Sabtu, April 27, 2024

Adakah Sisi Agamis dari Komunis?

Nabhan Aiqani
Nabhan Aiqani
Alumnus Ilmu Hubungan Internasional Universitas Andalas

Komunisme adalah kata dan frasa yang acapkali terdengar di linimasa, di kedai-kedai bahkan ibu-ibu pun ikut sibuk dengan persoalan yang satu ini. Entah karena pamornya yang terdongkrak semenjak instruksi dari panglima TNI dulu, untuk kembali memutarkan film “pengkhianatan G30S/PKI, atau karena memang September adalah bulan yang malang di mana banyak tragedi terjadi (black september).

Selain itu, kemarahan untuk terus menggelorakan semangat ganyang hantu komunisme (PKI) yang katanya bergentayangan sekarang ini tak lain didasari atas paradigma dan keyakinan (sense of belief) dari masyarakat Indonesia, bahwa komunisme sungguh bejat, tak bermoral, perusak ideologi bangsa Pancasila. Apalagi ketika mengingat peristiwa Madiun tahun 1948 dan tentunya gerakan 30 september 1965.

Benar memang, membicarakan komunisme di Indonesia tanpa menyinggung PKI sama saja dengan garam tanpa asin, tak terpisahkan, sudah menjadi kodrat dan hakikat. Keduanya mesti disandingkan bersama tanpa boleh dipisahkan, walaupun sebenarnya dalam tubuh komunisme ini tidak hanya dikenal PKI, di China, Uni Soviet dan Vietnam juga ada partai beraliran komunisme.

Namun baiknya pemahaman ini diluruskan, supaya jangan salah persepsi dan terjebak dalam logical fallacy. Pada dasarnya komunisme itu adalah basis ideologi dari PKI. Dalam artian, apabila disebut PKI sudah pastilah komunis, tapi setiap komunis bukanlah PKI. Seperti halnya Tan Malaka (walaupun sempat di PKI namun keluar dan mendirikan partai Murba). Logika ini yang seringkali tidak dipahami oleh masyarakat umum. Akhirnya semua dipukul rata.

Setelah pemahaman ini menjadi terang maka penulis ingin mendedahkan sisi lain dari komunisme yang seringkali terlupakan. Sisi yang sama sekali berbeda dan jarang tersentuh. Sisi yang kontras dari rupa komunisme yang terlanjur dicap atheis dan tak bermoral. Inilah sisi anomali yang jarang diungkap tentang kedekatan komunisme dengan agama. Dua hal yang menurut pandangan umum adalah kutub yang saling berlawanan dan tak mungkin disatukan.

Mengapa sisi ini perlu diungkap? sepanjang pengamatan penulis, yang terjadi di kalangan masyarakat label tentang komunisme yang berseberangan dengan agama masihlah umum. Bahkan dikatakan dalam tatanan Negara komunis, eksistensi agama malah dihilangkan.

Untuk itu, perlu pelurusan agar sikap antipati yang tidak didasari oleh sikap ilmiah tidak semakin berkembang. Kebanyakan dari pandangan umum yang terbentuk di masyarakat hanyalah doktrin turun temurun tanpa ada telaah dari sudut pandang kesejarahan yang di bisa dipertanggungjawabkan secara akademis. Sehingga, dengan tanpa sadar mereka telah digiring utuk mempercayai opini umum (mainstream).

Ada beberapa peristiwa dan fakta sejarah yang memperlihatkan, bagaimana antara agama dan komunisme itu bisa saling bergandengan tangan untuk menghalau penindasan? Dalam terma Agama (islam) dikenal dua kelompok dalam masyarakat, yakninya mustadhafin (kelompok yang ditindas) dan mustadhazin (kelompok yang berkuasa).

Bila dibawa pada komunisme, maka konsepsi ini segaris dengan konsep kelas menurut Marx, antara kelas proletar (kelas pekerja) dan kelas borjuis (kelas pemilik modal). Irisan dari konsepsi inilah yang membawa Ali Syariati pada sosialisme Islam yang menginspirasinya dalam perjuangan menggulingkan rezim tiran Syah Reza Fahlevi di Iran.

