Selasa, April 23, 2024

Suku Dani Papua dalam Pusaran Stigma ‘Malu’

Fahmi Fahrozi
Fahmi Fahrozi
bermukim di bumi mataram, mengembara di ranah kepenulisan dan penelitian, dan acap kali betah berdialog

Artikel ini menjelaskan tentang ‘malu’ dan stigma di antara masyarakat yang melakukan diaspora pada orang-orang Papua. Jenny Munro (2015) berkali-kali dalam tulisannya mengenai papua menjelaskan perjuangan masyarakat papua melawan rasisme dan mengikuti modernitas sebagai bentuk kesamaan mereka untuk menjadi masyarakat Indonesia.

Konteks ‘malu’ muncul sebagai emosi yang menggambarkan kegagalan mereka untuk mengikuti tren cita-cita bangsa; modernitas dan pembangunan (Munro 2015). Masalah yang dikaji Jenny Munro diambil dari data etnografi selama 16 bulan di Sulawesi Utara dan Papua.

Dalam tulisan ini, Munro mengerucutkan topik penelitiannya pada masyarakat Suku Dani yang migrasi untuk mendapatkan pendidikan di luar Papua. Pemuda Dani tersebut digambarkan bahwa mereka meminta untuk diakui secara rasial dan evolusi budaya. Adapun upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat Dani lebih kepada mengenyam pendidikan untuk mendapatkan pengakuan dan melawan stigma-malu dari masyarakat luar Papua.

‘Now we know shame’: Malu and Stigma among Highlanders in the Papuan Diaspora

Sebelum lanjut kepada pembahasan bagaimana rasa malu itu muncul dari stigma yang diberikan kepada orang Dani Papua, alangkah lebih baiknya untuk menjelaskan konsep ‘malu’ itu sendiri. Melalui Munro, Strathern (1975) mendeskripsikan rasa ‘malu’ sebagai gagasan kehilangan prestise atau ketidakmampuan yang disebabkan oleh konfrontasi dengan kekuatan komunitas.

Epstein (1984) melalui Munro juga berkata demikian “Malu cenderung terungkap ketika kekurangan seseorang terpapar pada tatapan konsentrasi orang lain”. Saya beranggapan bahwa kedua pandangan ini berbicara mengenai moralitas yang menjadi titik dari munculnya rasa malu tersebut.

Dalam bahasa Suku Dani, mereka menyebutnya sebagai nekali dan nayuk. Secara tidak langsung, ‘malu’ terkonstruksi dari pandangan atau stigma orang luar terhadap orang Dani yang mengakibatkan tindakan tersebut muncul. Sebagai konsekuensi dari stigma-stigma yang dihadapi, beberapa orang Dani melakukan pemutusan atau deteritorialisasi dari gangguan tersebut—khususnya dari pandangan primitif dan terbelakang dengan melakukan migrasi.

Dalam konteks stigma rasial tersebut, orang Papua mencoba untuk mengubah pandangan primitif dengan migrasi dan mengeyam pendidikan. Hal ini berawal dari pandangan inferior orang luar terhadap Papua dengan budaya koteka yang dikonstruksikan sebagai masyarakat terbelakang.

Meskipun budaya koteka sendiri dijadikan alasan mereka dipandang primitf, hal ini memberikan dualisme di antara masyarakat Papua—antara sesepuh yang menganggap itu kebudayaan leluhur dan pemuda yang mencoba menepis pandangan inferior yang muncul dari outsider.

Sementara stigma saling dilemparkan terhadap masyarakat Dani, mereka menjadi termotivasi untuk diaspora dan salah satunya membentuk diri mereka dengan pendidikan tinggi di Sulawesi Utara. Upaya pembuktian ini menurut saya adalah bentuk perlawanan secara halus terhadap pandangan yang muncul akibat modernitas dan pembangunan nasional. Pun secara politis, orang Papua memandang pendidikan penting untuk mengatasi penindasan dan memulihkan kontrol adat atas tanah dan kehidupan sosial.

