Beberapa manusia lahir didunia dengan kemampuan yang khusus. Mereka kerap disebut dengan Children with Special Needs (CSN) atau di Indonesia lebih umum disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
ABK kerap kali mengalami kesusahan dalam lingkungan sosialnya. ABK bersama orang tuanya harus berjuang untuk mendapatkan lingkungan sosial yang mendukung. Mereka juga harus berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan dirasa paling baik untuk anak mereka.
Di Indonesia pemerintah telah menyediakan Sekolah Luar Biasa sebagai layanan dasar untuk membantu ABK mendapatkan akses pendidikan. Sekolah Luar Biasa selanjutnya akan saya sebut dengan SLB disini. SLB yang disediakan pemerintah ada bermacam-macam sesuai fungsi dan kebutuhannya. Dengan jenis yang berbeda, berbeda pula strategi pembelajaran serta fasilitas yang dimiliki.
Dewasa ini, pemerintah Indonesia menawarkan akses pendidikan lain bagi ABK selain SLB. Pendidikan tersebut dinamakan pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi merupakan inovasi pendidikan untuk peserta didik ABK.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 70 tahun 2009 mencanangkan pendidikan inklusi sebagai sistem pendidikan dengan memberi kesempatan anak berkebutuhan khusus agar dapat mengenyam pendidikan bersama-sama dengan peserta didik lainnya dalam sekolah umum (Ekawitri, 2017).
Hal ini dikarenakan penyelenggaraan pendidikan SLB telah membentuk eksklusivisme bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Eksklusivisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara ABK dengan anak-anak normal, sedangkan para ABK memerlukan sosialisasi dengan anak normal dan masyarakat (Achyar. 2018). Sehingga tujuan adanya sekolah inklusi ini untuk membantu ABK agar dapat bersosialisasi di lingkungan sama dengan anak normal lainnya.
Saat ini, belum semua sekolah di Indonesia menyelenggarakan pendidikan inklusi. Menurut SK Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi (SPPI) Kota Yogyakarta tahun 2014, tercatat sudah ada 46 sekolah penyelenggara pendidikan inklusi.
Dalam penyelenggaraannya, sekolah mampu merubah siswa dalam kondisi tereksklusi menjadi terinklusi dengan upaya mengidentifikasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi peserta didik ABK dan mengupayakan bersekolah di sekolah umum/inklusif untuk dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan mereka (Achyar. 2018).
Namun dalam tataran pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia banyak permasalahan yang dihadapi, baik berasal dari anak, guru atau fasilitas yang tersedia. Oleh Karena itu dengan program pendidikan inklusi dimunculkan salah satu metode guna mendukung ABK dalam belajar di sekolah umum, yaitu shadow teacher. (Ekawitri, 2017)
Shadow Teacher diartikan sebagai layanan profesional yang ditawarkan kepada sekolah dan keluarga untuk mengelola lebih baik kebutuhan peserta didik yang memiliki perbedaan belajar (ACS Athens). Atau merupakan layanan profesional (baik yang berlatar studi Pendidikan Luar Biasa (PLB) maupun guru biasa) yang disini diposisikan sebagai guru pendamping untuk ABK di sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi. Shadow teacher juga dikenal dengan istilah aid teacher (guru bantu).
Shadow teacher berperan membantu dan mengajari ABK saat proses pembelajaran dikelas dan membantu komunikasi ABK dengan temannya (Iswandia, 2017).
Menurut Manasala dan Dizon, tanggung jawab dan peran dari shadow teacher adalah perencanaan kurikulum, instruksi anak, dan pengelolaan perilaku anak. Kenyataannya, tugas dari shadow teacher ini sangatlah kompleks.
Tidak hanya berfokus pada pendidikan akademis dan nonakademis ABK, namun berkoordinasi dengan banyak pihak seperti orang tua ABK, kepala sekolah, guru kelas, ketua lembaga penyedia layanan shadow teacher, dan tak jarang kepada psikiater atau psikolog.
