Jumat, Maret 29, 2024

Soal Hari Pendidikan Nasional yang Sudah Tepat Tanpa Dilan

Fikri Abdillah
Fikri Abdillahhttp://fikriabdillahblog.wordpress.com
Education Technology and Management Enthusiast

Saya antara menyesal dan tidak dalam menulis artikel jawaban atas artikel Mas Iqbal Adji Daryono di kolom Pendidikan Geotimes dengan jusul “Hari Pendidikan Nasional Yang Suram Tanpa Dilan”. Selain mungkin sudah terlambat karena tulisannya sudah tergusur tulisan lain, tapi juga Hari Pendidikan sudah terlewat seminggu yang lalu. Tapi dibandingkan saya balas di kolom komentar seperti netizen lainnya, lebih baik saya counter attack saja dengan tulisan ini.

Mas Iqbal nampaknya sangat geram lantaran Pak Menteri Muhadjir tak jadi mengadakan nonton bareng Film Dilan 1990. Mungkin dikarenakan nama Masnya sama seperti pemeran Dilan, dalam bayangan saya Masnya sudah membeli jaket jeans khas Dilan juga sepertinya hehe. Jika Mas Iqbal berfikir pertimbangan masyarakat menentang acara nobar Dilan adalah pertimbangan dangkal dan kolot, saya rasa itu hanya perasaan Mas Iqbal saja mungkin yang toh juga melihatnya hanya dari kasat mata Masnya saja.

Walah dalah, entah datang dari mana pemikiran Masnya tentang kami yang kontra ini. Kami yang kontra rencana nobar Dilan bukan berarti pun setuju dengan pendidikan yang hanya gitu-gitu saja dan jarang menyentuh kehidupan nyata. Sebaliknya kami pun merindukan adanya perubahan dalam proses pembelajaran siswa di sekolah tentang kehidupan nyata. Tapi, menjadikan film Dilan sebagai contoh kehidupan nyata di acara ceremonial Pendidikan Indonesia adalah hal yang salah, sembrono, bahkan cenderung berbahaya.

Kok berbahaya? Se-lebay itu kah? Saya tak akan mulai dari penjelasan tentang Kang Adi yang menjadi perhatian Mas Iqbal. Selain teorinya ngawur, juga bukan teori pasti. Dilan di kehidupan nyata belum tentu jadi pemenangnya, belum tentu juga jadi yang diacuhkan. Begitu pun sama dengan Kang Adi. Lalu, kenapa keputusan tak jadinya nobar film Dilan 1990 adalah keputusan yang sudah tepat?.

Kita mulai dari teori ngawur bahwa yang sukses itu bukan persoalan doktrin belajar di kelas, rapot bagus, dan kuliah di kampus favorit. Memang banyak contoh di kehidupan nyata tentang tokoh-tokoh yang sukses tanpa mengenyam Pendidikan tinggi. Tapi semua itu ada prosesnya, ada saat dimana kesadaran muncul, atau memang sudah menemukan passion-nya lebih dulu yang tidak diajarkan di bangku sekolah. Sedangkan di Film Dilan proses tersebut tidak ada, dari awal hingga akhir dia tetap saja keras kepala dan menganggap semuanya akan selesai dengan kekerasan.

Saya rasa sudahlah cukup Indonesia ini dijejali dengan berita kekerasan dan saling berkelahi di dunia maya. Dilan berkelahi dengan temannya karena Milea ditampar, padahal sebelumnya temannya pun sudah minta maaf, Dilan babak belur, sedangkan Milea tetap cantik dan manis. Sama halnya negeri ini, banyak juga yang tersulut emosi hanya karena junjungannya dicolek, saling serang dan saling caci, sedangkan junjungannya uncang-uncang kaki. Masa Masnya tega menambah suram dengan menjadikan Film Dilan contoh di Hari Pendidikan?

Mas Iqbal boleh saja menjadikan Agus Mulyadi menjadi junjungannya, tapi saya ulangi lagi, tak ada teori pasti tentang kehidupan, karena ada begitu banyak kemungkinan yang dapat terjadi di kehidupan nyata ini. Pertanyaannya, Berapa banyak orang seperti Mas Agus Mulyadi? Dan berapa banyak yang tak seperti beliau? Sayangnya lagi dan lagi tak ada yang pasti.

