Minggu, November 24, 2024

Suara Perempuan yang Lantang untuk Bumi

saskia soeratnoto
saskia soeratnoto
Mahasiswi pasca sarjana ilmu budaya yang menyukai menulis dan melukis
- Advertisement -

Menjelang akhir Desember kita merayakan Hari Ibu. Peristiwa dalam dua tahun terakhir memberi saksi. Perempuan berjuang tak hanya untuk anak-anaknya saja, dengan keyakinannya ia bertaruh nyawa. Membela kelangsungan hidup menjadi “ibu” bagi bumi. Namun, benarkah realitas sosial dan budaya kita benar-benar memberinya tempat?

Pada Maret 2016 warganet Indonesia gaduh. Melanie Subono, seorang selebritis, seniman musik dan aktivis sosial mencantumkan di akun instagram-nya bahwa ia diancam hendak ditembak dalam sebuah konser musik akbar. Dan hal seperti ini, teror dan ancaman biasa ia lakoni.

Ancaman serius kali ini pada Melanie karena ia mengenakan kaos bertuliskan “Bali Tolak Reklamasi”. Yang tentu saja sebagian “mafia laut dan pesisir” merasa terusik, melancarkan teror pada Melanie. Netizen bereaksi, mereka beramai-ramai mendukung Melanie tapi belum menyelesaikan akar masalah: sejak tahun 2014 teluk Benoa belum benar-benar terbebas.

Isu ini tetap menggelinding dan menimbulkan kontroversi, serta sengaja digaungkan oleh aktifis dan pejuang lingkungan hidup. Ancaman kerusakan ekologis nyata didepan mata dan seluruh ekosistem, tak terkecuali, nelayan-nelayan dan tetua adat di Bali melawan dengan lantang.

Tahun 2017 perkara perusakan lingkungan hidup makin menyeruak tak terkendali. Media online Tempo, mengutip kerja-kerja riil kaum perempuan. Seperti Koordinator Program Solidaritas Perempuan (SP), Dinda Nuurannisaa Yura yang mengutarakan proyek reklamasi berdampak negatif bagi nelayan perempuan dan keluarganya.

“Proyek Reklamasi bukan hanya hanya terjadi di Jakarta, di berbagai daerah pesisir yang ada proyek di Indonesia seperti Lampung, Makassar, Kendari, dan Palu,” ujar Dinda saat menjadi pembicara dalam diskusi Tolak Reklamasi di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada Oktober 2017 lalu. Dinda mewawancarai para perempuan penangkap kerang di Teluk Jakarta yang membaik kondisinya hidupnya segera setelah penghentian proyek reklamasi diterapkan.

Yang paling memprihatinkan dan dramatis tentunya ada pada nasib Patmi yang terjadi pada beberapa bulan sebelumnya, bulan Maret 2017. Perempuan sederhana dari Kendeng, Jawa Tengah, yang melakukan aksi menyemen kaki di depan Istana Merdeka untuk memprotes izin bagi pabrik semen di wilayahnya.

Ia wafat karena sakit, malam hari seusai menggelar aksinya dengan perempuan-perempuan Kendeng lainnya. Tragedi yang menimpa Patmi segera menjadi viral di media sosial sebagai “Kartini Kendeng” selama berbulan-bulan. Ikon perlawanan perempuan pada kekuasaan.

Perjuangan Patmi yang menjadi martir untuk pejuang lingkungan hidup ini benar-benar menohok benak sekaligus kalbu. Para perempuan itu benar-benar menjadi Ibu tidak untuk anak-anak dan keluarganya saja, namun ibu bagi “tanah-kampungnya” di Kendeng sana, atau simbol perlawanan untuk seluruh Indonesia.

Ekofeminisme dan Realitas Sosial Budaya 

Ilustrasi esai dari seniman Bali, Citra Sasmita diatas, dengan judul Old Mountain and Imaginary Pillars, Mixed media on canvas (Acrylic and oil), 2017 bisa dibayangkan bahwa bagaimana beratnya peran perempuan dengan kompleksitasnya hari ini dengan identitas politiknya.

