Pada tahun 2045, bonus demografi di Indonesia diproyeksikan akan berakhir. Indonesia akan memasuki “Ageing Population”, yaitu situasi di mana usia masyarakat Indonesia yang tidak produktif lebih banyak dibandingkan dengan yang produktif. Saat ini Indonesia sedang mengalami bonus demografi, dan ini dapat dijadikan sebagai “landasan pacu” bagi Indonesia untuk memajukan perekonomian dalam negeri.
Fenomena bonus demografi biasanya dialami oleh negara berkembang. Bonus demografi memiliki piramida kependudukan berjenis limas. Piramida kependudukan berbentuk limas ini menunjukkan bahwa penduduk pada negara tersebut didominasi oleh bayi, anak-anak, dan remaja yang merupakan generasi penerus suatu bangsa. Menurut Badan Keluarga Berencanan Nasional (BKKBN), Indonesia akan mengalami bonus demografi pada rentang waktu antara 2020-2030.
Pada saat itu jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai sekitar 70 persen, sedangkan sisanya 30 persen merupakan penduduk yang tidak produktif. Persentase ini akan semakin ideal ketika memasuki masa puncak antara tahun 2028-2030. Setelah itu, komposisi mulai kembali menjauh dari persentase ideal. Oleh sebab itu, bonus demografi hanya akan terjadi sekali dalam sejarah perjalanan sebuah bangsa, tentu bagi Indonesia juga.
Menurut Gribble dan Bremner (dalam Hayes 2015), bonus demografi bisa menjadi peluang untuk mempercepat percepatan pertumbuhan ekonomi suatu negara yang diawali dari perubahan struktur demografi penduduk, dicirikan dengan menurunnya angka kelahiran dan angka kematian penduduk. Sumber daya manusia (SDM) sangat berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi suatu bangsa, khususnya Indonesia sebagai negara berkembang, dan modal dasar pembangunan adalah SDM yang berkualitas.
Kendati demikian, bonus demografi bisa menjadi pedang bermata dua, dapat menjadi berkah atau bencana untuk bangsa Indonesia. Artinya dalam menghadapi bonus demografi kita harus kembali kepada SDM, kualitas SDM sangat menentukan arah bangsa ini. Jika SDMnya berkarakter sehat, cerdas, dan produktif tentunya akan membawa keberkahan dan kesejahteraan.
Semakin melimpahnya SDM usia produktif akan berpengaruh positif bagi bangsa Indonesia, karena tenaga kerja berkualitas semakin banyak dan berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan daerah maupun nasional yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun jika kondisi yang terjadi sebaliknya, Indonesia akan mengalami bencana demografi, yaitu orang-orang di usia produktif menjadi pengangguran mengingat lapangan kerja yang terbatas dan tingginya persaingan antar pencari kerja. Jika hal ini tidak dikelola dengan baik akan meningkatkan angka pengangguran dalam jumlah besar dan semakin menambah beban negara. Imbasnya, kemiskinan akan meningkat dan pada akhirnya dapat meningkatkan angka kriminalitas yang mengancam keamanan dalam negara.
Kenapa Harus Milenial?
Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan Generasi Milenial akan menjadi generasi mayoritas dalam struktur demografi di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia selama beberapa tahun mendatang terus meningkat, yaitu dari 265 juta pada tahun 2018 menjadi 282 juta pada tahun 2024 dan mencapai 317 juta pada tahun 2045.
Lantas siapa Generasi Milenial itu? Jika merujuk pada Generation Theory yang dicetuskan oleh Karl Mannheim pada tahun 1923, Generasi Milenial adalah generasi yang lahir pada rasio tahun 1980 sampai dengan 2000. Generasi Milenial juga disebut sebagai generasi Y. Istilah ini mulai dikenal dan dipakai pada editorial koran besar Amerika Serikat pada Agustus 1993.