Selain itu, juga dikenal Asghar Ali Engineering (1999) dengan ide tentang Islam dan Teologi Pembebasan. Ia menjelaskan bahwasanya neo-marxis janganlah terlalu mengikuti komunisme ortodoks yang malah mengesampingkan agama (layaknya yang dikatakan Marx, agama adalah candu). Menurutnya kaum Marxis perlu mengembangkan sebuah pendekatan religio-kultural dan ekonomi yang menyeluruh berakar pada etos masyarakat setempat.

Menurutnya agama bisa menjadi instrumen penting yang dapat membangkitkan semangat revolusioner. Bisa dilihat ketika agama yahudi sewaktu nabi Musa masih hidup, menentang Fir’aun yang sombong. Demikian juga dengan yang terjadi di Iran dan Philipina (Kristen menumbang Marcos yang tirani) membuktikan bahwa agama dapat menjadi pendorong dalam menyingkirkan status quo. Doktrin dan prinsip yang sama dengan ajaran komunisme. Oleh karenanya, menurut Ali antara agama dan komunisme mestilah saling merangkul.

Buah pikir dari Ali telah dipikirkan jauh-jauh hari oleh Tan Malaka, sebagai salah seorang tokoh komunis Indonesia (sekali lagi bukan PKI). Pada suatu pertemuan Komintern (Komunis Internasional) tahun 1922, Tan mengusulkan agar Komunisme dan Pan-Islamisme bersatu.

Sebab, menurutnya negara-negara Islam yang jatuh dalam cengkeraman imperialism dan kolonialisme barat tengah berjuang dalam melakukan perlawanan. Dan bukankah imperialisme dan kolonialisme barat merupakan musuh dari Komunisme juga? Dan tidakkah kita mesti mendukung Pan-Islamisme? Tanya Tan Malaka.

Pada kesempatan itu, ia juga mengucapkan ungkapan yang sangat bernas sekali, “Kami telah ditanya di pertemuan-pertemuan publik:

Apakah Anda Muslim – ya atau tidak? Apakah Anda percaya pada Tuhan – ya atau tidak? Bagaimana kita menjawabnya? Ya, saya katakan, ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!”  

Tidak cukup sampai disitu, sisi lain dari perjumpaan antara komunisme dan agama dapat ditelusuri sampai pada penyebarannya di Sumatera Barat. Haji Datuk Batuah adalah tokoh yang membawa dan menyebarkan paham komunis diaerah tersebut. Pada tahun 1923 ia menanamkan ajaran komunis di kalangan pelajar-pelajar dan guru-guru muda Sumatera Thawalib Padang Panjang. Sumatera Thawalib adalah suatu lembaga pendidikan yang dimiliki oleh kalangan pembaharu Islam di Sumatera Barat, dimana haji Batuah merupakan salah seorang pengajarnya.

Berawal dari Sumatera Thawalib Padang Panjang, paham komunis akhirnya menyebar ke berbagai daerah Sumatera Barat dibawa oleh para lulusan sekolah tersebut ke daerah asalnya. Penyebaran ini terutama dilakukan di kalangan petani. Oleh masyarakat setempat ajaran komunis ini disebut “ilmu kominih” (Schrieke, 1960: 155). Ilmu ini menggabungkan ajaran Islam dengan ide anti penjajahan Belanda, anti imperialisme-anti kapitalisme dan ajaran Marxis.

Pada akhir tahun 1923 Datuk Batuah, bersama-sama dengan Nazar Zaenuddin mendirikan pusat Komunikasi Islam di Padang panjang. Dalam waktu yang hampir bersamaan Datuk Batuah menerbitkan harian “Pemandangan Islam” dan dan Nazar Zaenuddin menerbitkan “Djago-Djago”. Lembaga Pusat Komunikasi Islam dan kedua harian tersebut digunakan sebagai media penyiaran paham komunis (Nurhabsah, 2004).

Belum lagi dengan cerita tentang seorang Haji Misbah yang melakukan pemberontakan di Banten. Haji Misbah yang oleh karena berpaham komunis, lebih dikenal dengan sebutan “haji merah” ini, memadu padankan antara semangat revolusioner komunisme dengan Islam yang sama-sama anti terhadap penindasan dan penghisapan yang dilakukan manusia atas manusia lainnya (exploitate del’ homme par homme).

Oleh karenanya dengan memahami dan membaca kembali literatur sejarah yang ada, dapat kita ungkapkan sisi berbeda yang jarang muncul dalam diskursus umum.

Nabhan Aiqani
Nabhan Aiqani
Alumnus Ilmu Hubungan Internasional Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.