Sabtu, Oktober 12, 2024

Suku Baduy, Hidup Bahagia dengan Kesederhanaan

Dwi Exsir Pamungkas
Dwi Exsir Pamungkas
Mahasiswa Antropologi Sosial, Universitas Diponegoro

Ketika saya memulai langkah kaki saya di Baduy, dan memasuki wilayah perkampungan suku Baduy. Disanalah saya mengerti makna arti dari sebuah kebahagian tak harus soal materi, tetapi dengan hal yang sederhana pun kita sebenarnya bisa bahagia. Ada pepatah mengatakan “Lebih baik menjadi orang bahagia daripada menjadi orang kaya, karena orang kaya belum tentu hidupnya bahagia”, dan begitulah makna dari kehidupan masyarakat suku baduy yang saya dapatkan Ketika saya mulai melangkahkan kaki saya di perkampungan suku baduy.

Baduy merupakan sebuah suku asli indonesia yang berasal dari Jawa barat, dan berlokasi di Kabupaten Lebak, Banten. Suku baduy memiliki keunikan tersendiri daripada suku-suku lain yang berada di Indonesia, Yaitu mereka dalam menjalani aktivitas dan juga kehidupan sehari-harinya tidak menggunakan apa yang namanya teknologi. Kehidupan mereka sangat bergantung sekali pada alam, karena menurut leluhur mereka jika hutan dirusak, maka tidak ada tempat manusia untuk tinggal di bumi ini. Jelas segala sesuatu mulai dari kebutuhan pangan, sandang, papan semua sebenarnya sudah tersedia di alam. Pada akhirnya, bagaimana manusianya bisa menjaga alam atau tidak.

Pada masyarakat Baduy di Desa Kanekes, hutan merupakan daerah yang paling disakralkan dan dilindungi oleh orang Baduy. Hal tersebut tidak lepas dari sistem kepercayaan animisme yang dianut oleh masyarakat Baduy yaitu Sunda Wiwitan. Inti dari kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak yang disebut juga pikukuh (peraturan adat) dengan konsep tidak adanya perubahan sedikit pun atau tanpa perubahan apapun yang berbunyi “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung”, yang berarti panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung. Makna pikukuh itu antara lain tidak mengubah sesuatu, atau dapat juga berarti menerima apa yang sudah ada.

Kehidupan yang dijalani oleh masyarakat baduy sangatlah sederhana, hampir sebagian penuh kehidupan sehari-hari mereka adalah berladang yang hasil utamanya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari mereka. Kehidupan masyarakat baduy tidak dapat dipisahkan dari padi yang dilambangkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri yang berarti “harus ditanam menurut ketentuan-ketentuan karuhun (nenek moyang mereka) dalam menanam padi.

Keunikan yang saya temukan Ketika saya berkunjung ke wilayah baduy adalah padi yang mereka tanam berada di lahan kering, sehingga hasil padi atau beras yang berasal dari ladang padi yang berada di baduy cenderung agak lebih keras. Padi yang dihasilkan dari perladangan yang berada di baduy dilarang untuk diperjual belikan, karena hal tersebut merupakan peraturan yang telah turun temurun dari nenek moyang mereka, sehingga mereka sangat menghargai sekali dengan keberadaan peraturan adat tersebut.

Masyarakat suku baduy dalam dan baduy luar memiliki beberapa perbedaan yang sangat mencolok dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Seniman Jodhi Yudhono, ketika melantunkan musikalisasi puisi pada perhelatan “Rayakan Perbedaan Baduy Kembali” di Bentara Budaya Jakarta, pada tahun 2016 silam, menyebut bahwa “warga Baduy Luar sudah mengenakan celana jeans, kaos sepak bola, hingga memanfaatkan ponsel cerdas. Sementara itu, bertolak belakanglah kehidupan warga Baduy Dalam. Mereka setia berjalan kaki tatkala melakukan perjalanan. Kejujuran selalu berada di barisan terdepan kehidupan warga Baduy Dalam.”.

Jika masyarakat adat baduy luar sudah diperbolehkan untuk menggunakan peralatan teknologi dalam kehidupan sehari-hari mereka, namun tidak untuk masyarakat suku baduy dalam, mereka dalam menjalani kehidupan sehari-harinya tidak menggunakan teknologi apapun bentuknya.

Seperti peralatan mandi mereka pun semua berasal dari alam peralatan mandi mereka berasal dari dedaunan dan akar tumbuhan yang berada di sana, tidak boleh menggunakan produk-produk yang berbau kimia, karena bagi mereka masyarakat baduy dalam hal tersebut sangat menentang peraturan adat mereka, bahwa mereka harus menjaga hutan mereka agar tetap lestari tanpa adanya campuran kimia.

Jika kita sebagai orang kota yang layaknya hidup enak dapat berdampingan dengan teknologi, kita bebas melakukan apapun dengan adanya kemudahan yang diberikan oleh teknologi. Tetapi tidak untuk mereka masyarakat baduy dalam, mereka sangat menghormati sekali aturan adat dari leluhur mereka.

Beberapa orang menganggap bahwa hidup menjadi orang baduy tidaklah enak, karena mereka harus hidup di tengah hutan tanpa adanya listrik dan juga teknologi yang masuk kesana. Tetapi Ketika saya mulai menginjakkan kaki saya di baduy dan mencoba hidup berdampingan dengan mereka hanya dengan semalam saja, saya dapat mengerti bahwa “Hidup bahagia bukanlah soal apa yang kita miliki dan seberapa bebas kita dalam menjalani kehidupan kita, tetapi kebersamaan dan sikap toleran yang tinggilah yang bisa membuat hidup kita terasa lebih bahagia”. Mungkin ucapan yang saya lontarkan diatas berarti bahwa “Dengan kehidupan yang sederhana, memiliki sikap toleran yang tinggi terhadap sesama, dapat membuat hidup kita bahagia walaupun ditengah kesederhanaan”.

Dwi Exsir Pamungkas
Dwi Exsir Pamungkas
Mahasiswa Antropologi Sosial, Universitas Diponegoro
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.