Menurut data Bank Dunia, pada tahun 2018 Indonesia masih tergolong negara berpendapatan menengah ke bawah dengan pendapatan per kapita sebesar US$4.041. Untuk memiliki taraf hidup yang tinggi, Indonesia perlu memiliki pendapatan per kapita sebesar US$12.400, yang artinya ekonomi Indonesia harus digenjot hingga tumbuh lebih dari 300 persen!
Dengan populasi Generasi Milenial yang melimpah, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk menjadi negara berpendapatan tinggi. Milenial merupakan generasi yang berada dalam usia produktif dan akan menempati berbagai posisi strategis di Indonesia. Artinya, Milenial akan menjadi pemain utama ekonomi Indonesia dalam bonus demografi tahun 2025-2030. Lalu sejauh mana kesiapan mereka?
Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan BPS (2018), tingkat pendidikan dan kesehatan Generasi Milenial lebih baik dibanding generasi lainnya. Rata-rata lama sekolah Generasi Milenial yaitu 10,04 tahun, sedangkan rata-ata lama sekolah Generasi X yaitu 8,07 tahun dan Generasi Baby Boom plus Veteran yaitu 4,95 tahun.
Angka melek huruf Generasi Milenial di angka 99,39 persen, sedangkan angka melek huruf Generasi X yaitu di angka 96,44 persen dan Generasi Baby Boom plus Veteran di angka 80,91 persen. Sedangkan untuk kondisi kesehatan, rata-rata lama sakit dalam sebulan untuk Generasi Milenial hanya berkisar 4,74 hari, sedangkan Generasi X sekitar 5,96 hari dan Generasi Baby Boom plus Veteran sekitar 8,30 hari.
Kaum Rebahan?
Generasi Milenial di-stereotipkan dengan kaum rebahan. Sayangnya, stereotip yang dibangun adalah stereotip negatif seperti malas, tidak produktif, melewatkan kesempatan, tidak mempunyai target, serba instan, bergantung pada teknologi, mengerjakan sesuatu tanpa keringat, dan tidak menghasilkan apa-apa.
Jangan salah, menurut Yoris Sebastian dalam bukunya Generasi Langgas Millenials Indonesia, ada beberapa keunggulan dari Generasi Milenial, yaitu ingin serba cepat, mudah berpindah pekerjaan dalam waktu singkat, kreatif, dinamis, melek teknologi, dekat dengan media sosial, dan sebagainya.
Bahkan menurut Youth Lab (sebuah lembaga studi mengenai anak Muda Indonesia) yang melakukan penelitian di lima kota besar Indonesia (Jakarta, Bandung, Makassar, Medan, dan Malang). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Milenial memiliki karakter yang jauh lebih kreatif dan informatif. Generasi tersebut juga memiliki cara pandang yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
Sembari rebahan, faktanya Milenial memiliki kemampuan multi-tasking, seperti belajar, belanja, bersosialisasi di satu waktu yang sama. Selain itu, sambil rebahan Milenial juga mampu menjalankan bisnis secara online. Geliat Milenial berwirausaha cukup tinggi. Munculnya berbagai entrepreneur muda di Indonesia pun, kian memotivasi mereka untuk mulai berbisnis. Hasil survei menunjukkan bahwa 69,1 persen Milenial berminat untuk membuka usaha, artinya 7 dari 10 Milenial memiliki jiwa entrepreneurship.
Sedangkan penelitian Manpower Group menunjukkan bahwa Milenial bekerja lebih keras dari generasi sebelumnya. Sebanyak 73 persen Milenial bekerja 40 jam seminggu dan seperempatnya bekerja lebih dari 50 jam seminggu. Selain itu, sebanyak 26 persen di antaranya mempunyai lebih dari satu pekerjaan.
Berdasarkan data-data tersebut, maka stereotip negatif tentang Milenial sebagai kaum rebahan tidak sepenuhnya benar. Jadi, rebahan sebentar tidak menjadi masalah sembari melakukan aktivitas lain dan bermanfaat. Lagi pula beda zaman beda orangnya.
Ingat, wajah bangsa Indonesia mendatang ditentukan oleh kita. Iya kita Generasi Milenial. Kalau lelah ya rebahan sejenak, lalu berkarya lagi! Santuy