Golongan putih (Golput) atau perilaku non-voting (orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya) masih menjadi bayang-bayang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019. Padahal, pesta demokrasi ini akan diselenggarakan kurang lebih 2 (dua) bulan lagi. Bahkan, beberapa pengamat politik dan hukum memprediksi bahwa suara golput akan menguat.
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjelaskan bahwa tren partisipasi pemilih di Indonesia cenderung terus menurun sejak Pemilu 1999 hingga (Pemilihan Presiden) Pilpres 2014. Tingkat partisipasi pada Pemilu 1999 mencapai 92,74%, atau hanya sekitar 7,06% yang tidak menggunakan hak pilihnya.
Sedangkan pada Pilpres 2014, partisipasi pemilih menurun drastis hanya sekitar 69,58%, atau sekitar 30,42% yang tidak menggunakan hak memilihnya. Pemilih yang tidak menggunakan haknya pada Pemilu 1999 hanya sekitar 8.320.010 suara. Sedangkan pada Pemilu 2014 mencapai sejumlah 46.252.097 suara. Terdapat kenaikan angka golput hampir 6 kali lipat selama hanya kurun waktu 15 tahun.
Realitas tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme atau bahkan ketidakpercayaan (distrust) di kalangan pemilih. Padahal di saat yang sama, arus demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat sedang marak-maraknya. Sehingga, tidak salah apabila Anthony Giddens mempertanyakan legitimasi wakil rakyat dalam bukunya Runaway World, How Globalisation is Reshaping Our Lives mengemukakan, “haruskah kita menerima wakil-wakil rakyat di parlemen (badan-badan demokrasi) yang minim legitimasi di saat arus demokrasi sedang marak?”.
Lemahnya Regulasi
Arie Sujito mengungkapkan bahwa Golput dapat terjadi di kalangan masyarakat didasarkan oleh beberapa hal: Pertama, alasan teknis administratif yaitu karena tidak disengaja oleh masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena lupa, belum terdaftar sebagai pemilih, dan halangan darurat yang tidak dikehendaki.
Kedua, alasan ketidakpedulian politik atau apatisme. Hal ini terjadi karena berpendirian bahwa pemilu bukanlah sesuatu yang berkaitan langsung dengan kepentingan dirinya. Ketiga, semangat kesengajaan yang biasanya dilandasi oleh prinsip perlawanan (pembangkangan), baik itu karena tidak sepakat dengan sistem pemilu, peserta, atau ketidakpercayaan dengan mekanisme yang kotor.
Secara hukum, saat ini dalil pembenaran logika golput dalam Pemilu di Indonesia yaitu Pasal 43 Undang-Undang (UU) No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selanjutnya, Pasal 25 UU No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik dan dalam Pasal 198 UU No 7/2017 tentang Pemilu disebutkan “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
Dalam klausul tersebut kata yang tercantum adalah “hak” bukan “kewajiban”. Sehingga negara tidak memiliki instrumen untuk “memaksa” warga negaranya untuk ikut dalam pemilihan. Hal ini menandakan bahwa memang terdapat kelemahan dalam pengaturan partisipasi warga negara dalam Pemilu.
Meskipun tidak melanggar hukum tetapi apabila dibiarkan, golput akan mengikis demokratisasi yang sedang dibangun di Indonesia. Pemilu sebagai ajang penentuan kepemimpinan dan wakil rakyat nasional membutuhkan partisipasi aktif dari warga negaranya yang merupakan “hak negara” (state rights).
Tanpa peran serta warga negara dalam menyalurkan aspirasi politiknya, akan menodai demokratisasi dalam pemilihan kepemimpinan nasional apalagi dapat berarti pula mendelegitimasi Pemilu itu sendiri. Hal ini merupakan sikap warga negara yang tidak bertanggung jawab atau lebih dari itu dapat juga dikatakan sebagai wujud dari pembangkangan terhadap negara.
Dua Alternatif
Berdasarkan pada realitas golput tersebut, maka terdapat dua gagasan yang dapat diterapkan untuk menanggulangi permasalahan perilaku non-voting ini, yaitu: Pertama, gagasan preventif, yakni meningkatkan pendidikan politik yang dapat dilakukan oleh berbagai elemen seperti KPU, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan tentunya Partai Politik.
Selain itu, KPU sebagai penyelenggara utama dalam Pemilu harus melakukan persiapan teknis administratif yang matang dan sempurna sehingga golput yang disebabkan karena kesalahan teknis administratif dapat diminimalisir.
Kedua, gagasan jangka panjang yakni menerapkan sanksi bagi golput yang disengaja dengan niat perlawanan dan pembangkangan terhadap sistem pemilu dan negara. Sanksi ini tidak ditujukan kepada golput yang disebabkan karena kesalahan yang bersifat teknis administratif. Gagasan ini telah berhasil dipraktekkan di banyak negara demokratis seperti Australia, Belgia, Yunani, Italia, Singapura, dan beberapa negara lainnya.
Sehingga tidak menutup kemungkinan dapat diterapkan di Indonesia. Sanksi yang dikenakan di beberapa negara tersebut bermacam-macam dari dicabut hak memilih di Pemilu selanjutnya, pembayaran denda, hingga dipenjara. Sementara ini, untuk diterapkannya sanksi bagi golput ini, diperlukan revisi beberapa undang-undang yang berkaitan tentang Pemilu yang mungkin saja terjadi apabila kekuatan sosial, politik, dan kehendak masyarakat mendukung gagasan sanksi ini.
Perlu ditekankan kembali bahwa upaya-upaya tersebut hanyalah bertujuan untuk menciptakan Pemilu yang partisipatif dan demokratis dengan pendekatan membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya peran dan pasrtisipasi dalam Pemilu.