Rabu, September 24, 2025

Skripsi Dakwah Jauh dari Kata Berkualitas, Mengapa?

Muhammad Farhan
Muhammad Farhan
Saat ini kegiatan sehari-hari menjadi penulis lepas. Beberapa artikel saya dapat dilihat di website Geotimes.id, Harakatuna.com, Tsaqafah.id, Jaringan Santri, Medium.com, retizen.republika.co.id, dan Kompasiana.
- Advertisement -

Skripsi telah menjadi sebuah syarat seorang mahasiswa di Indonesia bisa dikatakan lulus secara administrasi dibangku perkuliahan. Selain menjadi sebuah syarat kelulusan, skripsi juga berperan penting bagi mahasiswa agar mulai terbiasa berpikir ilmiah secara sistematis dan terbiasa melakukan kegiatan riset secara mendalam. Skripsi juga berperang penting agar kita bisa mendokumentasikan pengetahuan kita agar dibaca oleh masyarakat dan para peneliti muda. Dengan hadirnya skripsi dalam bangku perkuliahan, harapannya mahasiswa-mahasiswa bisa menghasilkan pengembangan ilmu pengetahuan yang memberikan dampak luas kepada masyarakat.

Namun sayangnya, skripsi yang dikerjakan oleh mahasiswa sering sekali dipandang sebelah mata. Dipandang hanya sebagai kegiatan formalitas yang tujuannya hanya untuk memenuhi syarat kelulusan semata. Maka tidak mengherankan, kalau kita mencoba membaca hasil penelitian skripsi yang ada di Indonesia. Ada beberapa hasil penelitian skripsi yang secara argumentasi analisisnya justru ngawur, rumusan masalahnya tidak nyambung, bahkan penulisnya sendiri tidak paham dengan apa yang sedang ia teliti. Saya bakal ambil contoh penelitian dalam bidang komunikasi dakwah, berhubung saya sebagai seorang ahli dalam bidang komunikasi dakwah, sekaligus alumni dari sekolah tinggi ilmu dakwah.

Suatu hari ketika saya membaca sebuah skripsi dari mahasiswa komunikasi penyiaran Islam yang publish. Saya tidak sengaja menemukan penelitian yang membahas mengenai struktur narasi dakwah. Ketika saya membaca penelitian yang halaman skripsi yang sampai 100 lebih itu, saya memahami bahwa rumusan masalah dengan analisis pembahasan dalam skripsi itu tidak nyambung.

Jika rumusan masalah penelitian membahas struktur narasi, maka seharusnya yang dibuka variabel analisisnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan struktur narasi. Namun, pas saya membaca secara seksama. Penulis skripsi itu justru tidak memaparkan analisis struktur narasinya pada bagian analisis pembahasan. Struktur narasi hanya dipaparkan pada bab 2 yang umumnya dijadikan bagian pembahasan teori. Sedangkan pada bagian pembahasan atau analisis, justru yang dibahas hanya pesan dakwahnya saja, tanpa menghubungkan dengan struktur narasinya.

Sehingga, hasil pembahasan yang harusnya bahas struktur narasi dakwah, justru yang dibahas hanya pesan dakwah. Hal ini menunjukkan peneliti tidak paham dengan struktur narasi dan tidak mampu menghubungkannya dengan realitas dakwah. Makanya tidak mengherankan yang dijelaskan hanya pesan dakwah pada bagian analisis pembahasan, bukan struktur narasi dakwah. Kalau kasusnya seperti ini, maka seharusnya rumusan masalah membahas mengenai pesan dakwahnya saja, bukan struktur narasi dakwah.

Itu masih satu contoh kasus peneliti dakwah di Indonesia yang membuat rumusan masalah, tapi hasil pembahasannya tidak nyambung dengan rumusan masalah. Ada lagi contoh kasus yang dimana peneliti skripsi jurusan komunikasi Islam yang tidak paham dengan realitas dakwah. Dalam penelitian komunikasi dakwah, realitas yang dikatakan komunikasi dakwah harus memenuhi unsur-unsur utama dakwah, yaitu meliputi da’i (pelaku), mad’u (objek), maddah (materi), thariqah (metode), wasilah (media), dan atsar (efek).

