Rabu, April 24, 2024

Siti Fatimah az-Zahra pun Menolak Dipoligami

Nasrullah Ainul Yaqin Mustari
Nasrullah Ainul Yaqin Mustari
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Konsentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik.

Kalau seorang istri dianggap durhaka dan salah besar karena menolak kemauan suaminya untuk  dipoligami, lalu bagaimana dengan Siti Fatimah az-Zahra as., putri kesayangan Rasulullah saw., yang menolak dipoligami oleh suaminya, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib as.? Kalau seorang istri dianggap menolak ajaran Allah yang membolehkan poligami karena tidak mau dipoligami oleh suaminya, lalu bagaimana dengan Siti Fatimah az-Zahra as., “bidadari surga” yang diturunkan ke muka bumi, ibu para Sayid, Habib dan wali, yang menolak dipoligami oleh suaminya, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib as?

Lalu, adakah perempuan masa sekarang—sekali pun dengan ikhlas mau dipoligami oleh suaminya—yang lebih mulia dari pada Siti Fatimah az-Zahra as.?

Baiklah, Imam Muslim bin Ḥajjâj dalam Ṣaḥîḥ Muslim (2008, IV: 110-111, hadis nomor 2449, “Bâb Faḍâil Fâṭimah, Binti an-Nabî, ‘Alaihâ as-Ṣalâh wa as-Salâm”) meriwayatkan beberapa hadis yang berkaitan dengan keengganan Siti Fatimah as. dipoligami dan sikap Nabi saw. yang melarang Sayyidina Ali as. berpoligami.

Beberapa ulama berpendapat, sebagaimana disebutkan oleh Imam an-Nawawî dalam Ṣaḥîḥ Muslim bi Syarḥ an-Nawawî (XVI: 3) bahwa sebenarnya Nabi saw. mengetahui kebolehan Sayyidina Ali as. menikahi putri Abu Jahal—sehingga dalam riwayat lain beliau menyatakan tidak hendak mengharamkan yang halal (poligami), tetapi beliau melarang menantunya berpoligami karena dua alasan: pertama, karena hal itu akan menyakiti hati Siti Fatimah as. yang nantinya akan menyakiti Rasulullah saw., di mana siapa pun yang menyakiti beliau, maka dia akan celaka. Langkah ini beliau lakukan karena besarnya kasih-sayang beliau kepada Sayyidina Ali as. dan Siti Fatimah as.; kedua, karena dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah kepada Siti Fatimah as. yang disebabkan oleh rasa cemburu.

Oleh karena itu, Tarmizi M. Jakfar dalam Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi (2011: 123 & 401-409) menyebutkan pendapat sebagian ulama bahwa hadis-hadis tersebut tidak bersifat tasyrî’iyyah yang bisa berlaku kepada semua umat, tetapi lebih bersifat pribadi (khusus), di mana hadis-hadis itu bersifat sunnah non-tasyrî’iyyah (sunnah yang tidak wajib diikuti, ditaati dan diamalkan). Hal ini mengingat Nabi saw. melarang Sayyidina Ali as. berpoligami bukan karena alasan agama, melainkan semata-mata karena kasih-sayang kepada putrinya. Tidak lain karena apabila hadis-hadis tersebut dianggap sebagai sunnah tasyrî’iyyah yang harus diberlakukan secara umum—sebagai larangan poligami kepada seluruh umat Islam, maka ia akan bertentangan dengan al-Qur’an yang secara jelas memperbolehkan suami poligami.

Namun demikian, menurut hemat penulis, hadis tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an (an-Nisâ’ (4): 3), tetapi sebagai penjelas bahwa poligami boleh dilakukan dengan syarat mendapat persetujuan istri. Dengan demikian, seorang suami bisa melakukan poligami apabila istrinya menyetujuinya, selain juga harus adil dan mampu memberikan nafkah kepada para istri, sebagaimana dikatakan oleh Wahbah az-Zuḥailî dalam al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuhû (1985, VII: 168) dan Abû Zahrah dalam Zahrah at-Tafâsîr (1583).

Jika istri tidak mau dipoligami, maka suami tidak boleh berpoligami. Pendapat ini dapat diperkuat dengan pemahaman ayat al-Baqarah (2): 233 yang berkaitan dengan kebolehan menyapih anak sebelum 2 tahun dengan syarat kedua belah pihak (suami-istri) telah bermusyawarah dan saling rela (fa in aradâ fiṣâlan ‘an tarâḍin minhumâ wa tasyâwurin fa lâ junâḥa ‘alaihimâ).

