Jika untuk mendapatkan Iphone X kita harus puasa enam bulan ngopi di Starbucks, maka ungkapan Tim Cook, COE Apple ini, sama sekali tidak berlaku di khalayak masyarakat Indonesia. Di samping harga Iphone X yang terlampau melambung tinggi yang bahkan mencapai 18 juta/per-unit, mungkin mengharuskan kita puasa ngopi hingga sepuluh bulan di Starbucks, tetapi semua itu tidak berlaku ketika ada salah seorang ustadz kondang yang baru saja memberi fatwa haram dan tentunya akan masuk neraka jika meminum kopi itu.
Keputusan hukum ini mungkin penting bagi sebagian komunitas muslim tertentu, sebab perusahaan Starbucks dipengarai telah menyumbangkan sebagian penghasilannya untuk komunitas LGBT di seluruh dunia. Sikap hukum Islam dan konstitusi negara jelas bahwa LGBT tertolak dan tidak ada alasan apapun yang dapat melegalkannya.
Jika doktrin Islam dan hukum negara menganggap LGBT ilegal dan tak pantas hidup di negeri gemah ripah loh jinawi ini, tetapi tidak lantas fatwa ustadz kondang yang mengharamkan ngopi di Starbucks itu menjadi benar dan harus diikuti. Sebab tidak ada hubungan logis antara bergaya ngaffe di Starbucks sambil selfi-selfi dan tetek bengek LGBT, sangat tidak ada.
Kalau lah memang kedua hal itu terpaksa harus dan mengharuskan kita untuk mencarikan titik temu dan memutuskan hubungan logisnya, maka ngopi di Starbucks tak ubahnya menikmati fasilitas-falisitas lain yang diciptakan oleh orang-orang Barat dan tampaknya sudah menjadi semacam kebutuhan pokok yang tak bisa dihindari. Sebuah kebutuhan di mana membaca dan menulis status di medsos lebih penting daripada dua lembar bacaan kitab suci atau sekedar pengen tau perkembangan ilmu pengetahuan di jurnal-jurnal berbobot.
Google dan Facebook misalnya, dua dari sekian banyak perusahan raksasa penyedia layanan aplikasi dan teknologi komunikasi terbarukan yang ternyata juga dipengarai telah mendukung LGBT dan semacamnya, dalam caranya sendiri-sendiri, lalu apakah kita (umat Islam) lantas juga diharamkan memakainya? Hubungan yang tampak logis ini, jika dipertautkan dengan persoalan pertama, akan terlihat sangat tidak masuk akal jika dikatakan bahwa para penggunanya juga akan masuk neraka dan merasakan betapa panasnya api itu.
Kita seringkali dihadapkan pada persoalan-persoalan pelik dalam arus perubahan zaman, yang pada akhirnya mengharuskan kita untuk secara cepat dapat memutuskan status hukum (istinbat hukm)-baik hukum agama maupun hukum negara-agar kita menjadi mengerti bahwa untuk mengikuti zaman kita tak boleh terbawa oleh zaman, dalam arti kebablasan.
Seorang ustadz atau imam dari agama tertentu, memang diharuskan untuk dapat merumuskan nilai-nilai instrumental dalam menghadapi tantangan, sebab mereka panutan dan pemberi arah dalam roda perputaran iman dalam masyarakat. Lantas, ustadz macam apa yang kita butuhkan? Logika-logika iman seperti apa yang seharusnya cocok untuk menghadapi tantangan-tantangan itu? Dalam menjawab pertanyaan ini, kita tak pernah tunggal dan selalu multi-tafsir.
Paling tidak, jika toh pertentangan pendapat begitu membingungkan dan tak lagi dapat menjadi panutan, maka kita masih memiliki akal sehat, rasio di mana semua orang merasa memilikinya dan dapat dijadikan instrumen untuk menentukan mana fatwa yang tampaknya benar tetapi salah dan mana yang tampaknya salah tetapi benar, akal sehat sangat berperan penting dalam menentukan mana kebajikan praktis yang dapat dikuti atau ditolak sama sekali.
Lalu mengapa pula LGBT dilarang dalam Islam atau hukum negara? Bukankah merupakan hak setiap individu untuk bebas memilih menjadi apa yang ia inginkan selama ia tak menganggu kebebasan orang lain. Bukankah HAM memastikan bahwa dalam terminologi kebebasan, setiap orang setara dan memiliki hak yang sama atas tanggungjawab dan kewajibannya serta kehendak bebasnya? Mari kita tuntaskan.
Ternyata, persis pada persoalan HAM inilah LGBT ditentang dan tertolak baik dalam Islam maupun hukum negara. Di Barat, HAM dipahami sebagai nilai dan pandangan hidup yang bersifat universal, meliputi segala arah dan tidak terikat oleh ruang dan waktu, pemahaman ini sangat logis dan orang-orang Barat mengimaninya sebagai hukum alam yang harus diterima dan dijaga sedemikian rupa.
Bagi mereka, HAM adalah sebuah ketetapan pasti yang tidak bisa ditolak, sebab ia karunia hidup dan tak elok jika kita menolaknya, menolak HAM berarti berkata tidak terhadap hidup, dalam arti mati saja kalau tak mampu memahami dan menerimanya. Jika anda menolak ketetapan bahwa makan dapat membuat hidup anda menjadi lebih panjang, maka tidak sulit untuk memutuskan apakah anda ingin hidup atau mati. Persis seperti itulah HAM yang dipahami oleh mereka yang kita persepsikan sebagai orang-orang Barat.
Di Indonesia, HAM dipahami sama sekali berbeda sebagaimana yang ada di Barat. Sebagai nilai dan pandangan hidup, HAM dipahami sebagai sesuatu yang bersifat partikular, terbatas dan kekuatan logisnya sama dengan nilai dan pandangan hidup lainnya, seperti hukum adat, nilai-nilai lokal bahkan ajaran agama sekalipun. Maka cara pandang umat Islam dan hukum negara melalui perspektif partikular itu.
Jika LGBT menurut hukum Islam dan Undang-undang dianggap ilegal, maka itu sah dan sama sekali tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Ini soal moral, soal di mana perilaku masyarakat sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dan agama yang ia yakini. Ditambah, sistem demokrasi di negeri ini berlandaskan pada hukum, bukan pada ideologi sekuler di mana ketetapan agama tak boleh menyerobot ketetapan negara dalam konteks politik dan nilai-nilai universal yang diyakini.
Meski begitu, kita tak perlu menganggap LGBT sebagai sesuatu yang nadis, berdosa dan menjijikkan. Jika memang ada satu pandangan hidup yang mengakui bahwa LGBT itu sah dan merupakan hak asasi, maka kita tak perlu mencemooh dan menghakimi keyakinan mereka, biarlah kita hidup dengan nilai-nilai kita dan mereka dapat hidup harmonis dengan sesuatu yang mereka anggap benar. Agamaku ya agamaku, agamamu ya agamamu, inilah yang universal dan berlaku di mana-mana tanpa ada intervensi dari ruang dan waktu,
Waspada sangat boleh dan itu penting, tetapi tidak mungkin bersikap waspada dan pada saat yang sama kita menghakimi sesuatu yang memang diluar kontrol kita, diluar kapasitas kita, dan tidaklah logis apabila satu pandangan yang kita anggap keliru lalu menjadi benar-benar keliru. Kita hanya perlu membumbungi pikiran dengan keterbukaan pandangan, menghormati perbedaan dan biarlah perdamaian menjadi jawaban atas ketakutan-ketakutan kita.