Rabu, April 24, 2024

Suara Digital, Suara Rakyat! Masa Sih?

Satriyo Pamungkas
Satriyo Pamungkas
Satriyo Pamungkas, Praktisi IT yang tinggal bahagia bersama keluarganya di Klaten dan kadang di Jakarta.

Perkembangan teknologi informasi saat ini sudah tak terbendung lagi. Para penggunanya menjadi konstanta politik yang dominan saat ini. Menurut data hasil survei dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) selaku badan penyelenggara Internet di Indonesia, menyebutkan bahwa sebanyak 143,26 juta jiwa dengan komposisi 49,52% di usia 19-34 tahun.

Sebuah segmen pemilih yang sangat gemuk, juga bila dibandingkan dengan usia rata-rata penduduk Indonesia adalah 28,6% pada tahun 2016, termasuk di rentang usia tersebut. Tentu saja statistika dari klasifikasi pemilih akan dapat diurai lebih dalam dan detail lagi bila merujuk pada sebuah daerah pemilihan (dapil).

Sehingga wajar bila ada yang menyimpulkan bahwa keberhasilan kampanye digital berimbas secara langsung pada hasil kampanye nyata. Salah satu contoh nyata adalah kemenangan tidak terduga dari Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat.

Meskipun beberapa hal yang terkuat terkesan negatif seperti skandal penambangan data melalui media sosial Facebook yang dikenal sebagai Cambridge Analytica Scandal, di mana tim digital Trump mampu memperoleh database calon pemilih lengkap dengan analisa psikologinya sehingga hasilnya dapat digunakan secara langsung, fokus pada segmen pemilih yang memang didapatkan dari hasil analisa data tersebut.

Lain dengan pendekatan kualitatif yang lazim dilakukan pada kampanye pemilihan di Indonesia, kampanye digital bersandar pada pendekatan kuantitatif, dimana setiap hasil analisa dari data yang didapat merupakan suatu metrik yang dapat diukur dengan angka. Pendekatan kampanye digital berdasarkan data ini adalah salah satu solusi, bila tidak satu satunya solusi yang mampu menjawab kebutuhan dari kandidat terpilih yang menginginkan efisiensi biaya serta upaya yang fokus dan dapat diukur.

Pecahkan Kotak Suara dengan Palu yang berbeda

Seperti layaknya sebuah medan pertempuran, hal pertama yang pasti dilakukan oleh kontestan politik adalah menyusun, minimal “Strength & Weakness”, untuk masing-masing kontestan politik yang berlaga pada sebuah pemilihan (daerah, legislatif, maupun presiden). Kerangka analisa yang umum juga dilakukan adalah menggunakan teknik SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, & Threat). Hal yang mungkin dicermati dalam konteks digital adalah analisa SWOT ini dalam ranah kampanye digital sebagai contoh :

  • Strength: Media sosial atau platform internet dimana kontestan mempunyai pengikut (followers) terbanyak.
  • Weakness: Media sosial atau platform internet dimana kontestan mempunyai pengikut (followers) paling sedikit.
  • Opportunity: Media sosial platform internet selain yang sudah dimiliki, dimana segmen pemilihnya banyak berada di platform tersebut.
  • Threat: Media sosial atau platform internet atau digital footprint yang bisa digunakan sebagai materi kampanye hitam oleh lawan.

Hasil akhir dari seorang kontestan politik dalam konteks politik adalah mendulang suara sebanyak mungkin. Dan dalam fase terakhir pemilihan, terdapat istilah yaitu Get out Vote, di mana saat ini belum ada yang mengalahkan metode canvassing, menurunkan agen-agen ke area kotak suara untuk memastikan calon suara (yang bakal memilih kontestan tersebut) tidak berubah ke pihak kontestan lain. Ini adalah fase dimana tim sukses menggunakan senjata pamungkasnya, mempertaruhkan setiap rupiah yang tersisa untuk memastikan kontestan yang terpilih.

Apa saja faktor terpenting dalam marketing digital untuk politik? Seorang profesor bernama Danny P Wallace, pernah menjelaskan sebuah konsep yang bernama DIKW pryramid. Piramida yang merepresentasikan sebuah hubungan rasional antara Data, Information, Knowledge, & Wisdom, dimana relasi ini sangat efektif dan efisien dalam membuat sebuah keputusan strategis.

Dalam konteks pemilihan, maka untuk merumuskan sebuah strategi dan taktik yang efektif, maka diperlukan sebuah proses penyaringan dari data yang tersebar, diolah menjadi informasi yang bisa berguna, dan menjadi knowledge yang cukup bisa dipahami dalam konteks pemilihan. Sehingga wajar, bila dikatakan bahwa pondasi dari strategi adalah data terkumpul yang dianalisa. Sayangnya, pendekatan kuantitatif ini masih jarang diimplementasikan dalam khasanah politik timur yang kental dengan pendekatan kualitatif.

