Jumat, April 26, 2024

Strategi Antisipasi Pariwisata Berlebihan

Timoti Tirta
Timoti Tirta
Peneliti Pariwisata. Lulusan Tourism Destination Management di Breda University of Applied Sciences. Dapat dihubungi di timoti.tirta@gmail.com

Industri pariwisata seringkali dikaitkan dengan target jumlah wisatawan yang membludak, tentu demi keuntungan material berlimpah-limpah. Semakin banyak wisatawan, maka semakin besar pula untung yang bisa diperoleh para pelaku pariwisata. Begitu, kata banyak orang.

Pola pikir tersebut ramai didengungkan dan telah melekat jauh sebelum virus corona datang. Pandemi pun tak mengubah apa pun, pola pikir yang sama rasanya akan kembali diterapkan setelah masa krisis kesehatan ini berakhir. Namun, pemandangan wisatawan yang memadati suatu destinasi pariwisata seringkali berakibat pada rusaknya keseimbangan di area itu sendiri.

Dalam perkembangan ilmu pariwisata, dampak pariwisata terhadap destinasi terus dibahas, baik yang bersifat positif maupun negatif, baik dari segi ekonomi maupun sosio-kultural dan lingkungan. Secara ekonomi, pariwisata harus bisa memberikan laba bagi masyarakat lokal, bukan hanya investor kakap. Kemudian, dilihat dari kacamata sosio-kultural, apakah pariwisata memberikan gesekan sosial antara wisatawan dan masyarakat lokal atau apakah budaya bawaan wisatawan sudah menghantam kearifan lokal. Terakhir, pariwisata seharusnya tidak memberikan dampak degradasi alam secara berlebihan.

Karena itu, industri pariwisata membutuhkan strategi yang relevan dan tepat sasaran agar ke depannya mampu berkembang secara berkelanjutan dan memberikan dampak yang relatif bisa diterima oleh masyarakat.

Salah satu jalan pintas adalah membuat pariwisata menjadi lebih eksklusif. Penetapan harga produk dan layanan lebih mahal tentu akan secara langsung menyeleksi siapa saja yang dapat menikmati kegiatan wisata di sebuah destinasi.

Baru-baru ini, para pelaku pariwisata di Islandia mencetuskan ide untuk mengkhususkan pariwisata pasca pandemi bagi mereka yang berpendapatan tinggi. Melansir Bloomberg, seorang wisatawan yang ingin berkunjung ke negara tersebut harus memiliki pendapatan minimal sebesar US$ 88 ribu per tahun, atau sekitar Rp 100 juta per bulan. Alasannya, lonjakan wisatawan menyebabkan kualitas alam menurun selama beberapa tahun terakhir. Tak hanya itu, bayangkan bagaimana rasanya jadi masyarakat lokal yang setiap hari hidup bersama wisatawan dengan rasio satu berbanding tujuh?

Sebelum Islandia, Bhutan bahkan telah berkomitmen untuk menjaga kualitas alam dan budaya dengan menetapkan angka pengeluaran minimum bagi wisatawan, yakni US$ 200-250 per hari. Rwanda pun menerapkan kebijakan serupa demi menjaga habitat gorila. Menurut Tony Perrottet dalam artikel Rwanda is building low-footprint, luxury tourism industry from scratch and succeeding, “pemenang” dari kegiatan pariwisata di sana tetaplah gorila dan alam. Pariwisata, pada akhirnya, memang harus memilih siapa yang dimenangkan.

Selain harga, sejumlah area pariwisata tengah mengembangkan strategi penambahan rentang waktu kunjungan wisatawan dengan menyiapkan berbagai program dan destinasi. Steffan Gosling dkk. dalam studi berjudul Global Trends in Length of Stay: Implications for Destination Management and Climate Change menjelaskan penambahan durasi kunjungan akan membuat tingkat okupasi terus terjaga, meski jumlah wisatawan tidak terlalu banyak. Strategi ini pun dapat meminimalisasi dampak buruk terhadap lingkungan dari mobilitas manusia.

