Diskursus tentang tubuh dan konstruksi gender merupakan sebuah realitas politik yang cukup banyak diperbincangkan. Hal tersebut terjadi karena tubuh dan konstruksi gender amat dekat dengan realitas kehidupan manusia. Satu hal yang menjadi fokus kajian dalam diskursus ini adalah adanya stigma negatif dalam budaya yang patriarkis, termasuk di Indonesia.
Dalam masyarakat patriarkis, nampaknya tak ada yang bebas dari stigma negatif. Perempuan menjadi korban utama yang selalu berada dalam bayang-bayang laki-laki. Perempuan menjadi subordinasi laki-laki yang dipandang setingkat lebih rendah. Memang seperti itu. Namun, ternyata dampak dari sistem patriarki lebih parah. Laki-laki yang konon jadi sosok yang ditinggikan juga tak bebas dari stigma.
Sebagai lelaki yang tidak macho, saya merasakan betapa tidak enaknya mendapat stigma negatif sejak kecil. Saat SD, saya dijuluki banci karena tidak jago bermain sepak bola. Pun, saya sering dirundung karena lebih banyak menghabiskan waktu bermain boneka kertas dengan teman perempuan dibanding nongkrong di depan kelas berama teman laki-laki lainnya.
Cerita berlanjut saat saya menempuh pendidikan menengah. Meski tak separah waktu SD, saya tetap mendapat stigma negatif karena perawakan saya yang kecil dan tidak ‘laki’. Bahkan, saya masih ingat ketika SMP pernah mendapat pelecehan seksual karena gaya tubuh yang mereka anggap gemulai. Bercandaan yang amat tidak lucu.
Sampai saat ini, saya menyadari bahwa masyarakat kita paling suka menilai orang lain, meski tidak jago. Sering kali penilaian tersebut hanya dilakukan dari luar yang membuat kita tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi. Dihubungkan dengan so-called budaya Timur yang sangat patriarkis, maka munculah stigma negatif kepada mereka yang dianggap tidak lazim.
Dalam masyarakat patriarkis, lazimnya adalah laki-laki menyukai perempuan, begitupun sebaliknya. Laki-laki harus mengayomi dan melindungi sedangkan perempuan adalah sosok lemah yang perlu dilindungi. Laki-laki tidak boleh menangis dan perempuan tidak boleh melakukan pekerjaan berat.
Pandangan seperti itu dilanggengkan dengan legitimasi kodrat. Laki-laki harus jadi kepala rumah tangga. Perempuan harus melayani suami sepenuh hati. Itu kodrat, katanya. Padahal, dalam buku “Analisis Gender dan Transformasi Sosial”, Mansour Fakih menampik bahwa semua itu bukanlah kodrat, melainkan konstruksi gender dalam masyarakat patriarkis.
Sebenarnya, adanya stigma-stigma negatif tersebut adalah bagian dari pengekangan terhadap hak untuk hidup secara merdeka. Laki-laki tidak boleh ini, laki-laki tidak boleh itu. Perempuan harus begini, perempuan harus begitu. Ada batasan sosial yang membuat manusia tidak bisa bergerak secara leluasa.
Ketika perempuan ingin mengejar karir, mereka dihambat oleh bayang-bayang stigma negatif yang dilancarkan oleh masyarakat. Dengan standard moral patriarkis, perempuan dipaksa untuk tunduk dalam sebuah sistem sosial yang amat mengekang.
Perempuan sering kali mendapat stigma negatif ketika pulang malam, padahal pekerjaannya mengharuskan untuk melakukannya. Perempuan diolok-olok ketika memakai pakaian ketat, padahal mereka nyaman mengenakannya. Perempuan dianggap tak tahu diri ketika melanjutkan studi pendidikan tinggi, padahal mereka ingin berkontribusi lebih banyak kepada masyarakat.
Ketika laki-laki melakukan perawatan tubuh, mereka dianggap menyalahi kodrat. Ketika laki-laki berperawakan tidak gagah, mereka langsung dituduh sebagai homoseksual. Ada laki-laki yang mengenakan pakaian berwarna pink langsung dipanggil banci.
Sekilas, stigma negatif tersebut tak punya dampak apa-apa. Semuanya berjalan biasa sesuai standard moral yang berlaku dalam masyarakat. Namun, jika kita melihat lebih dalam, stigma negatif adalah pintu masuk terjadinya berbagai bentuk kekerasan.
Banyak kasus kekerasan-kekerasan berbasis gender (gender-based violences) terjadi karena adanya stigma negatif terhadap perempuan yang beraktivitas pada malam hari ataupun laki-laki yang berperawakan gemulai. Mereka menjadi kelompok yang termarjinalisasi dan rentan terhadap berbagai bentuk diskriminasi.
Parahnya, tak jarang kita mendapati adanya sikap menyalahkan korban (victim blaming) ketika terjadi kasus kekerasan. Korban dianggap memiliki peran terhadap kekerasan yang menimpanya.
Adanya kekerasan terhadap kelompok waria yang bekerja di salon dianggap wajar karena waria dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang. Perempuan korban perkosaan disalahkan karena beraktivitas pada malam hari. Remaja laki-laki dikeluarkan dari sekolah hanya karena dianggap sebagai homoseksual.
Maka, stigma negatif sudah salah sejak awal. Budaya patriarkis yang hanya mengakomodasi heteronormalitas menegasikan fakta bahwa gender tidak biner. Pun, kontruksi gender dalam masyarakat bukanlah kodrat selama masih bisa dipertukarkan.
Kita patut belajar untuk menyadari bahwa di dunia ini bukan hanya berisi laki-laki macho dan perempuan yang lemah. Kita perlu banyak belajar untuk bersikap bodo amat terhadap ranah privat dan pilihan personal seseorang. Kita perlu belajar untuk menghargai pilihan orang lain yang berbeda.
Apalagi, Sampai saat ini masih banyak pelaku pendidikan di Indonesia yang patriarkis. Tak jarang dari mereka juga homophobia. Kekosongan pendidikan terkait gender dan seksualitas di sekolah-sekolah di Indonesia sebenarnya suatu hal yang genting. Namun, menunggu pemerintah mewujudkannya nampaknya butuh waktu terlalu lama.
Maka dari itu, alangkah baiknya kita mulai dari diri sendiri. Kita perlu menghargai dan tidak latah terhadap keberagaman. Paling penting, kita perlu menganggap semua orang sebagai manusia tanpa label feminine, maskulin, maupun label lainnya.
————————————————-
Daftar Pustaka
Fakih, M., 2016, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Insist Press