Kita terlalu terburu-buru menyimpulkan kegagalan startup lokal hanya karena mereka “kurang inovatif”, “tidak layak secara bisnis”, atau “manajemennya lemah”. Kenyataannya, banyak dari mereka hadir dengan semangat besar untuk menjawab persoalan riil masyarakat. Mereka menyasar pasar yang selama ini terpinggirkan, menciptakan solusi untuk layanan publik yang tak tersentuh, hingga membangun ekosistem baru bagi ekonomi digital. Namun sayangnya, banyak dari mereka justru tumbang bukan karena tidak kompeten, melainkan karena tidak mendapatkan ruang dan pengertian dari negara.
Dalam praktiknya, negara masih menjadikan startup lebih sebagai slogan pembangunan daripada bagian strategis dari transformasi ekonomi. Program inkubasi sebatas pelatihan tanpa pendampingan jangka panjang. Dukungan pendanaan sering kali hanya tersedia bagi yang sudah punya koneksi atau aset formal. Bahkan, banyak proyek pemerintah justru dialihkan ke korporasi besar alih-alih memberdayakan startup lokal. Sementara itu, regulasi perpajakan dan digitalisasi cenderung menekan daripada mendukung perkembangan usaha baru.
Contoh nyata dapat dilihat dari perjalanan Warung Pintar, startup yang mengusung misi digitalisasi warung tradisional. Mereka menghadirkan solusi inventori berbasis aplikasi, distribusi logistik, hingga integrasi data untuk UMKM. Namun di tengah jalan, mereka menghadapi tantangan serius: hambatan logistik nasional, regulasi distribusi yang tidak efisien, dan minimnya intervensi negara terhadap bisnis ultra-mikro. Akhirnya, Warung Pintar harus melakukan pivot model bisnis, bukan karena idenya gagal, tapi karena struktur pendukungnya tidak hadir.
Contoh lain adalah Gojek, yang dulunya tumbuh dari kebutuhan mobilitas warga urban. Tapi pertumbuhan eksponensial Gojek baru terjadi setelah mendapat investasi asing besar-besaran. Minimnya investor lokal dalam fase awal memperlihatkan bahwa pendanaan dalam negeri untuk startup masih lemah. Ironisnya, ketika sudah menjadi “raksasa”, barulah regulasi pemerintah datang, bukan dalam bentuk dukungan, tetapi pembatasan dan kontrol tarif.
Sebaliknya, negara-negara seperti Vietnam dan India menyediakan pelindung yang lebih kokoh: insentif pajak, akses ke pasar publik, dan perlindungan terhadap ekspansi asing. Indonesia masih tertinggal dalam hal itu. Pemerintah terlalu sering terjebak pada narasi unicorn dan valuasi, tanpa memahami bahwa banyak startup justru lahir dari dapur kecil, kafe 24 jam, dan ruang coworking sederhana yang tidak masuk radar birokrasi.
Bahkan ketika startup lokal akhirnya menyerah dan melepas saham mayoritas ke investor luar, kita malah bangga menyebut mereka sebagai “produk anak bangsa”. Ironi yang menyakitkan, mengingat ekosistem yang seharusnya menopang mereka justru tidak pernah betul-betul hadir.
Yang dibutuhkan bukan sekadar pelatihan pitching atau medali juara inovasi. Yang mereka butuhkan adalah regulasi yang memihak, akses pasar yang adil, serta kebijakan yang lahir dari pemahaman bahwa inovasi tak tumbuh di ruang steril, tapi di tengah keterbatasan yang riil.
Startup lokal tidak kekurangan ide. Mereka hanya terlalu sering berjalan sendirian, tanpa dipahami oleh mereka yang semestinya menjadi penyokong utama.