Meski begitu, memperpanjang waktu kunjungan biasanya hanya tepat menyasar wisatawan lanjut usia dan yang berasal dari kelas ekonomi atas. Strategi ini pun bertolak belakang dengan karakteristik perjalanan wisatawan Indonesia yang senang melakukan perpindahan dan mengunjungi destinasi sebanyak-banyaknya.

Karena itu, Indonesia dapat mengembangkan strategi selanjutnya: wisata berbasis pengalaman. Para pelaku pariwisata menawarkan program agar wisatawan dapat melakukan kegiatan masyarakat lokal sehari-hari. Misalnya, kabupaten Manggarai di Nusa Tenggara Timur mengajak wisatawan datang dan belajar soal kopi. Mulai dari menanam kopi, memetik dan mengeringkan biji kopi yang masak, hingga memprosesnya menjadi produk yang dapat diminum langsung.

Dengan begitu, wisatawan yang berkunjung ke sana tidak hanya membeli kopi sebagai buah tangan, tetapi juga mendapatkan pengalaman baru serta memahami nilai dan filosofi dari seteguk kopi bagi masyarakat Manggarai. Pariwisata pun bisa berperan sebagai transformasi ide dan gagasan, baik dari masyarakat lokal ke wisatawan maupun sebaliknya, bukan sekadar pergerakan atau perpindahan. Pertemuan dua budaya yang berbeda tentu akan semakin menghidupkan pariwisata itu sendiri.

Selain strategi, konsep storytelling perlu diterapkan dalam pariwisata. Konsep ini menyiapkan aktivitas pariwisata yang sejalan dengan cerita kehidupan masyarakat lokal secara menyeluruh. Tujuannya, wisatawan dapat memahami konteks dan nilai budaya yang dipegang oleh masyarakat lokal. Alhasil, konsep ini pun efektif meningkatkan durasi kunjungan dan partisipasi wisatawan dalam pariwisata berbasis pengalaman.

Di Indonesia, pemerintah sudah menerapkan konsep storytelling di beberapa lokasi, salah satunya Wakatobi, Sulawesi Tenggara, tepatnya di kampung Bajo Mola. Wisatawan dapat memperkaya pengalaman dengan menggunakan sampan, melihat lumba-lumba, dan memahami fungsi benda langit, seperti bintang, yang digunakan masyarakat lokal sebagai panduan mengarungi laut.

Selanjutnya, wisatawan akan ikut memancing dan memasak ikan, juga berkeliling kampung sambil mendengar penjelasan soal sejarah dan nilai budaya masyarakat setempat. Seluruh aktivitas tersebut dirangkai sesuai dengan karakteristik orang Bajo yang dikenal sebagai pelaut.

Strategi maupun konsep yang dipaparkan di atas mengerucut pada dua gagasan. Pertama, industri pariwisata sepertinya perlu berpikir ulang mengenai tujuan secara umum dan siapa yang mau “dimenangkan” sebagai konsekuensi dari aktivitas ini. Kedua, keuntungan sektor pariwisata tidak hanya diperoleh dari kuantitas wisatawan. Kualitas pengeluaran wisatawan pun bisa menjadi jawaban atas persoalan ekonomi, sosio-kultural, dan lingkungan. Karena itu, tak ada salahnya mencoba strategi-strategi baru demi pariwisata berkelanjutan.

Sumber Referensi:

  • https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-11-23/iceland-wants-to-restart-tourism-but-only-for-the-wealthy
  • https://robbreport.com/travel/destinations/rwanda-luxury-travel-2874893/
  • https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09669582.2018.1529771
  • https://www.thejakartapost.com/news/2020/08/19/once-upon-a-time-indonesia-to-employ-storytelling-narrative-in-tourism-recovery-strategy.html
Timoti Tirta
Timoti Tirta
Peneliti Pariwisata. Lulusan Tourism Destination Management di Breda University of Applied Sciences. Dapat dihubungi di timoti.tirta@gmail.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.