Sabtu, April 26, 2025

Sukatani: Suara Kecil Perempuan yang Digilas Rezim

Nafiatul Ummah
Nafiatul Ummah
Presidium Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci), Aktivis Kopri PMII Cabang Ciputat, Wakil Sekertaris II Senat Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
- Advertisement -

Band Sukatani merilis album perdananya bertajuk Gelap Gempita pada 24 Juli 2023. Salah satu lagu yang populer dalam album ini adalah lagu Bayar Bayar Bayar. Lagu ini secara tajam mengkritik beban ekonomi rakyat kecil, sistem yang korup, dan ketidakadilan yang dibiarkan merajalela. Dengan gaya satire yang kuat, lagu ini menggambarkan realitas pahit yang dihadapi masyarakat bawah.

Namun, alih-alih disambut sebagai bentuk ekspresi kebebasan berpendapat, lagu ini justru menjadi bumerang bagi band Sukatani. Dit Siber Polda Jateng menanggapi lirik lagu tersebut dengan represif, menganggapnya kontroversial, dan menekan band agar meminta maaf. Tidak hanya itu, tekanan ini berlanjut hingga mencapai puncaknya dengan pemecatan vokalisnya yang berprofesi sebagai guru.

Kasus ini menunjukkan bagaimana kritik terhadap kekuasaan sering kali dibalas dengan pembungkaman.

Filsuf Prancis Voltaire dalam Candide (1759) pernah berkata, “Jika kau ingin tahu siapa yang mengendalikan hidupmu, lihatlah siapa yang tidak boleh kamu kritik.” Pernyataan ini terasa relevan dalam kasus Sukatani.

Negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi semestinya memberi ruang bagi kritik sosial. Akan tetapi realitas menunjukkan bahwa ekspresi kejujuran kerap kali dibungkam, terutama jika menyentuh kepentingan kelompok elite yang berkuasa. Dan kasus ini memperlihatkan bahwa demokrasi di Indonesia masih bersifat semu.

Kritik Sosial yang Dibungkam

Lirik Bayar Bayar Bayar menggambarkan bagaimana rakyat kecil terjebak dalam sistem yang tidak berpihak kepada mereka. Alih-alih memberi perlindungan dan kesejahteraan, sistem justru membebankan biaya tambahan dalam berbagai aspek kehidupan, seakan-akan rakyat harus “membayar” untuk hak-hak dasar mereka.

Bukannya menanggapi kritik dengan refleksi, Dit Siber Polda Jateng memaksa band Sukatani untuk menarik lagu dari platform digital dan mempublikasi permintaan maaf. Lebih kejam lagi, vokalis band dipecat dari berprofesi utamanya sebagai guru dengan alasan yang tidak masuk akal: jilbab.

Tindakan ini memicu amarah dan justru memperbesar gelombang solidaritas. Lagu ini malah semakin sering dinyanyikan dalam aksi demonstrasi mahasiswa, membuktikan bahwa suara rakyat tidak mudah dibungkam.

Seni sebagai Senjata Perlawanan

Kasus ini mengingatkan kita pada sejarah panjang pembungkaman kritik sosial di Indonesia. Dari pembredelan media pada era Orde Baru hingga penghilangan paksa aktivis seperti Wiji Thukul. Rezim yang takut terhadap suara rakyat cenderung menggunakan aparatus negara untuk membungkam individu yang menyuarakan kebenaran.

Seni dan musik, sebagai alat ekspresi, sering kali menjadi ancaman bagi otoritarianisme karena mampu membangkitkan kesadaran kolektif rakyat.

- Advertisement -

Emma Goldman dalam bukunya Anarchism and the Strategy of the New Social Movements (1910) menyatakan bahwa seni, musik, dan ekspresi diri adalah alat utama perlawanan terhadap ketidakadilan.

Jika negara mulai mengontrol seni, maka kita sedang bergerak menuju otoritarianisme terselubung.

Refleksi terhadap Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat

Sejauh mana demokrasi di Indonesia benar-benar melindungi kebebasan rakyat? Kasus Sukatani menunjukkan bahwa kritik melalui seni dapat berujung pada tekanan dan intimidasi. Ketika seseorang dipaksa meminta maaf atas karya seninya, itu bukan lagi sekadar klarifikasi, melainkan bentuk persekusi terhadap kebebasan berpendapat.

Dalam One-Dimensional Woman (2009), Nina Power mengkritik bagaimana kapitalisme dan patriarki bekerja sama dalam membatasi kebebasan individu, terutama perempuan.

Pemecatan vokalis band Sukatani bukan hanya bentuk penghukuman personal, tetapi juga sinyal bahwa mereka yang berani melawan arus kekuasaan akan menghadapi konsekuensi yang sama.

Hal ini adalah bagian dari mekanisme kontrol terhadap individu, terutama perempuan, dalam struktur kekuasaan. Memberi pesan bagi semua perempuan bahwa ada batasan terhadap apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan dalam struktur kekuasaan.

Kasus ini bukanlah tanda stabilitas negara, melainkan bukti kepanikan atas semakin kuatnya suara rakyat. Sebagai negara yang mengklaim demokrasi, seharusnya memberi ruang bagi kritik, bukan menghukum mereka yang berani bersuara.

Negara yang benar-benar demokratis tidak akan takut terhadap kritik, karena kritik adalah esensi dari pemerintahan yang sehat. Aparat negara, di sisi lain, seharusnya lebih reflektif terhadap kritik yang disampaikan melalui seni.

Sebuah pemerintahan yang sehat tidak akan membungkam kritik, melainkan menjadikannya bahan evaluasi demi perbaikan. Jika aparat terus menggunakan intimidasi sebagai alat untuk meredam suara rakyat, mereka justru semakin memperlihatkan kelemahan sistem yang mereka pertahankan.

Lagu Bayar Bayar Bayar bukan sekadar karya seni, tetapi bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang dirasakan rakyat kecil. Rakyat harus terus mengadvokasi kebebasan berpendapat, termasuk melalui media sosial dan aksi kolektif. Masyarakat sipil dapat memberikan dukungan dengan menyebarluaskan kasus ini agar tidak tenggelam.

Nafiatul Ummah
Nafiatul Ummah
Presidium Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci), Aktivis Kopri PMII Cabang Ciputat, Wakil Sekertaris II Senat Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.