Rabu, April 24, 2024

Sikap Gubernur dan UU Cipta Kerja

Fatma Zubarita
Fatma Zubarita
Peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia

Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) “Omnibus Law” Cipta Kerja tanggal 5 Oktober 2020, menuai kontroversi dari berbagai kalangan. Catatan buruk dalam proses legislasi tersebut, terlihat dari tidak adanya ruang partisipasi publik untuk turut serta dalam proses penyusunan hingga pembahasan RUU tersebut.

Selain itu, materi muatan yang  termuat di dalamnya bertentangan dengan UUD NRI 1945, seperti terdapatnya upaya untuk mereduksi otonomi seluas-luasnya, prinsip perekonomian berwawasan lingkungan nasional, dan tidak terpenuhinya hak atas pekerjaan atas hubungan pekerjaan.

Sebagai bentuk protes atas disahkannya RUU Cipta tersebut, para pendemo melakukan aksi turun ke jalan untuk menuntut hak-hak yang telah merugikannya. Berbagai daerah yang tergabung dalam aliansi bergerak menyuarakan dengan lantang atas ketidakadilan bagi rakyat dan justru memberikan keuntungan bagi pemodal.

Mereka berdialog secara langsung dan menyampaikan aspirasi kepada para pemangku kebijakan daerah, seperti DPRD dan Gubernur agar menyampaikan aspirasinya untuk diteruskan kepada Presiden. Beberapa Kepala Daerah yang menyetujui atas penolakan RUU Cipta Kerja seperti Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Sutarmidji, Sultan Hamengkubuwono X, Irwan Prayitno, dan Khofifah Indar.

Namun sayang, hal tersebut justru berkebalikan dengan upaya yang dilakukan oleh Presiden. Jokowi memerintahkan kepada Idham Azis selaku Ketua Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) untuk menyatakan Gubernur dilarang tolak UU Cipta Kerja.

Peran Ganda Gubernur

Indonesia merupakan negara kesatuan yang desentralistik, yaitu pelaksanaan urusan pemerintahan tidak mutlak berada pada tangan pemerintahan pusat, melainkan ada sebagian urusan yang diserahkan kepada daerah otonom. Perwujudan pelaksanaan otonomi tersebut dijalankan oleh Kepala Daerah dan DPRD selaku penyelenggara Pemerintah Daerah. Tak terkecuali bagi Gubernur yang memegang peranan penting di Provinsi yakni sebagai Kepala Daerah dan wakil Pemerintah Pusat di Daerah.

Gubernur selaku Kepala Daerah memiliki tugas untuk memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Sedangkan gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat di Daerah melaksanakan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan terhadap urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Kabupaten/Kota dan bertanggungjawab kepada Presiden.

Pasal 9 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah menegaskan pembagian urusan kewenangan yang terdiri dari urusan absolut (mutlak urusan Pemerintah Pusat), urusan konkuren (pembagian urusan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah), dan urusan pemerintahan umum (urusan Presiden selaku kepala pemerintahan).

Namun dalam kenyataannya, pelaksanaan pembagian urusan tersebut sering menimbulkan permasalahan. Upaya tarik menarik kewenangan terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terlebih posisi dan peran ganda gubernur. Peran abu-abu gubernur karena belum kuatnya kedudukan gubernur seakan-akan dijadikan alat bagi pemerintah pusat untuk mereduksi beberapa kewenangan yang ada di daerah, seperti layaknya RUU Cipta Kerja. Tindakan Jokowi memerankan Gubernur sebagai layaknya wakil Pemerintah Pusat di Daerah, yaitu memerintahkan untuk mendukung RUU Cipta Kerja.

Meskipun gubernur sebagai intermediate institution, reposisi kewenangan Gubernur harus dilakukan untuk penguatan lokal, bukan sebaliknya untuk resentralisasi kekuasaan. Sebagaimana sesuai dengan yang dinyatakan oleh Karena pada dasarnya hakikat otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan dan pemerintahan kepada masyarakat, sehingga harus dibuka keseimbangan antara kepentingan yang bersifat nasional serta regional dan kepentingan yang bersifat lokal. Oleh karena itu, perlu ada penggabungan prinsip uniformitas dan subsidiaritas yaitu kewenangan pelayanan dan pemerintahan yang memerhatikan kepentingan nasional dan lokal.

Hal ini senada dengan pernyataan Heywood tentang fungsi desentralisasi adalah Increased Legitimacy, yaitu desentralisasi dapat meningkatkan legitimasi suatu kebijakan disebabkan diambil dengan model buttom up. Gubernur sebagi pemerintah daerah menjalankan perannya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi dari rakyatnya. Tak terkecuali dalam urusan penolakan atas pengesahan RUU Cipta Kerja.

Legitimasi Rakyat

Mewujudkan pemerintahan yang bertanggungjawab, tentu tidak mudah. Karena itu, Lord Acton dalam Miriam Budiarjo, telah memperingatkan bahwa penggunaan kekuasaan atau wewenang sangat potensial untuk disalahgunakan, sebagaimana diungkapkannya “Power trends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely”. Semakin besar kekuasaan akan semakin besar pula kecenderungan untuk disalahgunakan.

Sikap Jokowi untuk memerintahkan kepada Gubernur untuk menolak RUU Cipta Kerja adalah hal yang kurang tepat. Meskipun Gubernur juga berperan sebagai wakil Pemerintah Pusat di Daerah, menjadi kurang relevan apabila tanggapan Jokowi kepada Gubernur untuk menolak RUU Cipta Kerja. Hal ini dikarenakan bukan menjadi ranah dari Presiden untuk memberikan perintah kepada Gubernur untuk menolak atas pengesahan RUU Cipta Kerja. Namun sebaliknya, menjadi ranah Gubernur untuk tidak menerima atas pengesahan RUU tersebut.

RUU Cipta Kerja yang mengandung cacat formil dan material tersebut menjadikan Gubernur selaku Kepala Daerah akan menyampaikan aspirasi yang dilakukan oleh rakyatnya kepada Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi.

Gubernur yang telah mendapatkan dukungan luas dari masyarakat akan menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan negara dalam tercapainya tujuan negara pada tingkat lokal. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban Gubernur kepada rakyat dikarenakan rakyatlah yang telah memilihnya secara langsung.

Tindakan Gubernur untuk menyampaikan aspirasi kepada Pemerintah Pusat atas pengesahan RUU Cipta Kerja adalah salah satu upaya agar terpenuhinya kebutuhan dan kepentingan dari rakyat, sehingga rakyat tidak merasa dirugikan atas kebijakan yang telah diambil oleh Pemerintah.

Dengan demikian, Gubernur selaku pelaksana desentralisasi dan otonomi daerah serta selaku wakil pusat di daerah harus cermat memposisikan diri dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dilakukan sebagai upaya menghindarkan ketegangan hubungan pusat dan daerah dan terpenuhinya checks and balances antar lembaga terkait, sehingga pada tujuan akhirnya adalah memberikan kesejahteran dan kemakmuran bagi rakyatnya.

Fatma Zubarita
Fatma Zubarita
Peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.