Dewasa ini kita masih dihadapkan oleh realitas hukum yang masih banyak tumpang-tindih dan tidak terlaksanakan dengan baik dalam kehidupan masyarakat. Sampai detik ini, hukum masih tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah.
Masih banyak kasus di negeri ini yang menyayat hati rakyat karena ketidakadilan hukum yang dijalankan. Keadilan atas kasus pencurian, pembunuhan, sampai kasus legendaris macam korupsi masih belum mendapatkan jalan temu.
Dan implikasinya rakyat kini seolah enggan menaruh kepercayaan lagi dan mengandalkan hukum milik pemerintah untuk mengontrol kehidupan mereka. Rakyat lebih getol menggunakan hukum rimba.
Prinsip tidak adanya tawar menawar hukum pada mereka yang bersalah. Mencuri, ya dihabisi selagi sempat ketika ketangkap, sebelum keduluan oleh aparat polisi yang datang menindak. Korupsi? Mungkin tidak berlaku. Selama kekuasaan dan uang masih digenggam, hukum cuma menjadi umpan pancingan untuk ikan di kolam yang keruh.
Kebebasan
Beberapa waktu belakangan kita cukup dihebohkan oleh berita perihal Suku Anak Dalam yang masuk Islam agar bisa mendapatkan KTP. Saya miris dan merasa sedih. Ternyata rakyat Indonesia sampai detik ini belum sepenuhnya bebas merdeka. Suku Anak Dalam dikehendaki untuk meninggalkan kepercayaan mereka dengan memeluk agama mayoritas Negara ini demi sebuah KTP.
Sungguh menggelikan. Saya kembali menanyakan esensi demokrasi yang diterapkan negeri ini. Inikah demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan rakyat itu? Inikah kekuatan pancasila yang disakralkan itu?
Apakah Suku Anak Dalam tak bertuhan? Ya, mereka tak bertuhan. Tapi mereka memegang teguh kepercayaan kepada apa yang memberikan mereka penghidupan. Alam yang selama ini menghidupi mereka diyakini menyimpan kekuatan yang bisa menyelamatkan dan menghancurkan mereka.
Mereka menaati hukum-hukum alam dengan menjaganya dari manusia-manusia serakah. Mereka percaya bahwa keserakahan justru akan mendatangkan petaka buruk pada kehidupan mereka. Tidakah kita bisa sedikit belajar melalui mereka yang mencintai Tuhan dengan menjaga alam ciptaan-Nya? Menjadi manusia dengan esensi sebenarnya.
Kenyataan bahwa mereka sebagai ‘orang rimba’ yang dalam pandangan awam sering dikonotasikan sebagai manusia yang liar adalah seratus persen tidak benar. Mereka tidak berpakaian, namun tindak kriminal macam perkosaan sama sekali tidak pernah terjadi.
Mereka tidak pernah sekolah formal atau sekalipun ikut dakwah pengajian untuk mengetahui dampak negatif dari perilaku yang dilakukan. Dan mungkin bila kita coba bandingkan bagaimana “keliaran” masyarakat saat ini dengan mereka tentu faktanya akan jauh berbeda.
Pejabat tinggi yang diikat oleh sumpah amanat pun kita temukan masih cacat untuk taat pada hukum yang berlaku. Sebab mengapa? Bila Suku Anak Dalam menaati hukum atau tata aturan yang ada di kehidupan mereka karena diikat oleh kekuatan suatu kepercayaan, maka ketidaktaatan hukum oleh masyarakat saat ini merupakan gambaran manusia yang telah melepas ikatan mereka pada Tuhan.
Keadilan untuk Suku Anak Dalam?
Mungkin kita sama-sama memahami tujuan pemerintah dengan ‘memaksa’ Suku Anak Dalam memeluk Agama Islam adalah agar diperolehnya persamaan hak dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Misal, dengan KTP, mereka diakui kewarganegaraannya. Dengan begitu mereka bisa mudah bekerja, memperoleh fasilitas kesehatan, mendapatkan akses pendidikan serta berkehidupan layak seperti yang lainnya. Tapi disisi lain, tindakan pemerintah tak lebih seperti ‘memenggal’ kebebasan hak asasi manusia Suku Anak Dalam ?
Kita manusia ‘yang berhukum’ (tahu dan mengerti hukum) seolah-olah sok menjadi manusia suci. Dan mereka yang tak mengerti hukum seolah-seolah patut dikafirkan. Dalam konsepsi saya di sini, Suku Anak Dalam yang tak beragama seperti tak memperoleh persamaan hak atas hukum. Agar bagaimana kemudian mereka mendapatkannya adalah dengan masuk memeluk suatu agama-dalam kasus ini agama islam.
Hukum dalam hal ini seperti bersifat dualisme. Yaitu di mana esensi kuasa atas berlakunya hukum yang seharusnya menjadi hak semua orang, seolah-olah hanya ada dan dapat dimiliki kepada mereka yang beragama. Lalu dimana netralitas hukum dalam membela hak-hak manusia Suku Anak Dalam?
Manusia sekarang sok menjadi penerjemah bahasa Tuhan yang dengan bebas mengkafirkan orang lain. Negara kini seolah kehilangan kontrol atas rakyatnya. Dan semangat kemerdekaannya dalam menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seolah hanya menjadi slogan semata.
Lalu bagaimana seharusnya hukum diberlakukan? Apakah kita harus beralih dan menyetujui pada hukum rimba sebagaimana demikian? Jawabannya tentu tidak. Hukum tersebut tentulah murni merupakan reaksi masyarakat yang merasa muak dengan hukum formal pemerintah dikarenakan ketidakefektifannya menyelesaikan masalah. Tidak juga kita menyatakan bahwa hukum yang diberlakukan pemerintah itu salah. Ia benar, dengan asasnya dalam menciptakan ketertiban dan keadilan bagi masyarakat.
Mengenai apakah kemudian dengan diakuinya Suku Anak Dalam sebagai warga Negara Indonesia “yang bertuhan” akan mendapatkan keadilan yang sama pada masyarakat lainnya? Tidak ada jaminan untuk itu.
Oleh karena hukum diciptakan dan dikendalikan oleh manusia, ia bisa menjadi boomerang yang melukai bila dipegang oleh sekelompok manusia yang mengharapkan keadilan dengan tujuan kepentingan pribadi. Entahlah.