Sabtu, April 20, 2024

Sriwijaya Air dan Undang-Undang Penerbangan; We Are Human After

Annisa Salsabila
Annisa Salsabila
Magister Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada Konsentrasi penelitian pada Hukum Tata Negara

Apapun yang kami sukai, siapapun yang kami cintai, telah kami tinggalkan diujung landasan. Apapun yang terjadi, itu kehendak Tuhan.”-Anonim

Awal tahun yang kelabu, 9 Januari 2021 kita dikejutkan dengan peristiwa jatuhnya pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ-182 rute Jakarta-Pontianak yang hilang kontak sekitar 4 menit setelah lepas landas (takeoff) dari Bandara Soekarno-Hatta. Hal ini semakin membuat polemik mengenai jawaban atas penyebab terjadinya beberapa kecelakaan pesawat di Indonesia terus menjadi sorotan, lantas akankah kita mengkaitkannya dengan hasil investigasi kecelakaan pesawat yang tidak dilakukan secara terbuka?

Pesawat yang diduga jatuh dari ketinggian 10.000 kaki kurang dari satu menit ini mengangkut setidaknya 56 penumpang yang terdiri dari 46 dewasa, 7 anak-anak, dan 3 bayi. Data ini tentu menyisahkan pilu mendalam dan trauma bagi siapapun yang mendengarnya. Sky is vast, but there’s no room for error, kalimat ini tampaknya terus menjadi lampu kuning bagi segenap penyelenggara penerbangan diseluruh dunia.

Jika menilik buku James Reason yang menulis tentang Human Error, kecelakaan pesawat mayoritas terjadi tidaklah karena single factor, melainkan several factors yang terdiri dari faktor fisik dan psikologi, faktor lingkungan, faktor internal, hingga faktor situasional. Menurut lembaga administrasi penerbangan Federal Amerika Serikat, FAA (Federal Aviation Administration) menyebut sebagian besar penyebab kecelakaan penerbangan karena faktor manusia atau human error, selebihnya karena faktor pesawat itu sendiri seperti teknis instrumen mesin dan teknologi pesawat yang menyebabkan terjadi kecelakaan pesawat. Tak terkecuali cuaca juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kecelakaan.

Penyebab terjadinya kecelakaan tersebut secara umum akan disampaikan oleh KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) melalui hasil investigasi teknis yang dilakukannya. Paradigma yang dilakukan oleh KNKT dalam hal ini bersifat preventive action, bertujuan untuk mencegah jangan sampai terjadi kecelakaan dengan sebab yang sama. Unsur-unsur paradigma preventive action adalah tidak akan menyalahkan siapapun, tidak memerlukan bukti, tidak memerlukan saksi yang memiliki dampak hukum, tidak terbuka untuk umum dan tidak akan diajukan kepengadilan yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang sejalan dengan kebijakan Organisasi Penerbangan Internasional yakni Annex 13 tentang Aircraft Accident Investigation.

Ya, aturan tersebut dapat dilihat melalui pasal 359 ayat (1) yang menegaskan “Hasil investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan”. Tak heran jika selama ini pihak korban kerap mengaku kecewa dengan isi laporan awal ataupun final report yang dirilis KNKT karena dinilai kurang spesifik dan tidak ada informasi baru selain yang sudah beredar luas di masyarakat. Mengajukan gugatanpun? Tidak diberi akses.

Untuk beberapa kasus, perusahaan penerbangan tampaknya patut menjadi sorotan. Pesawat Boeing 737-500 yang mengalami tradegi kali ini diketahui berusia 26,7 tahun yang pertama kali terbang pada tahun 1994 menuju pemilik pertamanya yakni Continental Air Lines (Amerika Serikat). Memang, pada dasarnya pesawat terbang tidak dibatasi oleh usia pakai. Namun, pertanyaan terpusat pada apakah maskapai sudah melakukan kewajibannya untuk melakukan pengecekan secara berkala? Terlebih untuk pesawat yang terbilang tua pasti membutuhkan frekuensi pengecekan yang jauh lebih tinggi daripada pesawat  baru.

Secara teoritis menurut Henry Abraham Wassenbergh dalam bukunya yang berjudul International Air Transport in the Eighties menjelaskan, bahwa sesungguhnya tujuan utama investigasi kecelakaan pesawat udara ialah untuk menjamin keamanan penerbangan. Maka dari itu, sistem investigasi kecelakaan pesawat udara di Indonesia seharusnya tidak memisahkan model investigasi teknis dan model investigasi hukum. Adapun model investigasi hukum berkutat pada mencari siapa yang paling bersalah dan bertanggung jawab akibat terjadinya kecelakaan pesawat udara.

Hingga saat ini, konsep pertanggungjawaban dikembalikan kepada pihak maskapai dengan cara memberikan kompensasi kepada keluarga korban kecelakaan pesawat udara sebagaimana yang dimaksud dengan konsep strict liability (pertanggungjawaban mutlak) yang tidak harus dibuktikan kesalahannya terlebih dahulu layaknya konsep liability based on fault yang kerap dipraktikkan dalam kasus-kasus lingkungan.

Tak hanya berhenti dipasal 359 ayat (1), ayat (2) pun menyebut ada beberapa data hasil investigasi yang digolongkan sebagai non-disclosure record atau data yang tidak boleh disampaikan ke publik yang terdiri dari pernyataan dari orang-orang yang diperoleh dalam proses investigasi, rekaman atau transkrip komunikasi antara orang-orang yang terlibat di dalam pengoperasian pesawat udara, Cockpit Voice Recorder, Air Traffic Services, Flight Data Recorder, hingga informasi mengenai kesehatan atau informasi pribadi dari orang-orang yang terlibat dalam kecelakaan atau kejadian.

Pertanyaan lantas berfokus pada apakah dari enam data tersebut tidak ada satupun yang bisa diakses oleh publik dan dijadikan sebagai alat bukti di persidangan? Sebab publik terutama keluarga korban jelas memiliki legal standing untuk mengetahui penyebab sebenarnya dari suatu kecelakaan pesawat terbang dengan mengetahui beberapa dari enam data yang digolongkan sebagai non-disclosure record tersebut.

Setidaknya kita memiliki pandangan yang sama bahwa investigasi ditujukan guna mencari akar permasalahan yang menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat agar dapat segera diatasi sehingga tidak berdampak pada penerbangan lainnya. Namun, kita perlu kembali menimbang efektivitas pembaruan model investigasi yang akan berpengaruh tidak hanya bagi keselamatan penerbangan, melainkan juga akan menjadi pelajaran bagi pihak mana pun yang terlibat dalam kecelakaan pesawat untuk lebih berhati-hati.

Melalui tulisan ini, Penulis juga menyampaikan duka mendalam dan doa yang teramat tulus untuk segenap korban dan keluarga korban jatuhnya pesawat Sriwijaya Air rute Jakarta-Pontianak. Kembali pada judul tulisan ini, we are human after all.

Annisa Salsabila
Annisa Salsabila
Magister Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada Konsentrasi penelitian pada Hukum Tata Negara
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.