Pemilihan Presiden alias Pilpres yang menjadi hajatan terbesar rakyat Indonesia yang hanya ada dalam lima tahun sekali, seharusnya menjadi ajang politik yang dinamis dan menarik. Hanya dalam Pilpres saja rakyat Indonesia dari ujung sampai ujung lainnya tahu karena menyaksikan sengitnya perdebatan, akselerasi dan akrobat-akrobat politik yang disuguhkan oleh para ujung tombak tokoh-tokoh politik.
Drama yang terjadi selama Pilpres selalu menarik diikuti bahkan oleh orang yang sama sekali tidak mengerti persoalan politik. Perdebatan para elit politik, analisis para pakar politik, diskusi kaum intelektual, obrolan santai warung kopi, gosip ibu-ibu PKK, keluh kesah masyarakat gang kecil, semua bicara tentang Pilpres. Mulai dari saling dukung, saling sikut baik melalui media sosial maupun media nyata, itu membuat suasana selama Pilpres semakin menarik.
Lalu, apa jadinya jika Pilpres berjalan membosankan? Yang paling ditakutkan adalah hasrat untuk setidaknya tahu tentang dunia politik makin menurun. Bagaimanapun, tahu tentang persoalan politik menjadi penting, setidaknya agar tidak menjadi korban politik.
Sayangnya, untuk Pilpres tahun 2019 mendatang sudah dipastikan berjalan membosankan. Dinamika yang terjadi dalam Pilpres tahun 2014 tidak akan terjadi lagi, bahkan perang hastag yang memanas beberapa waktu lalu tidak akan memiliki arti lebih lagi. Pesta rakyat ini telah selesai, euforia sudah selesai. Jika nanti ada hiruk pikuk di sela-sela berjalannya Pilpres, itu semu belaka.
Kenapa hal itu bisa terjadi? Sederhana saja, Jokowi sudah dipastikan akan melanjutkan masa kepemimpinannya untuk lima tahun kedepan, Jokowi sudah dipastikan menang. Bahkan tanpa perlu bersusah payah pun, kemenangannya sudah dipastikan. Ada dua hal kuat yang bisa memastikan hal itu. Pertama, kekuatan koalisi pendukung dan yang kedua adalah pemilihan KH. Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden.
Dalam hal kekuatan koalisi pengusung, Jokowi sudah memenangkan beberapa hal sentral, salah satunya adalah media. Mau atau tidak, kita harus mengakui peran media sangat menting dalam penggiringan opini publik, semakin banyak media yang ikut mendukung, semakin tenang laju politik satu calon.
Koalisi pendukung Jokowi memiliki kekuatan media yang mutlak, masing-masing partai pendukung memiliki basis media sendiri. Hary Tanoe Soedibjo dari partai Perindo yang mars partainya sudah dihapal tanpa menghapal bahkan oleh anak kecil, menjadi bos di MNC Group. Empat saluran televisi nasional ada di dalamnya, belum televisi lokal, media cetak, dan media elektronik lainnya.
Viva Group kepemilikan Abu Rizal Bakrie sebagai kader terhormat partai Golkar juga tak kalah besarnya, memiliki dua saluran televisi nasional, belum juga dengan media online, cetak, dan lainnya. Tidak luput juga Surya Paloh selaku ketua umum Partai Nasdem juga memiliki televisi berita unggulan di negeri ini.
Apa yang perlu dikhawatirkan dari dukungan media yang dimiliki Jokowi untuk Pilpres mendatang? Hampir tidak ada. Pilpres tahun 2014 lalu Viva Group masih mendukung Prabowo, berita politik masih saling serang. Masing-masing kubu pendukung sebanyak mungkin membuat berita baik untuk calon masing-masing dan tidak memberitakan kubu lawan, kecuali berita kurang baiknya.
Pilpres tahun 2019 Viva Group sudah beralih mendukung Jokowi, apa yang perlu lagi dikhawatirkan untuk persoalan media? Hampir tidak ada. Tidak ada lagi saling serang seperti dulu, tidak ada lagi keseruan itu. Pilpres tahun 2019, politik media sudah milik koalisi Jokowi.
Selian Media, pemilihan Ma’ruf Amin sebagai mendamping Jokowi untuk maju di Pilpres 2019 nanti juga menjadi penting, dan karenanya dinamika politik Pilpres 2019 akan melempem dan membosankan. Kenapa? Isu-isu sensitif dan selalu menjadi bahan perdebatan, perbincangan, yang selalu meramaikan dunia politik kita, isu agama, sudah tidak akan berlaku lagi.
Di Pilpres 2014 lalu, Jokowi selalu mendapat serangan dengan disebut-sebut sebagai antek dari ini dan antek dari itu, tidak relugius dan sebagainya. Dengan menggandeng Ma’ruf Amin, isu-isu semacam itu sudah akan terpental sebelum dilemparkan. Ma’ruf Amin selaku Rais ‘Aam PBNU, Ketua MUI, dan juga tokoh sentral alumni 212, menjadi tameng yang telalu kokoh untuk menyerang Jokowi lewat itu-itu tersebut.
Satu hal penting dari sisi politik agama Ma’ruf Amin adalah keterlibatannya sebagai salah satu alumni 212 dan menjadi tokoh sentral disitu. Kita tahu persoalan panas 212 beberapa waktu lalu, meskipun secara langsung menyerang Ahok selaku Gubernur DKI waktu itu, secara tidak langsung prahara itu juga menyerang meperintahan Jokowi.
Aksi 212 memiliki tendensi yang lebih jauh dari hanya sekedar politik Jakarta. Apalagi aksi 212 kala itu juga didukung oleh Prabowo. Sehingga seolah aksi 212 memang untuk mendukung prabowo pada Pilpres 2019 ini.
Tetapi dengan dipilihnya Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden pendamping Jokowi nanti, paradigma 212 itu luntur sudah. Politik agama yang diprediksi kuat akan dipakai selama berjalannya Pilpres 2019 akan sia-sia saja digunakan. Tidak akan ada lagi gunjang-ganjing seperti yang terjadi di tahun 2014.
Lalu apa lagi yang bisa membuat Pilpres 2019 bisa tidak membosankan?