Jumat, Januari 3, 2025

Spanduk Doa di Atas Bencana

Marjono
Marjono
Alumnus Pascasarjana Universitas Semarang (USM), 2006, Kasubbag Materi Naskah Pimpinan Biro Umum Setda Provinsi Jawa Tengah, 2015-Sekarang, dan Penulis lepas
- Advertisement -

Bentangan spanduk doa di jalan-jalan, serentetan doa-doa kudus kita yang bertubi-tubi kita panjatkan tidak serta merta menghalau apalagi menghentikan bencana, khususnya banjir dan longsor belakangan ini. Jakarta, jabar dan Banten menjelma menjadi jerit pedih dan derita. Harus diakui, banjir adalah murka alam, banjir adalah kesalahan kita. Mendidihkan kesalahan bukan budaya kita, memberi solusi sangat dinanti.

Pencegahan maupun penanganan banjir setiap daerah akan berbeda, bergantung akar penyebab terjadinya banjir. Banjir Jakarta jalan keluarnya tentu akan berlainan dengan banjir di Solo, Makasar maupun Papua, dll.

Perilaku masyarakat yang buruk menjadi penyebab utama banjir. Membuang sampah sembarang, menggunduli hutan seenaknya, mendirikan bangunan di bantaran sungai, minimnya penyerapan air ke tanah, pengalihan fungsi lahan, miskinnya ruang terbuka hijau, mangkraknya mata air, sungai, polder, danau dan waduk maupun embung, dll.

Untuk itu, edukasi dan pemberdayaan masyarakat untuk melakukan aktivitas keluar dari faktor penyokong utama banjir di atas mutlak dilakukan, diberikan contoh dan gambaran dampak kontraproduktif ketika dilanggar. Itu artinya, tak hanya tanggungjawab pemerintah belaka, tetapi pada seluruh segitiga pentahelix, yakni pemerintah, akademisi dan dunia bisnis serta ditambahkan komunitas (masyarakat).

Tanpa kolaborasi semua hanya utopia, karena pada dasarnya tak ada yang sendirian di dunia ini, semua mesti bergerak, turun, terlibat berikhtiar mencegah, menanggulangi dan mengatasi banjir, tanah longsor maupun bencana lainnya. Kembali menghidupkan nilai budaya leluhur bangsa, yakni gotong royong, khususnya kerja bakti menjadi bagian pilihan menghadapi banjir. Model kerja ini barangkali dianggap konvensional, tapi efektifitas atas dampak yang diterbitkan luar biasa.

Gotong royong pada saat bencana datang itu baik, tapi jauh lebih efektif manakala kerja keroyokan itu dilakukan secara regular saat tak ada bencana. Artinya, pencegahan jauh lebih efektif, karena efek jangka panjangnya bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Kerugiannya jauh lebih kecil, menyangkut harta benda, kesehatan, pendidikan bagi anak-anak dan lingkungan. Bersama-sama membersihkan gorong-gorong/selokan, memunguti sampah dan plastik dengan 3R maupun lewat agenda lelang gotong royong. Misalnya, antisipasi bencana dengan cara pengumpulan dana yang ditawarkan kepada para orang kaya, pengusaha dan atau siapapun yang peduli atas keberlangsungan hidup masyarakat marginal yang rentan bencana.

Best practise yang dilakukan pemerintah provinsi Jawa Tengah beberapa waktu lalu, seperti membangun model rumah konstruksi panggung baik model individual maupun sistem komunal menjadi bagian cara menyelamatkan masyarakat dari ritihan banjir yang bisa menyekap setiap saat. Cara ampuh lainnya yang tak kalah jitu, yakni pembuatan 1000 embung yang juga telah dilakukan Jateng mengantisipasi bahaya banjir.

Dengan demikian, paradigma dalam penanggulangan bencana harus bergeser dari responsif ke preventi, semula sektoral menjadi multisektor, dari tanggung jawab pemerintah berubah tanggung jawab bersama, berawal sentralistis menjadi desentralisasi dan dari tanggap darurat menjadi pengurangan risiko bencana.

Kontrol dan konsistensi pemerintah daerah dalam mengawal RTRW nampaknya mesti ditegakkan, salah satunya konservasi kawasan. Aliran investasi penting, namun nutrisi lingkungan juga tak kalah penting. Gerakan-gerakan komunitas, seperti sekolah sungai di beberapa daerah, aksi-aksi membersihkan pantai, danau dari sampah, plastik dan limbah lain layak didorong dan gerakkan secara intensif, karena secara langsung mereka telah ikut membantu pemerintah mengatisipasi bencana secara dini. Artinya, normalisasi dan naturalisasi sungai juga sama pentingnya.

Selain itu, pembuatan sumur-sumur resapan maupun biopori di lahan pekarangan tempat tinggal, di sekolah/kampus, di kantor, di pasar maupun di ruang publik lain menjadi tawaran yang tidak buruk, karena lewat cara ini sekurangnya kita akan bisa memanen air manakala krisis air menimpa tapi juga mengaliskan banjir menyisir lingkungan.

- Advertisement -

Ketersediaan air tanah sebagai barang publik yang penyebarannya yang tidak merata di semua wilayah, semakin hari semakin menurun kualitas dan kuantitasnya. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan  intensitas dan volume pemanfaatan air tanah yang melebihi kapasitas sehingga melampaui  zona rawan dan kritis.

Implementasi riil dalam pemberdayaan potensi dan pengembangan kearifan lokal dalam penanggulangan bencana dapat dilakukan dengan menyuburkan nilai-nilai gotong royong dalam pencegahan, penanggulangan, maupun rehabilitasi pasca bencana.

Kearifan Lokal

Pembudayaan kearifan lokal, seperti pendayagunaan kentongan sebagai Early Warning System (EWS), meski dianggap purba tapi di jaman kini pun masih relevan dipraktikkan. Dulu, kentongan ini adalah sarana komunikasi yang sangat efektif. Kenthong siji (raja pati), kenthong loro (maling), kenthong telu (omah kobong), kenthong papat (banjir), dan seterusnya. Kalau perlu kode bunyi kenthongan dipasang pada papan pengumuman di tingkat RT. Siskamling hendaknya juga digalakkan lagi sebagai upaya untuk menjaga keamanan secara mandiri oleh masyarakat.

Dalam koteks kebencanaan, kampus pun bisa mengambil peran melalui penerjunan tim SAR perguruan tinggi yang terjun langsung membantu menyelamatkan dan atau mengevakuasi korban maupun lewat program kuliah kerja nyata (KKN) akan lebih bernyawa ketika juga melaksanakan program-program yang berkaitan dengan kebencanaan.

Misalnya, membekali masyarakat dengan kemampuan penanggulangan bencana sesuai tipikal bencana di masing-masing wilayah, misalnya di Wonogiri tentang bencana longsor, Semarang tentang banjir; membantu pembuatan infrastruktur atau sistem penanggulangan bencana, maupun turut mendorong terbentuknya desa/kelurahan siaga bencana.

Doa-doa kita adalah bagian kopi pahit dan permenungan kesadaran dan pemikiran kita.

Marjono
Marjono
Alumnus Pascasarjana Universitas Semarang (USM), 2006, Kasubbag Materi Naskah Pimpinan Biro Umum Setda Provinsi Jawa Tengah, 2015-Sekarang, dan Penulis lepas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.