Selanjutnya, asmara memang tak bisa diremehkan begitu saja, karena memang… hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga, begitulah kata para pujangga, ahai begitulah kata para pujangga. Betul memang Dilan mengajarkan kita bagaimana cara mendapatkannya. Tapi fikir lagi deh, hari ini, ada orang kaya Dilan deketin cewek dengan cara seperti itu. Terburuknya diludahi.

Teori ngaco lainnya adalah Dilan sebagai personifikasi jutaan sosok Agus di dunia nyata yang terbukti memenangi hidup. Memang benar salah satu kunci kemenangannya ada pada kepercayaan diri, kelincahan, kreativitas, keberanian dalam menghadapi persoalan, dan kelenturan dalam pergaulan. Namun di film tersebut, kelincahan dan kreativitas jenis apa yang ditonjolkan?

Raja ngolah-ngolah cewek? Saya yakin betul masih banyak cara lain untuk memberikan contoh tentang kelincahan dan kreativitas dengan tanpa menonton Film Dilan tersebut. Lagi pula jika dengan hanya memenangkan hati cewek dapat dijadikan reflektif di kehidupan nyata, lebih hebat lagi Adit di Film Eiffel I’m in Love, dengan cuek saja dia tetep bisa memenangkan hati cewek.

Selain itu, dalam hidup ini berani saja tidak cukup. Kita juga perlu memiliki jiwa bijaksana dalam menghadapi persoalan. Adakah hal bijak yang ditonjolkan Dilan dalam menghadapi persaolan?

Pendek kata, Dilan 1990 adalah film romance. Maksa adanya pesan tersembunyi terkait Pendidikan dalam film tersebut adalah ngawur Mas hehehe. Karena realita nya yang dibutuhkan Negeri ini hari ini bukan cinta-cintaan anak labil atau pun kekerasan di sekolah dan jalanan.

Film memang tak harus melulu berisi penuh tentang motivasi atau pesan moral disepanjang film. Toh kalo mau dipaksakan pesan moral, bahkan Film Fifty Shades of Grey pun ada pesan moralnya. Tapi, ini adalah Hari Pendidikan Nasional. Hari dimana secara ceremonial seluruh Indonesia merayakannya dan Mendiknas sebagai penyelenggaranya.

Saya tak mau ikut-ikutan bahas Laskar Pelangi segala sebagai stereotype jenengan Mas, karena saya rasa teorinya dari awal sudah salah kaprah. Dan saya tak mau ikut-ikutan terus bahas individu untuk men-generalisasi-kan semuanya. Saya menggaris bawahi pernyataan Prof. Dr. John Dewey tentang makna Pendidikan itu sendiri yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses pengalaman. Proses penyesuaian pada setiap fase dan menambah kecakapan dalam perkembangan seseoran

Betul memang Pendidikan bukan hanya tentang sekolah, akan tetapi selalu ada proses di dalamnya. Mau di sekolah atau pun tidak hal yang terpenting adalah prosesnya. Banyak yang sukses dan memiliki cerita kurang enak semasa kecil atau mudanya, tapi itu semua karena adanya proses, kerja keras, dan keyakinan.

Dunia ini memang sudah tak adil, namun mematahkan semangat dan merusaknya lebih awal adalah hal yang berbahaya. Jelas saja rusak, jika Film Dilan dijadikan Film untuk romance ala anak SMA jaman baheula sih tak masalah. Tapi jika digunakannya untuk memaknai Hari Pendidikan lantaran film itu berlatar di sekolah, bukannya justru kontradiktif? — Hahaha. Sebuah film kok disebut film pendidikan hanya karena isinya tentang anak-anak sekolah? Itu bukan film pendidikan namanya, oiii, tapi film sekolahan!

Mas, jika poinnya adalah persoalan tidak adanya diskusi dan interpretasi, maka tak perlu lah ngoyo Dilan itu hal penting di Hari Pendidikan Nasional dan ketiadaannya adalah sebuah hal yang suram bagi Pendidikan kita. Karena saya rasa dengan ada atau tanpa adanya Dilan, Pendidikan kita bakal begibi terus, setelah hari itu mungkin hanya satu atau dua hari ada pembahasan, kemudian dilupakan dengan sendirinya.

Sudah, sudah. Dunia belum berakhir dengan tak jadinya nobar Film Dilan. Tapi sebaliknya, kita masih punya harapan untuk memperbaiki dunia Pendidikan ini. Bukan hanya soal maknanya, tapi juga implementasinya pada sistem Pendidikan yang menyeluruh.

Fikri Abdillah
Fikri Abdillahhttp://fikriabdillahblog.wordpress.com
Education Technology and Management Enthusiast
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.