Disini saya mau berfokus pada dai. Kalau misalnya seorang yang menyampaikan pesan dakwah bukan orang Islam. Misalnya dai itu orang agnostic, atheis dan non muslim. Apakah pesan-pesan yang disampaikan orang non muslim mengenai tentang ajaran Islam bisa disebut realitas komunikasi dakwah? Tentu jawabanya tidak bisa. Komunikasi dakwah itu harus disampaikan oleh seorang dai yang statusnya jelas beragama Islam. Meskipun, orang non muslim menyampaikan pesan dakwah, kita tidak bisa menyebutnya itu sebagai realitas komunikasi dakwah

Namun nyatanya, pemahaman seperti ini saja masih kurang dipahami oleh para peneliti skripsi yang menekuni di bidang dakwah. Saya secara tidak sengaja menemukan hasil penelitian yang membahas komunikasi dakwah pada sebuah film animasi Jepang. Untuk meneliti komunikasi dakwah pada sebuah film, peneliti harus memahami terlebih dahulu, apakah si pembuat film atau produsernya ini sebagai dai benar-benar orang yang beragama Islam? Kalau jawabannya bukan Islam, maka jelas film ini bukanlah realitas komunikasi dakwah. Namun nyatanya, masih ada peneliti dakwah yang membuat skripsi justru tidak paham dengan realitas komunikasi dakwah itu sendiri. Apalagi film animasi Jepang yang ia teliti jelas pembuatnya bukan orang Islam. Sungguh miris bukan? Penelitinya saja tidak paham dengan teori dasarnya.

Saya cukup kaget melihat hasil-hasil penelitian yang tidak nyambung dengan rumusan masalah dan tidak paham dengan kajian yang diteliti malah justru bisa publish. Padahal kalau dipikir-pikir, mahasiswa sudah belajar 4 tahun lamanya dan idealnya sudah memahami dasar-dasar keahliannya. Selain itu, mahasiswa yang skripsi juga dibantu oleh dosen pembimbing dan juga ada sidang hasil yang bakal diuji oleh dosen penguji. Namun, mengapa hasil penelitian yang bisa dikatakan masih perlu banyak revisi ini justru malah bisa publish?

Tentu masalah ini disebabkan oleh pandangan skripsi hanya formalitas. Agar skripsi bisa selesai, tak jarang mahasiswa menyewa jasa joki skripsi yang dimana jokinya sendiri tidak memiliki keahlian dalam bidang fakultas tersebut. Selain itu, biar cepat mendapatkan ACC, tak jarang mahasiswa membuat skripsi hanya berfokus pada banyaknya halaman. Halaman dibuat sebanyak-banyaknya sampai 200 halaman lebih agar dosen cepat memberikan ACC tanpa perlu membaca keseluruhan isi yang ada dalam skripsi. Selain itu, penelitian yang seharusnya perlu banyak revisi atau bahkan tak layak publish ini bisa lolos, disebabkan oleh oknum dosen yang malas membimbing mahasiswanya, dan malas memberikan saran yang membangun agar skripsi itu bisa berkualitas secara isinya.

- Advertisement -

Maka tidak mengherankan, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek), Stella Christie, mengkritik sistem skripsi di Indonesia yang dinilai lebih menekankan panjang halaman daripada substansi isi dan dampak penelitian. Dalam siniar “Good Talk” yang dirilis oleh kanal YouTube Good News from Indonesia pada Selasa (11/03/25).

Fokus utama pendidikan tinggi seharusnya pada kualitas dan dampak penelitian, bukan sekadar memenuhi persyaratan administratif. Kalau cara berpikir dosen dan mahasiswa mengenai skripsi hanya sekedar syarat kelulusan dan tidak mau ribet, maka pengembangan ilmu pengetahuan dalam riset bakal berjalan lambat karena menghasilkan riset-riset yang secara isi tidak berkualitas dan tidak memberikan dampak pada pengembangan ilmu dalam bidang komunikasi dakwah atau penyiaran Islam.

Memang masih ada beberapa skripsi dakwah yang benar-benar berkualitas dan memberi kontribusi ilmiah, tetapi juga ada beberapa skripsi dakwah yang hanya sekadar memenuhi formalitas, sehingga kasus-kasus seperti ini yang perlu di evaluasi dan dibenahi oleh mahasiswa maupun dosen agar bisa menghasilkan skripsi dakwah yang berkualitas.

Muhammad Farhan
Muhammad Farhan
Saat ini kegiatan sehari-hari menjadi penulis lepas. Beberapa artikel saya dapat dilihat di website Geotimes.id, Harakatuna.com, Tsaqafah.id, Jaringan Santri, Medium.com, retizen.republika.co.id, dan Kompasiana.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.