Secara mafhûm muwâfaqah keharusan bermusyawarah dan saling rela ini tidak hanya terkait dengan kehidupan anak an sich, seperti menyapih, mendidik, dan lainnya, tetapi juga berkaitan erat dengan seluruh aktivitas rumah tangga tanpa terkecuali dalam hal poligami.

Rasyîd Riḍâ dalam Tafsîr al-Manâr (1993, I: 119) menyatakan bahwa salah satu makna dasar ayat itu adalah keharusan bermusyawarah dan saling rela dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan perkara qaṭ’î, seperti dalam urusan rumah tangga. Sesuatu yang qaṭ’î, bagi penulis, banyak berlaku dalam urusan-urusan akidah dan ibadah, seperti salat, zakat, puasa, haji, namun dalam urusan muamalah, seperti pernihakan merupakan kategori ḍannî yang harus menekankan asas musyawarah dan saling rela (persetujuan kedua belah pihak), sebagaimana dikatakan Riḍâ.

Apalagi pernikahan, menurut Asghar dalam Islam dan Teologi Pembebasan (2009: 239), lebih kepada perjanjian kontrak dari pada bersifat sakral, di mana dalam masalah ini (pernikahan) laki-laki dan perempuan berdiri sederajat. Dalam konteks Indonesia, keharusan adanya izin atau persetujuan dari istri ketika mau berpoligami juga diatur dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Dengan kata lain, masalah menyapih anak saja harus bermusyawarah dan saling rela antar suami-istri karena hal ini menyangkut masa depan anak, apalagi dalam masalah poligami yang menyangkut masa depan rumah tangga yang akan berimbas kepada masa depan anak. Lantaran tidak jarang kedamaian dan ketenteraman rumah tangga—sebagai salah satu tujuan pernikahan (ar-Rûm (30): 21) hancur berantakan karena poligami.

Menurut penelitian Dr. Heba Sharkas, banyak istri yang mengalami tekanan psikologi dan menjadi depresi, marah, bahkan sakit karena dipoligami (detik.com, 06/10/2017).

Bahkan menurut penelitian Euis Nurlaelawati dalam Sharia-Based Laws: The Legal Position of Women and Children in Banten and West Java (2013), banyak gugatan cerai yang dilayangkan oleh istri pertama ke Pengadilan Agama (PA) karena disebabkan poligami yang dilakukan oleh suaminya.

Oleh karena itu, dalam hal poligami, istri memiliki hak penuh untuk menyetujui dan menolaknya, di mana seorang suami harus menghormati dan memenuhi hak istri tersebut sebagai pemberian Allah.

Menolak dipoligami bukan merupakan dosa, karena rumah tangga bukan semata-mata milik suami, tetapi milik suami-istri. Hal ini telah dicontohkan oleh Siti Fatimah az-Zahra as. yang kemudian dilegitimasi oleh Rasulullah saw. Tidak lain karena apabila menolak dipoligami merupakan sebuah dosa (haram) dalam Islam, maka Nabi saw. akan menegakkan hukum sebagaimana dalam kasus pencurian, yaitu: Demi Allah, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya aku memotong tangannya (HR. Muslim).

Siti Fatimah as. adalah perempuan suci dan jujur yang memilih mengungkapkan isi hatinya dari pada munafik dan berpura-pura tegar. Sifat dan sikap ini bisa ditiru oleh para istri yang tidak mau dipoligami oleh suaminya.

Kalau ada seorang suami hendak poligami karena ingin meniru jejak ustaz yang memiliki 3 istri, maka istri bisa meniru jejak Siti Fatimah as. yang menolak dipoligami.

Jika ada seorang suami mau berpoligami karena ingin meniru Nabi saw., maka istri bisa meniru sikap Siti Fatimah as. yang menolak dipoligami, di mana sikap ini dibenarkan oleh Rasulullah saw. dengan melarang Sayyidina Ali as. berpoligami. Tidak lain dan tidak bukan karena istri memiliki hak penuh untuk menerima atau menolak dipoligami. Wa Allâh A’lam wa A’lâ wa Aḥkam…

Nasrullah Ainul Yaqin Mustari
Nasrullah Ainul Yaqin Mustari
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Konsentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.