Tidak sedikit dari mahasiswa Papua yang mengenyam pendidikan di Sulawesi Utara, memberikan kontribusi bagi kemajuan Papua. Akan tetapi, apakah konsep kemajuan ini sesuai dengan cita-cita masyarakat Papua di kampung halamannya? Beberapa mahasiswa seperti Kodar dan Etinus dalam pidatonya terhadap mahasiswa Papua mendemonstrasikan bahwa pembangunan yang diberikan mereka untuk membuat Papua sejahtera berarti bagi mereka di kampung halaman karena menurutnya ‘jika kami tidak melakukannya, siapa yang akan melakukannya?” (Munro 2015).

Dengan mobilitas tersebut, seolah-olah mahasiswa Papua mampu memberikan kontribusi baik secara politis dan sosial-ekonomi bagi pengembangan pembangunan di Papua. Menjadi pertanyaan sebenarnya, apakah pembangunan dan pembelaan stigma oleh mahasiswa Papua tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada kaidah lokal masyarakat Papua? Atau hanya dasar tolok ukur kemajuan bangsa tersebut?

Sebenarnya yang lebih mengerikan lagi adalah mahasiswa Papua yang berjuang di Sulawesi Utara tersebut. Dalam beberapa kasus, mereka masih terkena stigma dan hanya dijadikan ‘kambing hitam’ untuk masalah yang muncul. Beragam fitnah dan tuduhan muncul karena mereka dianggap inferior.

Maka dari itu, menjadi refleksi juga bagi migran Dani Papua atas perlakuan yang diberikan masyarakat sekitar Sulawesi Utara. Karena tidak dapat dipungkiri, pandangan rasis terhadap masyarakat Papua tetap muncul. Serta upaya pemerintah untuk menyamaratakan pembangunan nasional malah menjadi paradoks bagi nilai-nilai kaidah lokal.

Kali ini, saya kembalikan kepada cara pandang luar terhadap masyarakat Papua. Butet Manurung, salah satu aktivis dan penulis buku ‘sokola rimba’ pernah berkunjung dan live in di dataran Papua untuk kegiatan kampus pada tahun 1999. Karena cara pandang kita terhadap orang Papua bahwa mereka “liar”, “miskin”, “bodoh”, “kotor”, “telanjang”, dan sebagainya, sebenarnya kita sedang melakukan kejahatan karena seolah kita berkata pada mereka bahwa diri kita “lebih bahagia”, “beradab”, “kaya”, “pintar”, “bersih”, dan “sopan” (Manurung, 2017).

Lebih daripada itu, sabunisasi di Papua yang muncul belakangan ini justru meningkatkan tingkat kematian dibandingkan tingkat kesejahteraan. Lantas, tidakkah terbukti efek yang dihasilkan malah membuat masyarakat Papua itu sendiri menjadi semakin terpinggirkan? Di satu sisi, pembangunan memang tidak memandang aspek budaya lokal, di lain sisi, budaya juga kadang susah untuk dipahami karena butuh riset dan pemahaman. Maka sebenarnya, bagaimana cara efektif untuk melakukan pembangunan tanpa meninggalkan aspek budaya dan terlepas dari pandangan inferior dari luar terhadap masyarakat Papua?

Saya berkali-kali berefleksi dari pandangan rasisme yang memaksa masyarakat Papua untuk menjadi hero bagi kampung halamannya. Meskipun cara yang dilakukan bermotif halus dan membangun untuk dunia pendidikannya, tetapi upaya yang dilakukan masih ditepis dengan pandangan kolot budaya lokal. Saya berspekulasi bahwa masalah yang besar dari konteks ini lebih kepada bagaimana persepsi orang luar memengaruhi tindakan orang Papua. Sehingga konsep ‘malu’ tidak akan muncul jika tidak ada intervensi, namun terkadang manusia memang begitu kan?

Daftar Pustaka:

Munro, Jenny. 2015. “Now we know shame”: Malu and Stigma among Highlanders in the Papuan Diaspora. Dalam Slama, Martin and Munro, Jenny (Ed.), From ‘Stone-Age’ to ‘Real-Time’: Exploring Papuan Temporalities, Mobilities and Religiosities.

Fahmi Fahrozi
Fahmi Fahrozi
bermukim di bumi mataram, mengembara di ranah kepenulisan dan penelitian, dan acap kali betah berdialog
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.