Berdasarkan hasil observasi saya terhadap salah satu shadow teacher ABK Paud di Yogyakarta, tugasnya banyak walaupun jam kerjanya dari jam 07.30-12.00. Ketika anak sedang mengikuti pelajaran, shadow teacher mengikuti dan mengawasi anak tersebut. Ketika anak tersebut mulai tidak fokus mengikuti kegiatan, shadow teacher berusaha mendorong anak tersebut supaya fokus dan juga menjelaskan kembali kiranya apa yang terlewatkan.
Shadow teacher mengarahkan perhatian anak kepada guru reguler selama pelajaran, kemudian, menjelaskan pelajaran dan memeriksa apakah anak memahaminya melalui lembar aktivitas. Seorang Shadow Teacher juga mengajarkan anak mandiri dengan memungkinkan dia menyalin pekerjaan papan sendiri dan menjawab kegiatannya sendiri. Shadow teacher bekerja secara hati-hati dan tidak obstrusive sehingga tidak mengganggu kelas. (Manansala & Dizon)
Selain itu, Shadow teacher juga mengawasi anak agar terhindar dari apa yang menyebabkan tantrum, mengurusi segala kebutuhan dan harus siap mengatasi ketika anak sedang tantrum, dan juga membantu mengatasi emosi anak. Meski guru sekolah merupakan guru utama dalam mengajar di kelas, namun guru tersebut tidak memiliki pelatihan khusus seperti halnya shadow teacher (Ekawitri, 2017).
Dari shadow teacher yang diobservasi, tidak semua shadow teacher mendapatkan posisi yang bagus di lingkungan sekolah. Shadow teacher tidak mendapatkan suatu ruangan khusus untuk beristirahat dan juga untuk setidaknya menaruh tas.
Sehingga shadow teacher ini diposisikan selalu mendampingi secara penuh ABK tersebut. Bagi saya, keberadaan shadow teacher ini masih menjadi suatu dilema. Jasa pengadaan shadow teacher membutuhan dana yang cukup besar setiap bulannya dan hal ini memberatkan sekelumit ABK dengan kondisi ekonomi menengah kebawah. Dari observasi yang saya lakukan, salah satu orang tua ABK harus mengeluarkan sejumlah Rp 1.350.000, dibayarkan kepada lembaga penyedia jasa shadow teacher.
Namun jumlah tersebut juga memberatkan bagi shadow teacher itu sendiri. Walaupun nominal tersebut dibayarkan kepada lembaga, jumlah yang diterima shadow teacher itu sendiri hanya sebesar Rp 800.000,00 /bulannya di Kota Yogyakarta. Tidak seperti guru lainnya, shadow teacher belum mendapatkan tunjangan maupun sertifikasi dari pemerintah dan apresiasi yang mereka dapat sangatlah minim.
Padahal tanggung jawab mereka sangatlah besar, karena jika terjadi apa-apa pada anak yang dicari pertama kali adalah mereka. Oleh sebab itu, shadow teacher memiliki peran yang sangat penting untuk mendukung keberhasilan pendidikan inklusi, namun disisi lain shadow teacher ini juga perlu mendapatkan perhatian lebih, baik dari pemerintah maupun masyarakat. Permasalahan lain yang masih harus diteliti lebih lanjut adalah seberapa besar peran shadow teacher terhadap ABK yang menginjak usia remaja.
Referensi
http://tkplb.kemdikbud.go.id/index.php/konten/martikel/martikel-inklusi/336-permasalahan-pendidikan-inklusif-di-indonesia
http://www.acs.gr/shadow-teachers/
http://ap.fip.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/ARTIKELdewi.pdf
https://classroom.synonym.com/shadow-teacher-8782494.html
Dizon, Edilberto dan Maryola Manansala. 2008. Shadow Teaching Scheme for Children with Autism and Attention Deficit-Hyperactivity Disorder in Regular Schools. Filipina: Education Quarterly, U.P. College Of Education