- Advertisement -

Terutama, peran kongkritnya dalam ranah sosial, ikatannya yang mendalam sejak lama, dalam bayang-bayang tradisi dan kultur serta keyakinan spiritualitas kita. Simbolisasi perempuan adalah sebagai “ibu sekaligus bumi” yang intim merelasikan raga perempuan dengan gunung.

Kekerasan dan perlawanan dalam konflik sumber daya alam dan lingkungan hidup, dalam pengalaman seorang perempuan, sering diikatkan dengan kajian feminisme oleh para peneliti dan ilmuwan yang bergelut didalamnya. Yang sejatinya, menurut mereka disana ada ambiguitas yang terpapar atas diri para perempuan. Dari satu sisi, pikiran-pikiran feminitas yang dikaitkan dengan tradisi dan kultur sejalan denghan konsep Ibu yang biasanya transenden, perwujudan alam.

Namun dalam kenyataan keseharian secara laten mengerami potensi penindasan maupun marginalisasi posisi perempuan di masyarakat bernafaskan patriarki. Raga perempuan dipandang memiliki potensi bahaya membuka energi patriarki yang terselubung dalam dialog dikotomi yang feminin dan yang maskulin.

Raga perempuan dan seluruh ekspresinya, seperti yang dilakukan Melanie Subono dengan kaosnya maupun Patmi dengan kisah wafatnya segera setelah usai menyemen kakinya di depan Istana Negara merupakan energi tarik-menarik.

Atau malahan pendobrakan raga perempuan dengan spiritualitas simbol Alam atau tradisi dengan budaya yang di zaman ini masih “mengungkung” perempuan dalam jenjang masyarakat patriarki.

Melanie Subono, jelas-jelas telah membebaskan dirinya, sebagai sebuah contoh yang ia tak lagi membedakan dalam kesadaran dirinya, seperti apa yang disebutkan ide-ide dari pakar ekofeminisme, Karen J. Warren, yang melihat penindasan terhadap perempuan dan dominasi atas alam pada prinsipnya saling bertautan.

Selain itu, baik Patmi maupun Melanie, secara individu dan kelompok (dalam solidaritas Kendeng) memprotes ketidakadilan yang dialami perempuan di dalam masyarakatnya secara sekaligus.  Melanie Subono, sebagai contoh dengan berani mengabaikan ancaman atau peringatan dari seorang utusan dari pengembang (developer) yang akan me-reklamasi teluk Benoa.

Ancaman penembakan adalah suara maskulinitas, dan ia tidak takut. Melanie dalam posisi ini  ingin “membinasakan” ketidak adilan gender; yang kemudian direspon warga net untuk terus melawan. Kaos dan teks “Bali Tolak Reklamasi” menggema yang kemudian menjadi suara perempuan untuk lingkungan hidup.

Sedangkan Patmi, lebih dramatik, karena ia bukan public figure, dengan sangat sengaja ia berani bersuara sangat nyaring yang bahkan nyawanya “dikorbankan” di depan simbol-simbol negara. Yakni Istana Presiden, yang jelas-jelas representasi dari kekuatan patriarki dalam masyarakat kita.

Melanie maupun Patmi, membuka mata kita lebih nyalang, bisa jadi mereka adalah simbol petarung perempuan “paling nyaring suaranya” melawan penindasan terhadap ide-ide lama bahwa ibu, perempuan dan  alam yang disakralkan sejalan dengan aksi-aksi riil dalam peneguhan kesetaraan struktur perempuan di masyarakat.

Aksi mereka meninggalkan pesan: perjuangan perempuan jangan sampai dinina bobokan romantisisme pun esensialisme berupa tradisi dan kultur, yang menyetubuh dalam diri kita, selayaknya itu dimanifestasikan dalam realitas keseharian.

saskia soeratnoto
saskia soeratnoto
Mahasiswi pasca sarjana ilmu budaya yang menyukai menulis dan melukis
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.