Platform Kampanye Digital

Data-data dari calon pemilih tentu saja saat ini sudah berserakan di internet, berbagai macam footprint sudah dengan sukarela terekam di dunia internet, terlebih lagi media sosial.  Berbagai macam plaftorm yang sangat mungkin digunakan untuk mendulang data ini antara lain :

  1. Media Sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dsbnya).
  2. Website
  3. Mobile Apps
  4. External Tool
  5. External Data Collections

Ketiga platform pertama adalah platform yang bisa digunakan bila ingin mendapatkan data yang lebih detil dan mendalam. Media sosial seperti Facebook, lebih tepatnya lagi fitur iklan yang mereka miliki sudah sedemikian cerdas mampu menargetkan “audience” atau target pemilih yang dikehendaki.

Tentu saja Facebook bukanlah platform pendulang data, tapi dengan menggunakan platform iklan mereka, terdapat beberapa data yang bisa dimanfaatkan oleh kontestan dan jalur distribusi informasi yang terukur. Dan bahwa Facebook adalah sebuah entitas besar, maka fleksibilitas yang diberikan sudah mempunyai standar tertentu.

Skandal sejenis dengan Cambridge Analitica adalah salah satu bukti bahwa platform ini adalah sebuah platform yang sangat potensial untuk dieksplorasi dan dieksploitasi dengan cara tertentu (dalam hal Cambridge Analitica teknik eksploitasi yang dipilih sudah diluar standar etika, pun standar yang diberikan oleh Facebook).

Website dan Mobile apps yang fokus tentang sang kontestan pada hal ini bisa menjadi pendulang data yang lebih dalam karena dua hal. Pertama karena platform ini adalah milik sang kontenstan, maka tidak ada standar dari pihak lain (seperti dalam penggunaan media sosial).

Hal kedua adalah sudah tersedianya perangkat lunak analisa baik yang berbayar maupun tidak berbayar. Meskipun begitu kedua platform ini tidak bisa dibilang efektif karena untuk mendapatkan pengunjung asli ke website maupun pendownload apps tidak semudah yang dibayangkan. Diperlukan langkah-langkah tertentu untuk mengefisienkan kedua platform ini.

Di lain pihak, kedua platform terakhir bisa dianalogikan kita “outsource” kan masalah kampanye digital ini ke pihak lain. Ada pelbagai tool di luar sana yang bisa digunakan untuk mendulang dan menganalisa data, pun kontestan dapat membeli data dari pihak lain.

Masalah utama dari pendekatan ini tiada lain adalah tentang validitas dari data yang didapatkan. Pun data yang didapatkan memang valid, kohesivitas antara data-data ini dalam agenda kontestan akan sangat berkurang bila dibandingkan dengan metode-metode sebelumnya yang sudah disebutkan.

Kalau Donald Trump Bisa, Siapapun juga Bisa!

Ada berbagai analisa tentang kemenangan mengejutkan dari seorang Donald Trump. Hal-hal yang berkaitan dengan kampanye digital yang dia lakukan yang bisa diambil antara lain: Pertama, totalitas. Dibandingkan dengan lawannya, Hillary Clinton yang menghabiskan dana berpuluh juta dollar untuk melakukan iklan pada media konvensional, Trump terlihat jauh lebih total dalam hal kampanye digital.

Hal itu tidak melulu tentang besaran dana yang dianggarkan. Dari pemilihan tim yang tepat, di bawah radar (tidak ada yang tahu tentang entitas Cambridge Analytica sebelum kasusnya terkuak). Kreatifitas tinggi ( berbagai format iklan, puluhan ribu per hari diproduksi dalam fase tengah kampanye Trump). Cerdik dalam menangkat peluang (Opportunity di sini adalah eksploitasi celah dalam facebook meskipun secara etika bukan hal yang baik, tapi secara hukum masih dalam area abu-abu).

Kedua, genuine. Pribadi Trump yang cenderung blak-blakan sangat kental dan dilakukan tanpa batas di media sosial yang dia miliki. There is no bad marketing. Meskipun banyak kritik tentang kepribadiannya, kepribadiannya yang asli dan minim penyaringan terlihat di media Twitter, dimana Trump sendiri yang mengelola.

Ketiga, pola pikir yang tepat tentang kampanye digital. Bahwa Kampanye digital semata digunakan sebagai leverage, untuk mendapatkan vantage point. The Man behind the gun serta eksekusi dalam kampanye nyata pada akhirnya yang menentukan hasil akhir dalam fase Get out Vote.

Keempat, begitu hasil analisa mendapatkan segmen swing voters mempunyai angka yang signifikan, tim sukses secara fokus membuat strategi khusus untuk mendapatkan suara dari segmen tersebut.

Tentu saja, strategi-strategi yang digunakan Trump tidaklah bisa ditiru dalam konteks pemilihan di Indonesia. Harus disadari bahwa secara sistem politik yang berbeda, audience yang berbeda maka pendekatannya pasti berbeda.

Demikian, bila ada hal yang bisa dilakukan dalam konteks Pemilu di Indonesia, maka sangat diperlukan akulturasi budaya dari sisi setiap metodenya.

Satriyo Pamungkas
Satriyo Pamungkas
Satriyo Pamungkas, Praktisi IT yang tinggal bahagia bersama keluarganya di Klaten dan kadang di Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.