Kamis, April 25, 2024

Sudahkah Anda Makan Hari Ini?

Ahmad Kholikul Khoir
Ahmad Kholikul Khoir
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

Tangis, kecewa, takut, gelisah, galau adalah perasaan yang pasti pernah kita alami. Tak ada yang tak pernah merasakannya. Tak ada yang bisa lepas dari penderitaan itu. Namun demikian, kebanyakan dari kita mengabaikannya dan/atau tak menyadarinya.

Mungkin ada yang telah menyadari (aware) itu, namun tak benar dalam menghadapinya. Kebanyakan dari kita saat dirundung perasaan negatif cenderung menghindarinya atau menekannya (repress) ke dalam diri. Kita cenderung ingin menanganj penderitaan itu dengan berpergian, makan-makan besar dan pelbagai mekanisme fisik lainnya.

Apakah perasaan itu hilang dengan penanganan semacam itu? Boleh jadi justru memperkeruh dan akan menjadi bom waktu di masa mendatang. Pasalnya, jika pikiran kita sudah tak mampu menampung hal negatif itu, maka muaranya adalah depresi dan tindakan detruksi. Menyedihkan bukan?

Semua itu dimulai dengan kesalahan persepsi kita pada arti penderitaan itu sendiri. Kita sangat tidak ingin diri kita tertimpa penderitaan. Sebaliknya, kita sangat ingin ditimpa berlipat-lipat dan bertumpuk-tumpuk kebahagiaan. Padahal kebahagiaan tak dapat lepas dari penderitaan. Penderitaan adalah sisi gelap dari Sang Rembulan.

Maka coba kalian tengok bunga yang ada di kebun kalian. Coba kalian cari i’tibar dan hikmah dari keindahan bunga itu. Bagaimana bunga yang merekah indah itu bisa tercipta? Mengapa ia bisa menjadi indah sedemikian rupa? Apa saja elemen bunga itu? Sadarkah anda jika bunga yang indah itu hadir oleh karena lumpur yang hitam dan berbau menyengat itu?

Iya. Maka demikian pula kebahagiaan teman. Kebahagiaan tak dapat tercipta tanpa adanya penderitaan yang kalian rasakan sekarang. Jika sekarang kalian menderita, bukanlah akhir dari segalanya, tapi itu akan menjadi bunga yang harum namanya. Meski kalian pula harus sadar bahwa bunga itu pula akan layu dan kembali menjadi lumpur.

Ya…, menderita lagi dong? Tak apa. Bukankah rontoknya bungamu akan menjadi pupuk untuk merekahnya bunga yang baru? Maka dari itu teman, tidak tepat jika kita menekan atau menghindar dari penderitaan itu. Yang harus kita lakukan adalah memeluknya. Menjadikan penderitaan itu menyatu dengan diri kita.

Tapi bukankah penderitaan itu hal yang negatif, masak harus kita rangkul? Teman, bukankah magnet tidak akan menjadi magnet tanpa pertemuan kutub negatif dan positif? Maka begitu pula dirimu, kamu tak menjadi manusia sejati, jika kau tak pertemukan penderitaan dengan kebahagiaan.

Sayangnya, lembaga pendidikan kita tak ada yang mengajarkan bagaimana menghadapi penderitaan itu. Lembaga pendidikan kita cenderung mendidik anak muridnya untuk menjadi karyawan dan usahawan yang sukses saja. Sedang, parameter sukses adalah banyaknya gelar akademis dan properti yang mewah saja.

Maka lihatlah, korupsi menggurita. Perampokan dan berbagai tindak keserakahan mendominasi bumi kita sekarang. Lebih jauh lagi, dampaknya adalah bencana banjir, longsor dll. Bahkan, jika boleh ekstrem lagi, parahnya dan/atau belum selesainya virus Corona ini adalah akibat keserakahan manusia.

Maka tak ada jalan lain untuk kita, selain memahami lebih dalam tentang diri kita. Tentang siapa kita sebenarnya. Apakah kita sudah menjadi manusia, atau masih menjadi hayawanun nathiq? Tidak heran jika jalan untuk menganali Tuhan adalah dengan mengenali diri sendiri. Sudah kah anda kenal dirimu?

Tapi sepertinya penulis terlalu idealis yah? Yaudah saya ganti aja pertanyaannya, Sudahkah anda makan hari ini?

Ahmad Kholikul Khoir
Ahmad Kholikul Khoir
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.