Suatu pemerintahan tentunya membutuhkan suatu sistem tertentu untuk dapat mempertahankan karkteristiknya tersendiri ketika membuat sebuah kebijakan yang berpengaruh luas terhadap kehidupan kenegaraan, entah itu di sektor pendidikan, sandang pangan, tempat tinggal, pekerjaan, hingga ke dunia politik sekalipun. Untuk negara berkembang sendiri, salah satu sistem pemerintahan yang sering kali dipakai adalah sistem pemerintahan berbasis demokrasi, termasuk Indonesia, yang melibatkan peran masyarakat dalam faktor pengambilan kebijakan dalam segala aspek pemerintahan, dimana masyarakat memainkan peran sebagai pengawas daripada badan pembuat kebijakan itu sendiri. Namun, ketika suatu demokrasi berjalan dengan cara yang agresif tanpa mementingkan unsur kebebasan berpendapat, yang terjadi adalah polarisasi yang berlebihan ketika ada suatu konflik yang terjadi dalam pengambilan keputusan tersebut. Akhirnya, sistem pemerintahan demokrasi yang seharusnya dibuat untuk memudahkan musyawarah, malah berbalik menjadi sistem pemerintahan otoriter “terselubung”, dengan mengatas-namakan suatu pendapat sebagai “keputusan yang seharusnya dibuat” dapat pendapat lain sebagai “keputusan satu arah tanpa mementingkan pihak yang lain”. Apakah demokrasi dibuat untuk memicu konflik karena perbedaan pendapat? Apakah perbedaan pendapat dalam demokrasi itu salah? Jawabannya ya sekaligus tidak, tergantung dari pelaku demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang buruk adalah demokrasi yang hanya mengutarakan pendapat yang dianggap “benar” dan membelakangi pendapat yang dianggap “salah”, dimana seharusnya demokrasi yang baik adalah demokrasi yang menaungi seluruh pendapat, apapun itu isinya dan mengambil pendapat yang paling menguntungkan untuk situasi tertentu. Hal yang sama juga berlaku pada perbedaan pendapat, dimana ketika perbedaan pendapat muncul dalam suatu musyawarah tanpa adanya tanggung jawab untuk me-mediasi pendapat tersebut dengan pendapat seberang, alhasil yang terjadi adalah intoleransi terhadap pendapat yang diutarakan oleh pihak dengan pendapat berlawanan, yang bersifat anti-demokrasi. Di lain sisi, ketika semua pengemuka pendapat memiliki tanggung jawab untuk menjaga titik tengah antara pendapat yang ingin diutarakan dengan pendapat lainnya, maka demokrasi itu akan terlaksana tanpa gangguan yang tidak berarti. Akhir dari semua ini, toleransi harus menjadi tolak ukur utama dalam menentukan apakah demokrasi berjalan dengan baik atau tidak di dalam pemerintahan sebuah negara.