Rabu, April 24, 2024

Soal Kopi Starbucks, Bagaimanapun Somad Sangat Polos

jejen aqin
jejen aqin
Mahasiswa Pasca UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Penulis Esai, sekarang aktif mengajar di Pondok Pesantren Ali Maksum, Krapyak Yogyakarta

Sebagai penceramah yang sangat kondang, ustadz Abdul Somad yang lebih gampang disebut dengan Somad mengudang banyak polemik di pelbagai media sosial. Gara-gara pernyataan Somad tentang pembeli kopi Starbucks dan persamaanya dengan mendukung gerakan LGBT, banyak kalangan yang mendukung dan mengecam.

Menurut Somad seorang pembeli kopi Starbucks di akhirat akan diobok-obok di dalam api neraka karena secara tidak langsung menyumbang gerakan LGBT. Pernyataan tersebut secara analisis penulis menunjukkan bahwa Somad menyesuaikan dengan kondisi masyarakat yang masih awam.

Ketika ditelaah lebih lanjut, saat sebagian haters yang menuding bahwa, isi ceramah Somad tidak mendidik, justru penulis menilai bahwa untuk mendidik masyarakat, seorang murabbi harus menyesuaikan dengan siapa berbicara?

Jika Somad muncul di pelbagai media sebagai salah satu ustad kondang yang sampai saat ini menjadi buah bibir karena sikap politiknya yang tidak sama dengan kita, tentu itu bukan alasan yang bijak untuk menjatuhkan Somad.

Sebagai seorang muslim, menertawakan isi ceramah Somad sama artinya dengan mengejek diri sendiri, apalagi menganggap bahwa secara keilmuan Somad tidak memiliki kapasitas yang mumpuni sebagai penceramah di Indonesia yang dikenal sebagai negara demokratis dan menjunjung kebebasan berpendapat.

Lalu pertanyaannya, kenapa baru hari ini ceramah itu dipermasalahkan? Bukankah video tersebut sudah muncul sejak Oktober 2017? Jika para kawula muda merasa tersinggung atas pernyataan Somad karena sindirannya, maka disitulah Somad sudah memberi pencerahan secara tidak langsung bahwa kaum muda melakukan pencitraan luar biasa; ngopi di kafe-kafe hanya untuk selfie dan posting status di media sosial.

Sungguh, pada bagian tersebut Somad dengan lantang menyinggung semua kalangan, baik yang membeli kopi di Starbucks dan para aktivis kawula muda yang kerjaannya nongkrong di warung kopi demi mencari eksistensi yang tiada arti.

Penulis menilai, selagi Somad tidak memiliki kepentingan tertentu—semata-mata untuk menyampaikan isi ceramah—untuk mengajak masyarakat berpikir dan merenungkan kembali realitas yang sesungguhnya sangat kompleks dengan belbagai kepentingan duniawi. Disitulah masyarakat akan sadar, siapa seharusnya yang pantas untuk dibela dan ditertawakan?

Di saat seperti itu, Somad tidak lagi sendirian, sebut saja website dumpstarbucks yang telah beroperasi sejak 2012 untuk menyerukan pemboikotan terhadap Starbucks karena kedai kopi itu menyatakan mendukung terhadap pernikahan sesama jenis.

Tidak hanya itu, di Amerika, Pastor Steven Andrew dari Gereja Kristen UAS juga mengajak umat Kristen untuk memboikot Starbucks, sedang alasannya sangat tepat sebagaimana yang dikemukakan Somad. Di Indonesia sendiri, Anwar Abbas, salah satu tokoh Muhammadiyah juga meminta terhadap pemerintah untuk menarik izin operasi Starbucks karena menyuarakan dukungan terhadap LGBT yang tidak sesuai dengan ideologi negara.

Maka tidak sepatutnya, Somad dinilai sebagai penceramah yang tidak mencerdaskan terhadap bangsa. Jika sebagian membantah soal isi ceramah Somad karena mengklaim pembeli kopi Starbucks masuk neraka, barangkali itu bisa dibenarkan karena hanya Tuhan satu-satunya yang bisa memutuskan hambanya untuk dimasukkan ke surga atau ke neraka.

Terakhir perlu disadari bahwa selain polemik yang disampaikan oleh Somad, terbukti banyak pelanggaran yang dilakukan oleh Starbucks terhadap para pelanggannya, sebagian mereka mengatakan diperlakukan tidak adil saat berkunjung di Starbucks. Brondon Ward, misalnya, salah satu pelanggan berkulit hitam pernah tidak diberi akses ke toilet sementara orang berkulit putih yang tidak membeli apapun diperbolehkan.

Sebab itulah, Somad saat ini tidak sendiri, banyak yang melakukan boikot melalui akun twitter dengan tulisan hastag #BoycottStarbucks yang telah dibagikan beribu kali. Warga semakin banyak memprotes karena dinilai Starbuks rasisme. Wallahua’lam.

jejen aqin
jejen aqin
Mahasiswa Pasca UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Penulis Esai, sekarang aktif mengajar di Pondok Pesantren Ali Maksum, Krapyak Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.