemudian kata “terbang”. Terbang merupakan idiom yang menggambarkan ketuhanan. “Karena diatas ada Tuhan, makanya kita harus terbang kesana”. Kita selalu menggambarkan bahwa Tuhan itu ada di atas. Kita bahkan dalam keadaan terdesak sering berkata “mari kita pasrahkan pada yang diatas”. Berarti diksi “terbang” ini artinya religius atau ketuhanan.

Jadi kalimat dalam babad diatas bisa kita maknai begini: ”yang bisa menjadi pemimpin adalah orang yang memiliki kekuatan dan kharisma serta mempunyai sifat religius atau ketuhanan”. Memang butuh ketajaman mencari makna dibaliknya jika kita bergaul dengan historiografi tradisional. Berbeda dengan historiografi sekarang yang cenderung lugas, makna sebenarnya langsung terungkap begitu kita membacanya.

Jika makna dalam kalimat diatas demikian, masihkan dianggap sebagai mitos? Demikianlah juga mungkin hamparan kalimat bermajas yang lain. Jika kita membaca naskah kuno yang berisikan hal-hal yang tidak masuk akal, jangan terburu menyingkirkannya. Cobalah sejenak untuk memahaminya lebih dalam. Jangan seperti kelompok “sumbu pendek” yang memahami Walisongo sebagai mitos.

Dalam studi filologi dan studi kesejarahan secara umum kita mengenal kritik ekstern dan kritik intern terhadap (yang diduga) sumber sejarah. Menurut Kuntowijoyo dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah pada Bab “Penelitian Sejarah” mengatakan bahwa kritik ekstern adalah kritik terhadap keaslian sumber (autentisitas).

Jika dalam naskah, kritik ekstern ini melingkupi: kertasnya, tintanya, gaya tulisannya, bahasanya, kalimatnya, ungkapannya, kata-katanya, hurufnya, dan semua penampilan luarnya. Sedangkan kritik intern adalah kritik tentang kesahihan suatu naskah (kredibilitas) yang lingkupannya tentang pembandingan suatu naskah dengan konteks zaman dimana naskah itu dibuat atau dengan naskah lain yang lebih baru.

Menurut definisi diatas, penyingkapan makna dari kalimat yang bermajas itu masuk didalam kritik ekstern. Tetapi anehnya, mengapa hal itu tidak dilakukan? Saya kira kurangnya pemahaman kita tentang sastralah yang menjadi penyebabnya.

Itulah sebabnya pendidikan sastra bagi sekolah sejarah atau jurusan sejarah atau komunitas lain yang menggeluti bidang sejarah penting dilakukan. Dalam jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam di UIN Sunan Kalijaga, di mana saya menempuh sejarah disitu, pendidikan sastra sama sekali tidak ada. Sedikit “menyerempet” dengan sastra, adanya hanya Mata Kuliah Bahasa Indonesia dan Filologi pada semester awal.

Bagaimana mungkin kita bisa mengungkap sejarah kita secara utuh didalam suatu babad misalnya, jika sense of literature tidak punya? Padahal masa lalu Nusantara yang terhampar dalam babad, lontara, dan historiografi tradisional yang lain menggunakan sastra.

Saya kira yang menyebabkan kegersangan penelitian sejarah kita sekarang adalah tidak dimasukkannya oase sastra didalam gurun kurikulum sejarah. Dengan dimasukkannya pendidikan sastra dalam kurikulum sejarah, saya kira akan mengurangi pe-mitos-an pada hal yang sebenarnya bukan mitos. Pun, akan mengurangi kelompok sumbu pendek yang menganggap Walisongo sebagai mitos.

Harun Averroes
Harun Averroes
Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.